Bagian Dua
Perkenalan yang singkat dan cukup mematahkan hatinya. Bagaimana bisa, tadi siang mereka masih riang bercanda, saling menjahili, lalu kemudian malamnya tanpa perasaan Rin mengumumkan pertunangan. Tepat di hari kepulangannya.
Satu kata, sadis.
Ibra tersenyum getir. Kenapa dia harus marah? Rin berhak untuk bahagia, memilih pasangan sendiri, yang jelas bukan dirinya.
Ibra merasakan pelukan dari belakang.
"Dilihat tunanganmu bisa salah paham," kelakarnya. Dia tahu siapa pelakunya.
"Aku suka punggungmu, hangat." sahut Rin semakin mengeratkan pelukan.
"Dan aku suka pipimu, seperti jeli. Menggemaskan."
Ke duanya tertawa.
"Sudah tidak marah?"
Ibra melepas pelukan, kemudian berbalik, memasang muka pura-pura merajuk. Saat seperti ini Rin akan mengerjap beberapa kali seolah tak percaya dengan tingkah kekanakan sahabatnya. Lihat saja, laki-laki tersebut bahkan sudah cemberut yang dibuat-buat namun malah terkesan lucu.
"Aku tidak marah, tapi patah hati." Ibra memelas, tampak meyakinkan. Seperkian detik Rin merasa itu sebuah kejujuran. Dirinya terdiam, bagaimana bisa?
Hingga, "buahahahahahaha ... " Ibra terpingkal-pingkal dengan reaksi Rin yang begitu memikirkan kalimat tadi, sampai sudut matanya berair. Lucu.
Sebaliknya, gadis itu diam seribu kata. Tidak tertarik untuk ikut tertawa, tidak lucu!
"Rin ..., " panggil Ibra saat berhasil menguasai tawanya yang over. Melihat Rin berlalu, sudut hatinya merasa bersalah.
"Rin ... "
Gadis itu sungguh kesal dengan kelakuan Ibra yang mempermainkan perasaan orang sesuka hati. Tidakkah dia berpikir jika dirinya akan memikirkan ulang hubungannya dengan Kim bila perasaan tersebuh sungguhan? Lebih baik bersama orang yang membuat nyaman, tidak perlu harus bersikap sempurna. Lebih menyenangkan saat mampu apa adanya.
"Rin ... "
"Mau ke mana?" Nugie mencekal lengannya. Rin melirik tajam.
"Acara belum selesai," Nugie meringis takut. Sesuatu terjadi di antara ke dua sahabatnya.
"Ada apa?" Kim mendekat. Merasa ada yang tidak beres.
Kini Rin menjadi pusat perhatian. Ibra segera mendekat, menatap Kim tidak suka, "hanya salah paham kecil." ia menarik tangan Rin hingga ke duanya bersisihan. Tidak ada penolakan. Itu artinya gadis tersebut bersedia bekerja sama daripada menimbulkan kekacauan.
"Kalian tidak apa-apa?" Kim bertanya memastikan, Rin mengangguk tanpa menatap tunangannya.
"Baguslah, dan ya, kita harus segera pulang. Tiba-tiba atasanku menelpon."
Rin mendongak, lalu menoleh ke arah Ibra. Mereka baru sebentar di sini.
"Kalau mau pulang, pulang saja sendiri! Rin bersamaku malam ini." Ibra menolak melepaskan.
Kim menatap tak percaya dengan sikap posesif sahabat-sahabat tunangannya. Tadi saat pertama hadir, mereka kompak bersikap dingin, mengabaikannya, seolah-olah tidak ada yang menyukai kehadirannya di tempat ini.
Sekarang saat dia berbohong, beralasan telpon dari atasan untuk membawa gadis itu pergi malah ditentang terang-terangan.
"Rin, ayo pulang!" Kim akan meraih namun dengan cepat Ibra membuat jarak. Mereka berhadap-hadapan. Saling memberi peringatan tentang kedudukan masing-masing sebagai orang terdekat.
"Aku mengajak tunanganku!" Kim tidak peduli.
Nugie yang berada di antara ke tiganya merasa sungkan. Ingin mendinginksn suasana takut Ibra, melirik ke arah Rin pun percuma. Lihat saja, tubuhnya yang mungil tertutup oleh postur tubuh Ibra yang tinggi dan cukup lebar.
"PRAM!!!" jerit histeris perempuan yang entah muncul dari mana membuat suasana menjadi cair. Semua menoleh, dan rupanya Deandra berlari ke arah Ibra lantas mencium pipi, kanan-kiri.
Merasa risih, Ibra berusaha menghalau tangan Deandra yang mencoba memeluk tubuhnya dengan satu tangan karena tangan lainnya masih menggenggam Rin erat. Kim memanfaat hal tersebut untuk menarik tunangannya.
Berhasil!
Ketika Ibra kewalahan menghindari Deandra, Kim menarik Rin kencang hingga pegangan ke duanya lepas.
Ibra menatap tangannya, Rin dibawa menjauh, kemudian Deandra menghentikan aksinya. Gadis itu memang sengaja mengacau agar Ibra tidak berlebihan menunjukkan perhatian. Mereka hanya sahabat, sedang ada orang yang lebih berhak, Kim.
Kim keluar dari tempat itu dengan kesal sembari menarik Rin cepat-cepat hingga tak mampu mengimbangi langkahnya yang lebar.
Tak ingin dipaksa, Rin meronta, melepaskan diri.
"Kau mau ke sana, ke sanalah!" hardik Kim. Semakin hari hubungan mereka semakin renggang, berkali-kali Rin diajak keluar tidak mau, menolak bertemu orang tuanya, juga menjaga jarak. Padahal tinggal selangkah lagi menuju pernikahan, hidup bersama, seperti cita-cita yang mereka ucapkan.
Saat ini mereka berada di lorong gedung, sepi. Ibra dan yang lain masih di atas, tidak menyusul. Sepertinya tahu batasan untuk tidak terlalu jauh mencampuri.
Tidak ada reaksi apa pun, Rin diam. Mungkin sudah saatnya jujur mengenai hubungan mereka.
"Kenapa diam?!"
Rin menatap Kim kecewa. Tapi dia tidak punya keberanian.
"Aku tidak ingin bertengkar denganmu," sekuat hati Rin menahan rentetan kalimat yang telah dipersiapkan beberapa hari lalu. Semua belum pasti kebenarannya, lagi pula dia mengingkan kejujuran dari Kim sendiri. Bukan desas-desus, bisa saja orang-orang itu tidak menyukai kedekatan mereka. Dia butuh waktu yang tepat.
"Kau pikir kita bertengkar karena siapa?! Sahabatmu itu!" Kim menunjuk ruang kosong di belakang Rin, tepatnya arah mereka keluar.
"Kamu harusnya ngerti, dia baru pulang, dan kami memang seperti---"
"Lantas mengabaikanku sebagai tunanganmu?!"
"Tidak. Bukan seperti itu, sudah lama kami tidak berkumpul bersama," Rin berusaha menjelaskan namun Kim lebih dulu mengangkat tangan, tidak ingin mendengar pembelaan apapun.
"Terserah!" Kim berlalu tanpa memedulikan tangis tertahan Rin.
Saat berbalik, di sana berdiri Tanaka yang tengah tersenyum. Bukan jenis senyum ejekan.
Bukankah dia juga sahabatnya?
.
"Menangis tidak akan membuatmu terlihat menyedihkan," ucap Tanaka dengan bahasa baku. Meski lama tinggal di Indonesia, dia jarang menggunakan bahasa gaul ala anak muda.
Mereka kini berada di tempat terpisah meski masih di gedung yang sama. Ibra di atap sedang Rin dan Tanaka di lantai bawahnya, menatap kerlip kota melalui jendela kaca.
Rin tersenyum, dia memang ingin menangis. Tapi bukan seperti ini keadaannya.
Hening. Tatapannya masih terpaku pada gedung-gedung di sebelah, juga lampu-lampu mobil yang melaju menembus malam. Seperti bintang pijar.
Berbicara tentang malam, kota ini hampir tidak pernah mati. Siang hari ramai, bahkan ketika gelap dan cahaya matahari tergantikan tetap gempita. Rin berpikir, bagaimana orang-orang tersebut mengatasi rasa kantuk?
Sangat berbeda dengan suasana desa, damai dan menenangkan. Suara jangkrik, kadang rengit menjadi lagu pengantar tidur yang melenakan.
Sayangnya, sekarang dirinya sudah menjadi bagian dari warga megapolitan. Segalanya tidak lagi sama sejak dia meninggalkan tanah kelahiran di usia lima belas tahun.
***
Bersambung....
Malam minggu, hihihi.
Lantas kenapa?
Jadwalnya kencan dengan Abang Ibra 😄 *Ogah! Ibra langsung nyaut.
Tinggalkan jejak ya 😉 biar tambah semangat nulisnya.
Salam, LoopiesFM.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro