Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian ke Empat Belas

"Lama menunggu?" Pertanyaan tersebut membuat lamunan Rin buyar, dia menoleh, mendapati Ibnu tengah tersenyum padanya. Entah senyum karena apa?

Rin memperbaiki posisi topinya, ikut tersenyum, "baru satu jam tiga puluh menit. Ini kalo digunakan membaca aku bisa menyelesaikan satu novelet."

Raut Ibnu mendadak pias, merasa bersalah. Namun Rin segera menepuknya, "ayo jalan. Aku sudah lapar!"

Mereka berjalan beriringan. Ibnu memperhatikan Rin dari belakang, ada banyak perubahan dari gadis itu, dulu Rin merupakan anak yang cukup berisi dengan pipi menggelembung, membuat beberapa orang gemas kemudian mencubitnya. Dia juga akan melakukan hal yang sama jika saja Umi-nya tidak melarang. Namun lihatlah sekarang, tubuhnya kurus dengan pipi sangat tirus, seolah Rin kekurangan banyak gizi selama bertahun-tahun ini.

"Menurut Kakak, bagaimana penampilanku?" Rin tiba-tiba menoleh, berjalan mundur, tangan kanannya menyentuh ujung topi kemudian mendongak. Gadis itu tersenyum sumringah, menunggu jawaban.

"Cantik." jawab Ibnu padat dan singkat. Membuat Rin langsung cemberut, dia menunggu jawaban yang lebih panjang dan detail, atau setidaknya sebuah pujian yang terdengar tulus.

"Cantik dan anggun," Ibnu buru-buru meralat ketika mendapati Rin memunggunginya kembali, berjalan cepat. Dia sungguh tidak tahu kenapa mendadak rasa bersalah menyergapnya kembali, padahal dia sudah jujur. Rin cantik, cantik sekali malah. Memakai baju putih dengan lengan hanya tujuh-perdelapan, dipasangkan rok selutut warna senada yang memperlihatkan kaki jenjang-nya, kemudian aksesoris topi lebar yang menambah keanggunan gadis itu. Dia bukan ahli tata busana, tidak bisa memberi penilaian dari A sampai Z, apalagi mengomentari ini-itu. Mungkin benar kata orang, wanita itu mahluk merepotkan.

Sementara Rin tengah kesal, tiba-tiba lengannya ditarik dari belakang, "kamu marah?"

Pertanyaan itu menghatamnya telak. Benarkah dia marah? Atas dasar apa? Rin menunduk, tidak berani menatap Ibnu, dia juga bersyukur karena topi ini menghalangi laki-laki itu untuk melihat gerak bibirnya yang komat-kamit karena gugup.

Sebenarnya Ibnu pun gugup karena berada sedekat itu dengan Rin. Namun dia bisa menguasai diri, sehingga tidak begitu terlihat.

"Aku lapar."

Tentu saja itu bohong. Rin bisa menahan lapar dan terbiasa hanya sarapan dan makan malam saja, sedangkan sekarang masih jam tiga sore.

Ibnu terdengar menghela nafas, "baiklah. Ayo cari tempat makan keburu kamu pingsan. Aku tidak mau menggendongmu yang pastinya berat."

Rin tahu itu gurauan, tapi entah kenapa dia tetap kesal saat mendengarnya, "aku tidak berat tau!"

Ibnu tertawa, "kupikir kamu tidak akan membalas ejekanku, ternyata kamu memang banyak berubah."

"Emangnya Power Ranger?"

"Tuh kan, menyela lagi?"

"Ayo buruan, aku sudah lapar!" potong Rin cepat kemudian berbalik dan mulai meninggalkan Ibnu yang masih diam di tempat. Rin berusaha menenangkan debar jantungnya. Dia tidak tahu jika berlama-lama dengan laki-laki itu bisa membuatnya salah tingkah.

"Rin," panggil Ibnu

"Apalagi?" jawabnya tanpa menoleh.

"Rambutmu cantik."

Rin berhenti. Itulah yang dia tunggu, pujian atas keputusannya memangkas rambut. Dulu, Ibnu pernah bilang jika dia tidak suka dengan anak perempuan berambut panjang yang membiarkannya terurai begitu saja. Seperti kuntilanak, apalagi jenis rambutnya tidak lurus, bergelombang layaknya ombak di laut. Bergulung-gulung.

"Aku pingsan beneran kalo Kakak tetap di situ." Rin mengomel tanpa menghentikan langkah. Dia teramat senang sampai tidak berani menunjukkannya pada Ibnu. Takut laki-laki itu salah pikir. Mereka kan hanya teman biasa, yang kebetulan bertemu di tempat baru dan saling menyapa untuk kemudian berjanji pergi bersama di akhir pekan. Mengunjungi tempat rekreasi. Seperti yang mereka lakukan dulu.

.

Nugie yang baru datang langsung menyeruput coffeelate milik Mahendra sehingga Empunya marah dan melempar serbet, Alfa hanya menggeleng menyaksikannya---tidak berniat melerai. Mereka selalu bertengkar tanpa mengenal tempat, layaknya anak-anak. Namun anehnya mereka bisa kompak saat bekerja sama, seperti usaha kuliner yang kini tersebar di mana-mana.

Lain dengan Ibra yang memilih sibuk dengan gawai di tangan meski sudah diperingatkan oleh Alfa tentang peraturan lama, dia tidak peduli. Beralasan ada banyak pekerjaan, padahal diam-diam menghubungi Rin. Menanyakan mengapa belum sampai?

Dari jauh Alfa telah melihat kedatangan Deandra yang mengenakan dress selutut berwarna cokelat susu, gadis itu melambai penuh cita, berjalan cepat kemudian merangkul Ibra tanpa permisi, mirip Rin. Membuat beberapa pengunjung lain menoleh sangking hebohnya Deandra.

"Ya ampun, ini beneran kamu, Pram?"  Deandra histeris sangking bahagianya karena Ibra ikut bergabung bersama mereka, biasanya laki-laki itu absen, memilih bekerja daripada berkumpul menghabiskan waktu di akhir pekan.

"Hentikan, Dea!" Ibra mencoba menghalau gerakan Deandra yang semakin agresif, risih diperhatikan orang-orang.

"Aku bahagia, Pram!"

"Aku tau, tapi hentikan tindakanmu ini!" Ibra bersiap mendorong gadis itu jika tidak mau menghentikan aksinya, ke dua tangannya sudah bersiap di pinggang, kapan saja langsung lempar.

Alfa berkedip memberi kode, Deandra akhirnya menurut, takut jika Ibra kesal dan membantingnya seperti dulu.

"Kalo kamu menunggu Rin, dia tidak akan datang." Deandra telah mengambil tempat, duduk di sebelah Nugie, ikut menyeruput coffeelate milik Mahendra. Empunya geleng kepala, tidak laki-lakinya, ternyata wanitanya sama saja.

Ibra mendongak dari layar delapan inchi-nya, penasaran bagaimana Deandra tahu jika dia menunggu Rin. Padahal siapa pun akan tahu jika Ibra adalah penjaga gadis itu.

"Rin kemana?" Mahendra menyambar cepat, dia memancing reaksi Ibra. Akan sangat menyenangkan membuat laki-laki itu kecewa di kehadirannya yang pertama setelah beberapa tahun absen.

"Bersenang-senang dengan teman lamanya," jawab Deandra tanpa merasa perlu menjaga perasaan Ibra.

Bahkan kali ini Alfa pun turut andil untuk membuat Ibra semakin kepanasan, "kencan?"

"Bisa jadi," Deandra mengangguk, lantas melirik ke laki-laki di depannya yang sepertinya sudah terpancing.

"Tadi pagi Rin rempong banget pas mau pergi, dia juga pinjam baju terbaikku, belum lagi topi itu tuh, yang kita beli di Bali, dia pake juga untuk bertemu teman lamanya. Aduh, pokoknya heboh, mana dandan lagi. Kan nggak biasanya dia gitu."

"Pergi ke mana?" sambar Ibra cepat, tatapannya menghunus tajam, Deandra merasa aura di tempat mereka bertemu mendadak gelap dan mencengkam.

"Eee...," Deandra bingung menjawab apa, dia masuk jebakannya sendiri. Ibra mulai kesal, dan dirinya mau tidak mau mengatakan yang sebenarnya padahal sudah berjanji pada Rin untuk merahasiakan acaranya hari ini. Mungkin karena tahu jika sahabatnya itu tidak suka.

"Sebenarnya Rin tidak sedang berkencan, Pram ...."  terbata Deandra mengucapkannya, "dia cuma menemui teman lamanya."

Namun Ibra sudah kepalang kesal, dia beranjak dari duduknya, menyampirkan jas abu-abu ke pundaknya setelah tadi dilepas karena merasa salah kostum. Mereka berada di kafe milineal, dimana kebanyakan yang datang anak muda.

"Pram ...." Deandra mencekal Ibra yang siap pergi, "mo ke mana?"

"Menyusul Rin, apalagi?"

"Jangan! Biarkan dia menikmati waktunya bersama seseorang. Kita hanya perlu mendukung dia, apa kamu tidak ingin melihatnya bahagia?"

"Memangnya dia tidak bahagia?!" Ibra merasa semua orang menyalahkannya atas sikap pedulinya pada Rin.

"Dia ...," ucapannya mengambang. Deandra salah memilih kata, "dia bahagia bersama kita, tapi sesekali dia juga perlu bersama orang lain selain kita agar tidak bosan dan..., menemukan hal-hal baru. Ah ya, aku ingat dia ada project menulis trus temannya itu yang jadi narasumbermya."

Deandra berbelit-belit, membuat Ibra semakin curiga. Pernyataan demi pernyataan berganti, tidak konsisten. Akhirnya lelaki itu tetap pergi meski sudah ditahan sebisa mungkin.

Alfa membiarkan Ibra pergi, tidak mau ikut campur lagi. Mungkin lebih baik begini agar semuanya jelas.

.

Hal yang bisa dilakukan Ibra adalah menunggu. Ya, menunggu. Dia lupa bertanya ke mana perginya Rin dengan temannya pada Deandra, keduluan marah-marahnya.

Satu jam sudah, tapi tidak ada tanda-tanda Rin kembali ke rumah Deandra. Sekembalinya dari Tokyo, gadis itu memilih tinggal bersama satu-satunya sahabat perempuan yang dimiliki ketimbang ke apartemen yang dulu. Dia tidak mau dihantui banyak kenangan, terutama tentang Kim. Lagi pula Deandra senang hati menerima.

Hingga matahari terbenam, sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Ibra berdiri bersedekap, menunggu dua penumpang keluar.

Rin tersenyum ceria, gadis itu rupanya tidak mau ambil pusing dengan sikap posesif sahabatnya tersebut, malah menggandeng Ibra menuju Ibnu. Memperkenalkan.

"Ini Kak Nunu, temanku."

Ibra menatap tajam, jelas tidak suka. Sementara Ibnu mengulurkan tangan, mengajak salaman.

"Lain kali kalo mengajaknya pergi, izin dulu padaku!" tidak membalas ulutan tangan, Ibra menarik Rin untuk memasuki rumah.

Rin menoleh kemudian melambai pada Ibnu, dia juga berkedip, mengisyaratkan jika ini tidak serius. Ibra memang begitu, tapi orangnya baik.

Ibnu mengangguk mengerti, dia berbalik dan menuju mobilnya. Meninggalkan kediaman Deandra setelah mengantar dengan selamat Rin-nya.

***
Bersambung....

Hallo, kembali lagi dengan nganterin Ibra di malam minggu kalian. Semoga masih pada ingat 😄  soalnya lama banget tulisan ini. Selain karena kesibukan di bulan Ramadlan, juga karena seusai LEBARAN ada project baru yang mengharuskan tiap hari posting cerita dan itu mau tak mau mengurangi fokusku ke sini.

Maaf 😊

Berhubung masih edisi lebaran juga, aku mo minta maaf sama kalian. Janjinya mo nyelesain cepet tapi ketunda 😅  jadi maaf.

Maaf lahir batin 😊

Salam siGaje yang alay  LoopiesFM.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro