Bagian ke Sebelas
Holla..., akhirnya bisa update lagi, nyapa kalian lagi setelah beberapa waktu absen. Tolong jangan tanya kenapa, hahahaha. Iya, ini karena penyakit 'M' , bukan malaria atau malarindu, tapi M---ales.
Semoga masih ingat sama Babang Ibra.
Selamat membaca.
Salam dari siGaje LoopiesFM
.
"Kenapa kalian tidak menikah saja?" Entah itu saran atau sebuah pertanyaan. Tanaka menyeret kursi, mendudukkan diri, di sampingnya Rin tampak menikmati pemandangan malam dari lantai tujuh belas apartemen tempat tinggalnya.
Tanaka datang berkunjung, biasanya seminggu sekali atau jika mendesak---seperti saat Ibra menelphone, dia bisa mampir setiap hari, menanyakan keadaan sahabatnya. Jika di pihak Ibra, Alfa menjadi kurir, maka dialah kurir untuk gadis itu. Benar-benar hubungan yang rumit.
"Kami tidak bisa menikah,"
"Apa karena perjanjian itu?" Tanaka memotong cepat. Perjanjian yang mengharuskan tidak boleh ada perasaan cinta sesama anggota.
Rin menggeleng, "perjanjian itu bukan masalah."
"Lalu?"
Rin menoleh, tersenyum samar kemudian kembali menatap keluar, dimana salju turun tidak begitu lebat. Dulu dia ingin sekali menyaksikannya pertama kali bersama Ibra, mereka sudah berencana setelah tabungannya cukup. Namun keadaan berbicara lain, dia pergi lebih awal dan Ibra tidak mau mengunjunginya di musim dingin.
***
Bagian ke Sebelas (11)
Oleh:
Di atas ketinggian ribuan kaki dari permukaan, perjalanan pulang dilakukan. Akhirnya, setelah empat tahun lebih beberapa bulan Rin memutuskan kembali. Entah, gadis itu hanya menuruti kata hati. Kemarin, ketika dirinya berbicara dengan Alfa dan mengetahui Ibra berusaha menemuinya, Rin merasa amat bersalah. Mereka tidak boleh saling mendiamkan, salah satu harus mengalah. Dan Ibra sudah memulai, terlepas dari pencegahan yang dilakukannya, sahabatnya tersebut beriktikad baik.
Maka kini gilirannya, memperbaiki hubungan agar bisa melanjutkan hidup masing-masing dengan normal. Tidak, Rin tetap tidak bisa memilih bersama Ibra seperti yang diharapkan banyak orang kepada mereka, jangan lupa jika dia adalah gadis keras-kepala.
"Kau masih mencintai Kim?" itu pertanyaan yang diajukan Tanaka, Rin tak langsung menjawab. Dia hati-hati untuk memilih kata, benarkah selama ini dirinya masih mengharapkan mantan tunangannya tersebut. Itu cinta pertama yang indah namun berakhir dengan pengkhianatan yang tak bisa diterima.
"Dia sudah menjadi seorang ayah." Rin mengatakannya lirih, teringat pertemuan terakhir mereka. Sejak saat itu Rin tak pernah melihat laki-laki yang pernah mengisi hatinya, setelah dia menggebrak meja, meninggalkan Kim begitu saja tanpa mendengar penjelasan. Benar-benar tidak ada komunikasi.
"Perasaan itu siapa yang tahu, Rin-san. Kamu mengatakan hal itu, tapi hatimu tidak bisa melupakan."
"Itu tidak boleh. Seseorang yang telah dimiliki tidak boleh direbut."
"Orang bisa berpisah setelah beberapa saat bersama, bisa karena jenuh, tertarik pada yang lain, atau menemukan perbedaan hingga tak lagi sejalan."
Rin tersenyum sinis. Dia bukan orang seperti itu. Dia akan memilih bertahan sampai batas akhir, sebisa mungkin.
"Anak muda sekarang, baru patah hati sudah seperti orang mau mati saja," ucap seorang penumpang yang duduk di sebelah Rin. Orang itu tersenyum ramah, meski kalimatnya terasa menusuk.
"Kalau orang jaman dahulu, kehilangan kekasih, cukup bakar semua benda tentangnya. Hilang semua kesakitan-kesakitan bersama asap hitam yang mengepul ke udara."
Rin menampilkan senyum penghargaan, orang yang berada di sampingnya ingin mencairkan suasana yang hening dengan mengajaknya bicara. Lagi pula tak masalah, perjalanan selama tujuh jam dari Tokyo hingga Jakarta akan terasa membosankan tanpa adanya selingan. Dia tidak bisa tidur terus-menerus, atau membaca buku, kedua hal tersebut tidak membuatnya tertarik untuk saat ini.
"Apa aku benar?" Orang tersebut berusaha menyimpulkan keadaan yang dialami Rin. Namun sayangnya itu salah, Rin tidak dalam masa patah hati, dia hanya sedang memikirkan sesuatu.
"Itu tidak membantu, Tuan. Apalagi untuk orang-orang sekarang, setelah membakar kenangan tersebut, mereka tetap mendapati hal lain yang akan menariknya kembali ke dalam masa patah hati yang lebih menyakitkan."
"Misalnya?" Pria yang hampir memasuki usia senja tersebut merasa umpannya sudah ditarik. Dia senang mendapat teman perjalanan yang bersedia diajak bicara. Selama ini orang-orang hanya sekilas menoleh, kemudian pura-pura sibuk dengan kegiatan lain, salah satunya tidur. Tidak menganggap dirinya penting.
"Media sosial," bisik Rin setelah menoleh ke kanan dan kiri, seolah takut ada yang menguping pembicaraan mereka. Tentu saja itu guyonan.
Orang tersebut terbahak, membuat beberapa penumpang yang tidak jauh darinya menoleh. Rin tersenyum canggung, meminta maaf atas kegaduhan yang ditimbulkannya.
"Kau benar, media sosial sungguh merubah orang jadi cengeng dan tidak berguna." ucap Orang itu setelah menguasai tawa, memperbaiki sikap.
"Tapi media sosial membantu kita mendapat informasi dengan mudah dan cepat." Rin tersenyum. Bukankah dia terbantu dengan adanya media sosial yang beberapa tahun belakang mulai marak. Seperti yang dibuat oleh Mark, pemuda yang diDO dari universitasnya tersebut, siapa sangka dirinya bisa menciptakan media yang mendunia bahkan menghasilkan jutaan dollar. Dan tidak memungkinkan di masa-masa mendatang akan muncul lagi media-media serupa yang membuat penggunanya merasa jarak tidak lagi jadi masalah, cukup menyentuh layar maka akan ketemu semua yang dicari.
"Ngomong-ngomong, orang tua ini ingin tahu nama teman perjalanannya. Itu jika tidak keberatan, masalahnya akan aneh kalau terlihat akrab tapi---,"
Rin tertawa geli. Kalimat yang digunakan orang tua itu seperti seorang pemuda yang berusaha mendekati wanita yang diincarnya. Lagi pula bahasanya terlalu baku dan resmi, "Insania Rin. Anda bisa memanggil dengan Rin."
"Nama yang cantik, secantik orangnya. Oh ya, Rin, apa kamu keberatan dengan orang tua yang cara bicaranya sok muda?"
Lagi-lagi Rin tertawa, tidak percaya pada perubahan sikap yang bertolak-belakang dengan awal-awal tadi. Biasanya dia akan merasa risih atau terganggu, ini siapa yang coba-coba sok akrab. Namun tidak dengan orang di sampingnya, tidak tampak jahat atau menyimpan motif buruk.
"Saya sudah mengenalkan diri, tapi Tuan belum."
"Ah ya, lupa." Orang itu tertawa.
"Aihara Tagawa."
Rin melongo. Jadi, dari tadi yang mengajaknya bicara adalah orang Jepang yang meski aksennya aneh namun fasih mengucapkan kosa-kata bahasa Indonesia. Matanya memang sipit, tapi banyak penduduk di negaranya yang memiliki bentuk mata tersebut, bahkan salah satu temannya ada yang secara penampilan mirip warga Tionghoa meski ke dua orang tuanya asli pribumi yang memiliki warna kulit eksotis.
"Maafkan ketidak-sopanan saya," ucap Rin buru-buru memperbaiki sikap.
Orang itu tertawa, "tidak apa-apa."
.
"Anda mencari saya?" Ibnu bertanya setelah memasuki ruangan Dokter Faizal, dia tengah menelpon rekannya. Entah siapa.
"Oke, dia sudah datang. Aku bisa mengurusnya, kau siapkan saja tempat Beliau tinggal, jangan seperti tahun lalu. Kali ini kita harus membuatnya terkesan," ucap Dokter yang masih mengabaikan keberadaan Ibnu.
"Sudah dulu, sisanya aku serahkan padamu." Dokter Faizal memberi isyarat pada Ibnu, menyuruh duduk. Dia memasukkan telephone genggam ke saku, mengambil kunci kemudian menyerahkannya.
"Kamu bisa nyetir kan? Tolong jemput Profesor Aihara di bandara sekarang dan bawa Beliau ke sini." Dokter Faizal mengulurkan kunci mobil, kemudian sebuah gulungan kertas.
"Tapi saya tidak tahu bagaimana Profesor Aihara tersebut."
"Itu-lah gunanya gulungan di tanganmu. Sekarang berangkat, jangan sampai Beliau menunggu lama!" Dokter Faizal mengibaskan tangan, menyuruh Ibnu segera menjalankan perintahnya, tidak mau menerima penolakan. Mau tak mau, laki-laki yang lebih muda dari segi usia dan pangkat itu bergegas keluar meski belum mencerna penuh perintah tersebut. Di dalam, Dokter Faizal tersenyum samar.
.
Rin pulang. Itu kalimat yang ingin digaungkannya agar semua orang tahu jika dia ada di sini, di rumah. Tapi urung, tidak ada yang spesial di antara lalu-lalang keramaian bandara. Semua tampak asing dan tak dikenali olehnya.
"Kau akan berdiam diri saja di situ seperti patung?" Rin mulai hafal dengan suara yang menegurnya. Bersama hampir tujuh jam, mendengar cerita pengalaman hidup, serta nasehat-nasehat bijak dari orang yang dianggapnya lebih tua tersebut memberinya pelajaran berharga.
"Tuan Aihara, aku sedang berbahagia. Tolong jangan merusaknya!" gerutu Rin.
"Kau tadi seperti mayat hidup, sekarang cerewet. Berani membentak orang tua."
Rin merengut, baru kali ini dinilai cerewet selama masa hidupnya, dan itu pun diucapkan oleh orang yang baru dikenal. Benar-benar menyebalkan. Meski begitu dia mengikuti langkah pria yang menuju usia senja itu dengan patuh.
Rin mengikutinya hingga pintu keluar. Dia belum punya tujuan, siapa tahu seseorang yang disebut Profesor Aihara tadi, yang katanya akan menjemput bisa sekalian mengantarnya hingga ke tempat Alfa atau Deandra. Jika langsung menemui Ibra, dia belum siap. Rin harus mengatur waktu yang tepat. Mungkin nanti malam, sekarang dia butuh istirahat setelah perjalanan panjang.
Sedang di tempat yang berjarak tidak jauh, Ibnu membentangkan gulungan kertas yang diberikan Dokter Faizal begitu mendapati penumpang mulai keluar dengan koper dan tas bawaan masing-masing.
Baginya, ini memang menyebalkan. Dia adalah seorang dokter, bukan supir yang bisa disuruh antar-jemput.
"Bawa ini!" Profesor Aihara tanpa basa-basi menyerahkan tasnya pada laki-laki tersebut sebelum paham situasi. Sedang Ibnu mencoba mencerna dengan mengamati pria yang tiba-tiba melempar tas seenaknya.
"Anda profesor Aihara?"
"Ya," jawab profesor singkat, melihat ke sekeliling, mencari keberadaan Rin.
"Mari, ikut saya!" Ibnu berbalik.
"Tunggu! Kemana anak itu?" Profesor kembali mengedarkan pandangan. Tidak terlihat Rin di mana-mana.
"Anda mencari siapa?" Ibnu bertanya, yang dia tahu Dokter Faizal hanya menyuruhnya menjemput satu orang. Karena tak kunjung mendapat jawaban, sedang yang ditanya terlalu sibuk menoleh ke sana ke mari, tidak jelas, dia memutuskan berbalik, melanjutkan langkah. Namun baru beberapa langkah, Ibnu mendengar teriakan seseorang.
Ibnu berhenti, tidak menoleh. Dia merasa mengenal suara di belakangnya. Namun karena masih ragu, dirinya belum berani menoleh.
"Prof., ternyata saya dijemput seseorang. Jadi terima kasih ajakannya. Maaf, saya harus pulang bersamanya."
Ibnu akhirnya menoleh. Didapati seseorang yang meski tampilan berbeda dari bayangannya selama ini, dia yakin adalah Sani-nya. Gadis itu bertambah cantik dan dewasa.
"Sani...," tanpa sadar Ibnu mengucapkan nama tersebut, membuat gadis itu menoleh.
Pandangan mereka bertemu.
"Kak Nunu." Rin tersenyum. Dia tidak menyangka bertemu dengan seseorang di masa lalu-nya kembali.
***
Bersambung...,
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro