Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian Enam

Teruslah berbuat baik. Mungkin tidak  kaurasakan sekarang, tapi nanti. Seperti halnya tumbuhan, dia butuh waktu untuk menguatkan akar, membentuk daun, berbunga, kemudian dipetik buahnya.

***

Deandra memainkan pulpen di tangan, alisnya tertaut, terlihat resah. Bimbang antara memberitahu apa yang terjadi atau diam saja membiarkan temannya hidup dalam kebohongan. Tubuhnya disenderkan pada kursi kemudian memcoba memejamkan mata, namun bayang-bayang Rin yang tengah tersenyum mengganggunya.

"Aaa...." teriaknya frustrasi.

.

Ibnu menahan senyum agar teman seperjalanannya itu tidak merasa malu. Tadi dirinya sudah menawari, namun Rin gigih beralasan sudah makan sebelum naik. Tapi keadaan yang terjadi bertolak-belakang, berkali-kali mendengar suara perut tanda lapar dan jelas bukan dia.

Terakhir ini karena suara yang keluar lebih nyaring dari sebelum-sebelumnya, Ibnu tanpa permisi langsung menarik salah satu tangan gadis di sebelahnya, menaruh sebungkus roti dengan selai cokelat yang dia tahu pasti jika Rin tidak akan menolak lagi, "makanlah. Aku tidak bisa menggendongmu sampai rumah."

Rin menatap roti di tangannya sembari mencerna kalimat yang keluar barusan. Mengejanya satu demi satu kata, dan ketika  tiba di bagian 'tidak-bisa-menggendongmu' betapa kelirunya Ibnu menilai dirinya. Dia tidak akan pingsan hanya gara-gara tidak makan seharian, dia bahkan pernah mengalami lebih buruk dan tetap baik-baik saja. Dia tidak akan merepotkan orang lain, sekalipun itu Ibra.

Katakanlah tidak tahu malu, tapi memikirkan ucapan tadi lebih baik dia memakannya sampai habis, dengan lahap juga. Dia bersumpah tidak akan meminta tolong apapun pada laki-laki di sampingnya. Sekarang atau nanti. Tidak sama sakali, tekadnya dalam hati.

-[Tapi Rin melupakan satu hal, tidak ada seorangpun manusia di dunia ini yang bisa berdiri sendiri. Semua tanpa terkecuali membutuhkan orang lain.]-

Setelah mengisi perut dan kelelahan karena seharian berada di perjalanan, Rin tak bisa menahan kantuk. Dia tertidur menyender jendela, dan Ibnu yang diam-diam memperhatikan sedikit iba disebabkan beberapa kali kepala gadis itu terantuk kaca, tapi anehnya Rin sama sekali tidak terbangun.

Ibnu menarik kepala Rin kemudian menyenderkannya ke jok setelah mengatur posisi sandaran sedikit miring agar gadis itu tidur dengan nyaman. Kemudian mematikan pendingin di atas, dan terakhir mencari sarung di dalam ransel untuk dijadikan selimut. Dirinya tersenyum sambil memandangi wajah damai teman sepermainannya dulu. Mereka pernah berbagi kenangan sebelum Rin meninggalkan kampung halaman dan entah pergi kemana. Tidak ada kabar yang didengarnya dari orang-orang mengenainya, semua seakan ditutup rapat. Bahkan keluarga besar sama sekali tidak ada yang menyebut nama gadis itu pada peringatan orang tuanya.

"Apa kau hidup dengan baik?" Ibnu bermonolog sendiri. Dia benar-benar tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan Rin, anak perempuan yang dijaganya dari kecil agar tidak menangis atau pun terluka. Rasa sayang yang berlebihan untuk ukuran seorang teman.

.

"Kak Al..., ayo bertemu. Ada yang ingin kubicarakan," ucap Deandra sambil menelungkupkan diri ke meja, tangan kanan menyelipkan telphone genggam ke telinga. Dia sudah tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa, di otaknya hanya ada Alfa yang bijak menengahi masalah.

"Jangan! Jangan ajak siapa pun apalagi Ibra, Kak Al saja sendiri." kini Deandra sudah menegakkan diri.

"Aku masih di rumah sakit, satu jam lagi sampai. Ingat, jangan ajak siapa pun." Deandra menggeleng, seolah menegaskan lawan bicaranya di seberang sana.

"Oke. Kak Al..., aku berharap banyak padamu." terdengar kekehan Alfa yang justru membuat Deandra sedikit tenang. Setidaknya dia akan punya teman untuk menampung masalah yang dihadapi. Alfa meski senang bercanda tapi bisa diandalkan.

.

"Mas, istrinya dipijitin dong! Enggak kasihan apa, lihat tuh!" seorang wanita yang tidak tahu duduk-perkara sibuk mengomtari sikap cuek Ibnu ketika Rin  tampak nelangsa dengan kondisinya. Dibangunkan secara paksa, turun dari bus sambil sempoyongan, hingga makanan yang tadi masuk minta keluar.

Ibnu sebenarnya tidak tega, tapi dia tidak bisa berbuat banyak. Kesalahannya juga membangunkan Rin saat bus sudah tiba di terminal, bukan lima atau sepuluh menit sebelumnya agar gadis itu bisa menguasai diri dan sadar secara penuh.

Beberapa orang di sekitar mereka ikut mengerubung. Ada yang menawarkan air mineral, minyak angin, bahkan sweeter untuk menghalau angin malam yang terkenal ekstrim di daerah sini. Pakaian Rin sendiri memang tidak begitu tebal, kaos biru muda berlengan sesiku itu memperlihatkan warna kulit yang mulai memucat, membuat prasangka jika gadis itu tidak bisa menahan dingin.

"Jadi suami kok ndak perhatian sama istri, pecat saja, Mbak! Percuma ganteng tapi kepekaan minus," wanita tadi masih mengomel dengan tangan tanpa henti memijit tengkuknya. Jika tidak dalam kondisi mengenaskan, ingin rasanya Rin tertawa keras. Tentu saja Ibnu tidak akan sepengertian suami-suami di luar sana. Mereka tidak memiliki hubungan apa-apa, hanya tetangga di masa lalu. 

"Terima kasih," ucapnya tulus. Dia sudah merasa lebih baik dan mulai mendongak untuk melihat ekspresi Ibnu. Ada kekhawatiran di sana, dan Rin tidak tahu apakah itu karena empati atau hal lainnya.

"Minum dulu," bapak-bapak setengah baya mengulurkan air dengan kemasan botol dan tutupnya yang telah terbuka, ikut berjongkok di sebelahnya. Mereka penumpang dari bus yang sama dengan Ibnu dan Rin. Wanita tadi sudah berhenti memijit setelah ucapan terimakasih, namun juga masih setia duduk di sebelah jaga-jaga jika Rin kembali oleng.

Seseorang mendekat, tapi bukan ke arah Rin melainkan Ibnu. Sarung motif kotak-kotak besar, juga koko putih dengan hiasan bordir berbentuk bunga, tak lupa peci polis hitam menjadi pengenalnya sebagai santri.

Berjalan amat sopan, setengah menunduk, kemudian satu tangannya disedekapkan di dada, "Gus, mobilnya ada di sana." tunjuknya ke pinggir jalan raya, sedan hijau tua terparkir rapi.

Ibnu mengangguk mengerti lantas menatap Rin sembari mengulurkan tangan. Sesaat mereka saling pandang, dan laki-laki itu masih menunggu dengan sabar ulurannya untuk disambut. 

Rin terdiam beberapa saat kemudian menyambutnya dengan senyum penuh penghargaan. Mirip kejadian beberapa tahun silam ketika dia menangis dan satu-satunya orang yang datang mengulurkan tangan adalah laki-laki sama yang berada di depannya.

-[mungkin inilah yang dinamakan cara kerja takdir, sejauh apapun kau pergi untuk menghindar dia tetap menemukanmu. Bahkan oleh cara tak terduga.]-

.
Bersambung...,

Hai, masih sehat? Saya yang K.O pada akhirnya 😂 ini terdampar di tempat tidur seharian. Tolong jangan kasihani saya, sudah biasa. Kabar baiknya cadangan tulisan ada jadi bisa posting baik di grup atau Wattpad 😘

Banyak-banyakin minum air putih dan jaga kesehatan gaes, cuacanya enggak menentu. Hihihi, saya contohnya 😄
Salam LoopiesFM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro