Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian ke Sembilan

"Semua baik, tidak ada masalah. Anda seharusnya sudah bisa pulang nanti sore, tapi kenapa masih ingin tinggal?"

Orang tua yang duduk di tepi ranjang itu memasang muka sedih, "bagaimana aku mau pulang kalau di sini lebih menyenangkan?"

Laki-laki itu tersenyum ramah, bukan hal baru ketika mendapati pasiennya bertingkah kanak-kanak---mengulur waktu kepulangan. Namun demi kesopanan dia tetap bertanya, "ada apa, Nyonya?" tangannya menangkup tangan yang sudah keriput tersebut.

"Itu karena kau, Dokter. Kau sangat baik dan sungguh perhatian, berbeda dengan anak-anakku yang sibuk bekerja. Lihat saja, saat aku sakit bahkan mereka jarang menemaniku, menjenguk sebentar, tidak mau mendengarkan keluhanku," raut wanita tua itu menjadi muram.

Ibnu yang duduk di dekat ranjang serta tangannya menggenggam tangan wanita tersebut turut prihatin. Dia jadi ingat Umi-nya di rumah, apakah sama? Tapi Umi-nya, wanita paruh baya yang selalu tersenyum itu pasti tidak kesepian meski di setiap telephone terdengar seolah menahan isak. Bukan ingin menjadi pembangkang, namun keadaan yang mengharuskan mereka tinggal berjauhan. Lagi pula, di rumah banyak anak, mereka bisa mengalihkan kesepian dengan terus mengganggu Umi. Seperti minta diajari menulis huruf hijaiyyah, Ibnu juga sudah meminta pada salah satu murid di sana agar tetap mengekor ibunya kemana pun.

"Dokter, kau mendengarku?"

"Ha?" Ibnu tersadar dari lamunan. Membuat pasiennya tersenyum karena bisa mendapati wajah konyol laki-laki muda tersebut yang tetap tampan meski mulutnya menganga.

"Wanita tua ini bercerita panjang lebar tapi kau malah melamun, apa kau memikirkan hal lain. Misalnya, pacar?" hati-hati sekali wanita tua itu menyebut kata terakhir. Beliau takut jika Dokter mudanya mengangguk lantas harapan itu musnah. Sedangkan memiliki menantu seorang dokter  yang tampan, baik hati adalah impian banyak orang. Anak bungsunya yang perempuan sudah pantas menikah.

Lagi-lagi Ibnu tersenyum, bingung mau jawab apa. Dia memang tengah memikirkan seorang wanita, tapi bukan pacar. Namun melihat seringai yang dipasang pasiennya, dia bisa menebak. Seperti yang sudah-sudah, "Anda tahu apa yang kupikirkan, Nyonya. Semalam dia menelphone sambil menangis, ngambek karena jarang dikunjungi."

Ibnu tidak berbohong. Umi-nya semalam memang menelphone sambil menahan isak, dia tahu itu walau wanita yang melahirkannya tersebut berusaha menyangkal dengan balas memberi pertanyaan, apakah dia hidup dengan baik, apakah makannya teratur, apakah ada yang mengurus semua keperluannya?  Hal-hal yang menurutnya remeh tak luput ditanyakan.

Pasien wanita itu menunduk lesu, "padahal aku berpikir untuk menjodohkanmu dengan putriku. Tapi melihat wajahmu saat memikirkannya, aku tahu kau sangat menyayanginya."

"Baiklah. Nanti sore aku akan pulang," sambung wanita itu meski sedikit tidak rela. Ibnu akan beranjak ketika seseorang menyembul di pintu ruangan dan hanya nampak kepala saja. Salah satu perawat.

"Dokter, pasien 057 menanyakanmu. Katanya tidak mau minum obat kalau bukan Anda yang meminta."

"Baiklah, aku akan ke sana." Ibnu menoleh kembali ke pasiennya, "Nyonya, saya undur diri. Semoga Anda selalu sehat dan jangan ke sini lagi ya."

"Apa mengunjungimu tidak boleh?"

Ibnu berbalik dan tersenyum, "mengunjungiku boleh, tapi jangan karena sakit. Sehat itu mahal."

"Sampai jumpa," ucapnya sebelum menutup pintu. Dan di luar ternyata perawat tadi masih menunggu.

"Ngeyel lagi, Dokter?"

Ibnu mengangguk.

"Keplak saja!"

"Tidak boleh," protes Ibnu.

"Dokter terlalu ramah, jadi pasien betah. Sesekali keraslah seperti Dokter Irman, mengaum," menirukan suara harimau yang membuatnya terlihat lucu, "atau Dokter Tia, galak-galak judes. Pasti deh kabur." Perawat terkikik geli dengan bayangan di otaknya.

Mereka terus mengobrol meski hanya Perawat itu yang mendominasi sedang Ibnu sesekali menyahut.

.

-[ Di dunia ini, ada beberapa manusia yang memilih lari daripada menghadapi masalahnya. Pecundang, memang. Dan sayangnya, aku termasuk salah satu di antara para pecundang itu. ]-

.

Dia yang menunjukkan tempat ini pertama kali pada gadis itu ketika tahu jika sahabatnya tersebut ketahuan menyukai tempat yang tinggi. Katanya, semua jadi indah kalau dilihat dari atas, terutama suasana malam hari. Di mana lampu-lampu pada mobil seperti bintang bergerak, beriringan.

Lalu, ada satu hal yang baru diketahuinya belakangan ini. Ternyata tempat yang tinggi menyamarkan keberadaannya. Orang-orang di bawah cenderung abai pada keadaan atas, bahkan menilai jika apa pun yang ada di atas terlihat baik-baik saja. Mereka tidak tahu jika bintang yang terlihat bergerombol ternyata berdiri pada tempatnya sendiri-sendiri. Kesepian. Dan Rin adalah salah satu di antara bintang itu, dia memilih terlihat baik-baik saja ketimbang dikasihani karena keadaannya yang berbanding-balik dengan pikiran orang-orang kepadanya. Dia masih keras kepala dan tidak ingin dipandang lemah.

Kadang Ibra berpikir, apa yang diberikannya pada gadis itu adalah sebuah kebaikan. Dia menuruti semua tanpa terkecuali, termasuk melepaskan. Ya, dirinya sekarang sendirian. Rin memilih pergi, mengasingkan diri ke kota yang bahkan mungkin tidak ada dalam list kota yang akan dikunjungi. Tapi kenyataan seolah menamparnya berkali-kali agar dia sadar, Rin adalah orang yang paling terluka. Sahabatnya itu dikhianati, gagal menikah, dan merasa jatuh bebas ke dasar tanpa parasut. Seharusnya dia hadir, menemaninya, bukan malah berdiam diri, berpikir waktu bisa mengobati luka.

Omong kosong!

Harusnya perhatian ditunjukkan dengan tindakan. Tidak ada waktu tidak bisa dijadikan alasan. Lihatlah, setegar apapun seorang wanita, dia tetap mahluk lemah yang butuh dukungan saat dia terluka.

Sekarang dia menyesal. Rin tidak ingin kembali meski sudah berlalu empat tahun sejak kejadian itu. Sahabatnya memilih pergi, mencari ketenangannya sendiri di kota yang amat jauh.

.

"Bersulang!"

"Bersulang!"

"Bersulang!"

Ke-tiga laki-laki itu menoleh ke satu-satunya perempuan yang ada di meja yang tak menyambut pekikan mereka, malah terlihat muram.

"Dea, kamu baik-baik saja?" Alfa bertanya ingin tahu. Gadis itu menatap laki-laki yang sudah dianggapnya kakak tersebut dengan mata berkaca-kaca, siap untuk menangis.

Nugie melirik sekilas, tampak tidak tertarik. Dia meminum minumannya tanpa menunggu yang lain.

"Aku semakin khawatir dengan Ibra, dia benar-benar seperti zombi sekarang." Deandra membayangkan gaya hidup Ibra yang hanya dihabiskannya dengan bekerja dari pagi sampai larut malam---begitu setiap hari demi membunuh penyesalannya atas keputusan Rin.

"Daripada mengkhawatirkan orang lain, lebih baik kamu khawatirkan dirimu sendiri, sudah tua masih jomblo," ledek Nugie tanpa dosa.

Deandra murka. Diambilnya garpu di piring steak-nya kemudian diacungkan ke arah laki-laki itu, "kamu memang tidak peka!"

Lalu tanpa pamit Deandra meninggalkan meja setelah menggebrak juga, membuat Nugie melongo. Tidak percaya dengan tingkah absurd yang baru diperlihatkan perempuan mungil itu.

"Kenapa dia?" Nugie menoleh pada dua orang yang tersisa.

"Seperti yang dikatakannya, kamu tidak peka." Alfa menjawab santai.

"Tidak peka gimana, gini-gini aku juga memikirkan Ibra." Nugie memasang muka polos.

Alfa dan Mahendra saling padang kemudian menepuk jidat sendiri-sendiri.

Dasar, Nugie memang tida peka pada perasaan peremuan yang menyukainya selama ini.

.

"Bagaimana keadaannya?" Ibra bertanya melalui sambungan telephone genggam, berjalan menuju sofa, kemudian tangan lainnya membuka map yang dikirimkan oleh asistennya dari kantor. Dia sudah duduk sekarang, menatap lembaran-lembaran yang penuh laporan. Sejak dua tahun lalu dia memilih tinggal di apartemen agar leluasa menikmati kesendiriannya.

"Dia baik, ada banyak kegiatan yang diikuti. Kadang dia pamit untuk jalan dengan seseorang. Kupikir dia mulai berkencan?"

Mendengar hal itu Ibra seketika menghentikan aktifitasnya, mencerna satu persatu kata yang diucapkan Tanaka barusan, 'Rin berkencan?'  tidak mungkin!

"Kamu tidak salah menebak, kan? Mungkin itu hanya kenalan?" Ibra ragu-ragu mengatakannya. Takut dengan reaksi Tanaka. Namun benar, laki-laki bermata sipit itu terdengar tengah tertawa, menertawainya. Sial.

"Ibra-san, Ibra-san, aku hanya bercanda," setelah menguasai diri, Tanaka kembali tenang, "Rin-san tidak berkencan. Dia sibuk dengan project, menulis. Kamu tahu kan, sepanjang hari setelah dari universitas dia jalan-jalan untuk mencari inspirasi, kemudian malamnya pulang, mengunci diri di kamar dan, mengeksekusi hasil buruan."

Ibra tersenyum sumringah, "bagus. Tetap jaga dia dan pastikan dia tidak kekurangan apa-apa."

"Kamu tidak berkunjung? Sebentar lagi festifal Hanami, dia pasti akan senang jika kamu datang."

"Ada banyak pekerjaan," itu bohong. Ibra hanya belum siap bertemu.

"Rin-san merindukanmu." Tanaka pernah melihat Rin menangis sambil menatap foto mereka berlima, yang tidak ada Ibra di antara mereka. Itu diambil pada musim dingin tahun lalu ketika Alfa, Nugie, Mahendra, dan Deandra berlibur ke Tokyo sekaligus melepas rindu. Ibra tidak ikut karena takut membuat gadis itu kembali bersedih mengenai hubungan mereka.

"Aku juga merindukannya," ucap Ibra dalam hati. Dia menatap dokumen di tangan, kehilangan minat untuk mengerjakan setelah mendengar kabar tentang gadis itu. Mungkin ada baiknya dia memaksakan diri, menemui Rin dan meminta maaf. Seharusnya tidak masalah jika perasaannya ditolak, mereka masih bisa bersahabat, bukan?

"Masih mendengarkanku, Ibra-san?"

Ibra bukannya menjawab malah memutuskan panggilan, dia beranjak dari sofa, kemudian mengambil kunci mobil. Benar apa yang dikatakan Alfa, Rin menyayanginya sebagai sahabat, saudara, teman, dan orang yang akan selalu ada. Tidak masalah menjadi bukan siapa-siapa di hati gadis itu, dia tidak berhak meminta lebih. Seharusnya Ibra berterima kasih, Rin masih menunggunya untuk kembali seperti dulu.

Ibra menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini. Dia bisa tersenyum sekarang dan dia tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan hubungan mereka.

***

Bersambung...,

Apakah mereka akhirnya bertemu? Atau ada sesuatu yang menghalanginya lagi? Hehehe..., nantikan kelanjutannya minggu depan.

Oke, ini part yang menurutku susah karena bisa tidak menampilkan tokoh utamanya. Rin tidak muncul di sini, hanya disebut saja. Tantangan tersendiri 😄

Dan, seperti biasa, menerima kritikan juga saran untuk kemajuan menulis. Dukung tulisan ini dengan meninggalkan jejak ya 😉

Terakhir, salam Loopies.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro