BAB 2
Hari yang melelahkan. Dia harus mengerjakan tugas tambahan selama pergantian jabatan. Mau tak mau. Cepat atau lambat dia harus mengisi jabatan di perusahaan itu. Menjadi pemimpin memang tak mudah. Walaupun sebenarnya pekerjaan itu bukan hal yang sulit dilakukan olehnya yang mempunyai kecerdasan di atas rata-rata, tapi tetap saja, dia harus berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di mejanya. Sangat menguras tenaga dan pikiran.
Seperti biasa, saat pulang kerja dia akan mengganti pakaian kerjanya dengan setelan yang lebih santai. Celana jeans biru pudar dengan kaus putih yang dirangkap dengan kemeja kotak merah menjadi pilihannya kali ini. Tak lupa juga headset yang selalu dia bawa ke mana-mana menjadi pelengkap penampilannya.
***
"Livia!!" seru Akira yang melihat Olivia berjalan tanpa semangat keluar dari balik pintu kaca besar tempat dia bekerja.
Akira melambai-lambaikan tangan sekuat tenaga dengan senyum lebar. Olivia menghampiri Akira dengan alis berkerut heran.
"Kok bisa ada di sini?" tanya Olivia.
"Kebetulan lewat, habis dari gamestore beli game baru," ucap Akira sambil nyengir mirip kuda.
"Game mulu yang dipikirin, apa nggak kepikiran buat nyari kerja gitu? Masa mau nganggur terus," ucap Olivia sembari membuka pintu mobil tanpa disuruh oleh tuannya.
Dia langsung menyetel sandaran kursi menjadi nyaris rebah lalu langsung membanting tubuhnya, bersandar santai. Akira tersenyum miring penuh misteri.
"Belum ada yang cocok aja," jawab Akira sambil mengangkat bahunya.
Akira mengikuti Olivia masuk ke dalam mobil. Dia mendesah dalam hati melihat Olivia yang terlihat sangat kelelahan, bersandar sambil memejamkan matanya.
"Ramen??" tanya Akira yang langsung disambut oleh dua jempol Olivia yang mengacung ke atas dengan semringah.
Dasar! Bentar lagi udah mau kepala tiga kelakuan tetep aja kayak bocah, ujar Akira dalam hati.
Akira men-starter mobilnya saat Olivia sibuk mencari-cari sesuatu dalam tasnya. Lalu beralih ke dashboard.
"Eh, kok ada dasi?" ucap Olivia saat membuka dashboard.
"Oh ... ahh, itu punya pak Harada," jawab Akira gelagapan mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan Olivia selanjutnya. Karena sudah dipastikan Olivia akan bertanya lagi.
"Kok ada di sini?" Tepat seperti yang Akira duga.
"Tadi dia pinjem mobil," jawab Akira asal.
"Oh, tumben. Dia kan punya sendiri, ngapain pinjem?" tanya Olivia masih dengan kepenasarannya yang membuat Akira mengembuskan napas perlahan sambil berucap 'sabar...sabar' dalam hati. "Emang mobilnya kemana? Mogok, ya?"
"Ck! Isshh ... banyak nanya! Jadi nggak nih beli ramen??" Mantranya gagal, Akira tetap saja tersulut emosi.
"Jadi dong," jawab Olivia ringan sambil memasukan kembali dasi temuannya. Dan dengan santai menyalakan pemutar musik. Lalu kembali bersandar di kursi sambil berdendang mengikuti alunan musik.
Fyuuh!
Diam-diam Akira menarik napas lega saat Olivia berhenti bertanya tentang dasi itu. Perhatiannya kembali terfokus pada ramen. Akira melajukan mobilnya ke kedai ramen langganan mereka.
Semangatnya berangsur membaik setelah menyantap semangkok ramen. Entah zat apa yang terkandung dalam ramen yang bisa mengubah mood Olivia dari yang sangat sangat kesal, marah, malas, atau sebal bisa berubah jadi Olivia dengan semangat yang berkobar-kobar.
***
Kembali ke rumah berarti kembali dihadapkan pada setumpuk pekerjaan kantor yang membosankan. Kalau bukan karena tanggung jawab akan keberlangsungan hidup seluruh karyawannya, mungkin dia akan memilih menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer untuk bermain game online.
Mencoba fokus pada berkas-berkas dihadapannya. Membaca huruf demi huruf dari untaian kata yang seakan tiada akhir. Susunan kalimatnya benar-benar membuat lelaki itu bosan membacanya, seandainya boleh memilih dia akan lebih senang membaca puluhan manga dibanding harus mengoreksi setiap dokumen di hadapannya.
Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu dan langsung masuk saat sang empunya ruangan mempersilakan.
"Maaf mengganggu, Tuan. Saya hanya memastikan bahwa Anda sudah mempelajari seluk beluk perusahaan. Karena bagaimanapun perusahaan itu adalah tanggung jawab Anda sebagai penerus," ucap kepala pelayan yang merangkap sebagai asisten pribadinya.
"Aku sedang mempelajarinya. Dan tenang saja aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Kecuali kalau kau mau menggantikan posisiku," ucapnya sambil mengeluarkan senyum jahilnya.
"Tugas Anda adalah tanggung jawab Anda, Tuan. Saya harap Anda dapat bekerja dengan sebaiknya. Jika butuh bantuan jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya akan membimbing Anda. Permisi." Pria setengah baya itu pun pergi setelah membungkukkan badannya sopan. Dia memang hanya bertugas sebagai pelayan tapi jangan remehkan kedisiplinannya. Kadang dia pun tidak bisa membantah asistennya yang berwatak tegas, karena itu dia dipercaya untuk menjaga tuan mudanya selama di sini. Meski begitu kepercayaan itu tidak menjadikan pria tua itu besar kepala. Dia menjaga dirinya tetap pada posisinya.
Helaan napas kasar terdengar. Semakin jengah dengan semua kegiatan yang belum sebulan ini harus dia urusi. Dia berjalan ke arah jendela besar, menatap rumah di seberang. Rumah dengan gaya minimalis bertingkat dua. Bercat orange cerah, warna kesukaan Gracia. Tepat di depan ruangannya ini terlihat jendela mungil yang masih menyala, pertanda bahwa pemilik kamar masih terjaga. Hatinya tiba-tiba merasa tenang lalu sesaat kemudian berubah gundah dan sakit di saat bersamaan.
Bagaimana jika dia tahu yang sebenarnya? Maksud kedatangannya kembali setelah bertahun-tahun. Dan mimpi-mimpi tentang ulasan ingatannya sendiri yang akhir-akhir ini sering muncul membuat khawatir. Kalau-kalau dia tidak bisa menerima kenyataan itu saat ingatannya kembali nanti.
***
Empat belas tahun lalu, saat semuanya bermula.
Saat pertama kali dia menatap seorang gadis dengan tatapan menerawang jauh entah ke mana, dia yakin, tak ada luka fisik yang membekas di gadis itu. Tapi dia tahu benar bahwa jiwanya sangat terguncang. Mengalami kejadian buruk di saat usianya masih belia memang tidak akan mudah dilewati. Pasti akan menjadi trauma mendalam di jiwanya.
Entah ada kekuatan apa yang membuatnya berjalan menghampiri gadis itu. Dia melihat dari dekat sosok yang hanya menatap kosong ke arah langit biru. Bibirnya terkatup rapat. Embusan angin menerbangkan helaian rambut sebahunya yang tergerai acak. Mata bening itu seakan memendam luka yang teramat sangat.
Seakan sadar akan kehadirannya, gadis itu menoleh ke arahnya yang berdiri diam terpaku di samping gadis itu.
"Aku akan menjagamu," ucapnya tanpa ragu.
Entah. Seakan ada dorongan luar biasa dari hatinya hingga dia bisa berucap seperti itu. Dan untuk pertama kalinya dia melihat gadis itu tersenyum di tengah pedih rasa sakit yang dialaminya. Membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Dia semakin membulatkan tekadnya untuk menepati ucapannya yang sudah menjadi janji. Dan janji seorang pria harus ditepati. Itulah cara agar bisa menjadi pria sejati.
***
open PO 1
periode 1 februari - 28 februari 2018
hubungi HD Publisher
FP : HD Publisher
Line : HD publisher
IG : hdpublisher
WP : HDpublisher
Twitter : HDPublisher
harga : Rp. 60.000 (belum termasuk ongkir)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro