Bagian ke Sepuluh
Alfa bergerak cepat setelah mendapat telephone dari Tokyo yang menyampaikan kenekatan Ibra, dia harus mencegah. Dan benar saja, dia menemukan laki-laki itu tengah berlari menuju pintu keberangkatan. Mengejar waktu penerbangan yang tinggal sedikit karena memesan tiket di detik-detik terakhir.
Alfa bersedekap tepat di depan pintu. Menghadang. Ibra berhenti, mengerutkan kening.
.
Keduanya berdiri bersebelahan, menatap pesawat yang akan lepas landas. Meski malam hampir berganti pagi, kesibukan masih saja ditemui. Beberapa orang berlalu-lalang, ada yang baru tiba juga akan pergi. Kemudian petugas bandara yang mendorong banyak troli, Pramugari, dan tak ketinggalan keluarga penjemput atau pengantar.
Alfa menghela nafas, setidaknya dia berhasil mencegah Ibra saat ini. Itu yang terpenting. Laki-laki di sebelahnya terlihat tenang, tidak kesal atau marah karena rencananya digagalkan. Padahal, Ibra berhak marah. Tiket pesawatnya hangus dan itu tidak murah.
"Dia mengatakan sesuatu?" Ibra akhirnya membuka suara. Sudah lebih dari sepuluh menit mereka berdiam diri, mulai lelah juga berdiri.
"Dia hanya minta maaf karena merepotkanku pagi buta begini," Alfa tidak sepenuhnya berbohong.
Setengah kesal, setengah senang. Rin masih peduli padanya, hapal betul dengan perangai dan jalan pikirannya. Di tempat yang jauh di sana, gadis itu mungkin belum tidur, menunggu kabar.
"Hubungi dia, katakan aku sudah tidur di kamar yang hangat." selesai mengatakan itu, Ibra berbalik, meninggalkan Alfa yang tersenyum karena melihat tingkah kedua temannya. Saling menunjukkan perhatian dengan cara yang tak biasa.
"Kamu dengar sendiri kan?" Alfa menempelkan telephone genggam ke telinga setelah tadi secara diam-diam dia hubungkan ke nomor Rin.
"Terima kasih, Kak."
"Jangan khawatirkan dia, kami akan menjaganya bergantian. Sebaliknya, jaga kondisimu, musim dingin tidak cocok dengan tubuhmu."
Rin tertawa, "baik, Kak."
.
"Baik, sekarang Anda berbaring, saya akan melakukan pemeriksaan," Ibnu menyiapkan stetoskop, Perawat di sampingnya mulai mencatat.
"Dokter sudah punya pacar?" gerakannya terhenti, pasien tersebut menatap penuh harap. Wanita paruh baya yang mungkin seumuran dengan ibu-nya itu seperti pasien kemarin dan bisa jadi memiliki harapan yang sama.
"Saya tidak memiliki pacar, Bu." senyum terbit di bibir sang pasien namun terhenti oleh sambungan kalimat Ibnu berikutnya, "tapi istri ada di rumah."
Perawat berusaha menahan tawa, dalam hati berkata, 'rasain!'.
"Kukira, Dokter belum menikah," ucap pasien dengan nada sedih.
Ibnu tersenyum ramah, sebenarnya merasa tidak enak hati terus berbohong soal status. Namun ada hal yang dihindarinya, semisal dijodohkan. Sebagai laki-laki dia merasa pecundang, bukankah dirinya lari ke ibu kota demi menghindari pernikahan yang dirancang keluarganya?
"Sudah," Ibnu merapikan alat-alatnya, memastikan apakah sang perawat telah mencatat semua.
"Kami permisi dulu, Bu." Ibnu berpamitan, disusul sang perawat yang mulai bertanya-tanya dengan perubahan sikap atasannya. Orang lain mungkin mengira Ibnu baik-baik saja, namun dia yang hampir dua tahunan mengekor, paham ada sesuatu yang mengganggu, terlihat dari jawaban yang diberikan Ibnu pendek dan singkat.
"Dokter, tunggu!" Tya bergegas menyusul Ibnu yang beberapa langkah di depan meninggalkannya, tentu setelah menutup pintu ruangan.
"Bisa-kah memelankan suara kakimu, Ty." Ibnu masih mempertahankan sikap dinginnya. Entah karena apa dia tidak suka dengan pertanyaan pasien tadi, padahal biasanya tidak mempermasalahkan. Bahkan dirinya sering menimpali candaan soal jodoh-dijodohkan. Tapi untuk yang barusan, Ibnu merasa kesal.
"Oke, tapi Dokter juga jangan jalan cepat-cepat. Kan aku nggak bisa menyusul?"
Ibnu berhenti mendadak, membuat Tya menubruknya.
"Maaf," ucap Tya cepat.
"Satu lagi, aku akan keluar sebentar dan jangan mengekor terus!"
"Oke!"
Tya mendengus sebal. Bagaimana bisa dia bertahan dengan Dokter Ibnu selama ini? Dan dari apanya juga teman-temannya bisa tertarik, mengagumi berlebihan? Oke, secara kualitas, laki-laki dua puluh delapan tahun itu memang tampan, baik hati, dan ramah. Tapi kalau sifat childish-nya kambuh, dia lebih baik menghadapi pasien yang tidak mau minum obat.
Satu lagi, kenapa dia juga harus di posisi-kan sebagai kurir bagi teman-temannya. Dititipi surat cinta, dimintain nomor telephone, WhatsApp, atau akun media sosialmilik sang Dokter, dan kadang, tapi ini yang paling disukainya---dititipi makanan. Tya tersenyum sendiri mengingat kalau makanan-makanan itu selalu masuk ke perutnya. Yups, Ibnu sering puasa, jadi daripada mubazir makanan tersebut dimakan olehnya, dan Dokter tidak keberatan akan hal itu.
Seandainya para wanita itu tahu kalau hati sang Dokter telah dimiliki teman masa kecilnya, akankah mereka berhenti menitipkan makanan dan hadiah-hadiah padanya? Tya menggeleng, itu tak boleh terjadi atau dirinya tidak akan mendapatkan jatah makan siang yang lezat lagi. Yahhh, meski mereka---para wanita tersebut mengatakan hasil masakan sendiri, dia tahu itu bohong.
Ibnu berjalan sambil menerima telphone dari salah satu santri yang mengabarkan keadaan ibunya di rumah, sedang dari arah berlawanan datang Ibra yang juga tengah menelphone Deandra untuk menemukan tempat gadis itu menunggunya.
Mereka berpapasan dan tanpa sengaja saling menyenggol. Ibnu meminta maaf, tidak dengan Ibra yang merasa pernah bertemu sebelumnya.
"Tunggu!"
Ibnu berbalik, menatap Ibra tidak mengerti. Dia tidak sengaja, lagi pula tidak sampai jatuh.
"Kau tahu ruangan Dokter Deandra? Dokter kandungan," Ibra berinisiatif bertanya daripada mendengar intruksi Deandra melalui telephone---sama sekali tidak membantu.
"Anda lurus saja, ketemu simpangan belok ke kiri, lurus, kira-kira dua puluh meter."
"Oke, terima kasih."
Ibra segera berlalu, menelusuri sesuai petunjuk Ibnu. Dia memang merasa pernah bertemu---lupa di mana, tapi nanti-nanti saja. Menemui Deandra lebih mendesak, ada yang ingin dibicarakan gadis itu. Bisa jadi tentang Rin, kedua-nya terhubung, saling memberi kabar, dan hanya pada Deandra, Rin bercerita.
Sejak empat tahun lalu, Rin dan dirinya memang menjaga jarak. Gadis itu mengurangi intensitas komunikasi agar tidak terbebani perasaan masing-masing. Ibra tidak tepat saat menyatakan perasaan, sedang Rin tidak ingin menjalani hubungan baru dikarenakan pengkhianatan Kim. Itu bisa diterima olehnya namun semakin lama mereka semakin jauh, ditambah dia yang mengabulkan permintaan untuk tidak bertanya kabar jika bukan Rin yang memberitahu.
Ibra berbelok ke kiri, persis seperti arahan Ibnu.
***
Bersambung...,
Hai, masih ingat Ibra dan Rin? Masih ya 😉 biar aku seneng 😄
Maaf ya, minggu kemarin enggak update. Itu, ada satu kendala (alasan) hehehe. Lagi banyak kerjaan, disamping itu ide-nya mentok. Jadi, untuk minggu ini, tulisannya segini dulu. Berharap setelah part 10 bisa dapetin lagi semangat buat nulis lanjutannya.
Oke, dukung terus aku di PeHa dengan nitipin jejak---tekan tombol 🌟 di bawah 😉
Salam author paling gaje, alay, dan super nyebelin, LoopiesFM.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro