9 | Masih Ada Rasa
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Allah itu maha membolak-balikkan hati manusia, gampang bagi Dia buat ubah perasaan aku, kaya balikin telor ceplok dalam wajan."
Setumpuk kertas-kertas yang berserakan di meja langsung menyambut netra, akhir-akhir ini pekerjaanku sering menumpuk. Tak jarang kukerjakan untuk keesokan harinya lagi karena tak mungkin jika mengambil lembur. Statusku sudah menjadi seorang istri, tak etis saja rasanya jika aku lebih mementingkan pekerjaan dibandingkan suami sendiri.
Lagi pula aku pun memutuskan masih bekerja bukan karena materi, hanya ingin mengisi waktu sebelum akhirnya hengkang dari kantor, dan memilih untuk mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga yang sesungguhnya. Aku tengah memikirkan pinta Papah, aku setuju dengan beliau bahwa akan lebih baik jika aku hanya menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Itu adalah karir yang sangat amat menjanjikan dan bisa menjadi tabungan amal yang bisa membawaku ke Surga-Nya.
"Kamu kenapa Zi dari tadi bolak-balik ke kamar mandi terus?" tanyaku heran dan sedikit cemas karena melihat wajah Ziah yang sedikit pucat. Sepertinya anak itu kurang sehat.
"Gak tahu mual aku, udah seminggu kali terus kaya gini. Gak enak banget," sahutnya setelah terduduk lesu di kursi.
Aku berjalan lebih mendekat ke arah Ziah, berdiri di belakang kursi yang tengah dia tempati, dan memijat di sekitaran tengkuknya. "Kamu makan yang aneh-aneh kali," cetusku.
"Enggak ih, lagian aku makan apa juga. Tiap kali makan pasti aku muntahin lagi," sela Ziah dengan tangan memijat kening yang mungkin terasa pening.
"Hamil lagi kali," kataku menduga. Siapa tahu saja begitu.
Sontak Ziah langsung mendongak dan menatapku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan, lantas meraba perutnya yang masih rata. "Masa sih, Na?"
"Ya kan kali aja gitu, kenapa gak coba cek ke dokter atau beli alat tes kehamilan aja," saranku.
Mungkin sudah hampir lima bulan pasca mengalami keguguran Ziah belum memperlihatkan tanda-tanda kehamilan. Siapa tahu saja sekarang dia memang benar-benar tengah mengandung.
"Iya deh nanti pulang kerja aku mampir ke klinik," putusnya yang langsung kuangguki.
"Mau aku buatin teh hijau gak? Kan pas kamu hamil dulu suka banget sama minuman itu," tawarku yang langsung dibalas dengan gelengan.
"Mual aku kalau nyium baunya, gak suka," jawabnya yang sedikit membuatku bingung, tapi tak terlalu ingin kuambil pusing.
"Kamu udah isi, Na?" Pertanyaan yang Ziah layangkan sangat amat menohok. Aku diam beberapa saat sampai akhirnya mengumbar tawa garing yang sangat tak enak didengar.
"Kepo amat kamu sama rumah tangga orang, tenang aja kali, kaya lagi dikejar deadline aja," sahutku cengengesan. Geli sekali rasanya membahas perihal momongan.
Jika dulu yang dibahas pasti takkan jauh-jauh dari gagalnya lamaran dan pernikahan, sekarang sudah naik level, sedikit lebih tinggi.
"Ish, aku nanya serius malah becanda, ketularan Naresh pasti nih," jawabnya yang malah kubalas dengan kekehan.
"Iyalah kan dia suami aku," sahutku yang langsung Ziah hadiahi dengan putaran bola mata malas.
"Dulu aja mencak-mencak gak jelas, dan ogah nikah sama Naresh, sekarang udah kecintaan banget kayanya sama tuh brondong," ujar Ziah.
Aku hanya mengangkat kedua bahu acuh tak acuh. "Allah itu maha membolak-balikkan hati manusia, gampang bagi Dia buat ubah perasaan aku, kaya balikin telor ceplok dalam wajan."
Ziah mencubit lenganku lumayan kencang dan membuatku mengaduh kesakitan. "Jarinya dikondisikan dong," kataku memprotes.
"Ya abi-"
Perkataan Ziah mengambang di udara karena suara salah satu rekan kerja kami buka suara, "Na dipanggil, Pak Bagas."
"Ada apa?" tanyaku heran. Tapi hanya dia balas gelengan. Perasaan aku tak membuat kesalahan.
Ziah mendekatkan bibirnya ke telingaku lantas berbisik, "Inget suami kamu, jangan tergoda sama pesona Pak Bagas."
Tanpa ampun aku langsung menginjak kaki Ziah dan tak lama dari itu jerit kesakitan pun terdengar. Rasain tuh. Makanya kalau punya mulut direm dikit. Ya mana ada pemikiran dangkal untuk bermain gila dengan Pak Bagas. Bisa dicincang hidup-hidup aku sama Naresh.
Aku segera berjalan cepat menuju ruangannya, mengetuk pintu sebanyak dua kali sebelum akhirnya ada suara yang meminta untuk segera memasuki ruangan.
"Duduk." Aku menurut patuh. Menunduk dalam dan tak berani menatap ke arahnya, dadaku suka berulah dan membuat malu jika melihat Pak Bagas dalam skala dekat seperti ini.
"Apa maksud dari surat resign itu, Nisrina?" Kepalaku seketika mendongak dan menatap penuh rasa tak percaya ke arahnya. Apa aku tidak salah mendengar?
"Maaf maksud Bapak apa? Saya tidak pernah mengajukan surat resign," jawabku sedikit takut. Aku tak biasa menjumpai air muka Pak Bagas yang diliputi oleh amarah seperti ini.
Beliau menyodorkan selembar kertas putih yang sudah terlipat di dalam amplop. Dengan tangan gemetar aku mengambilnya, membaca dengan teliti dan aku dibuat terkejut dengan apa yang kulihat. Siapa yang melayangkan surat pengunduran diri ini?
"Bu ... bukan saya, Pak. Saya tidak tahu menahu perihal surat itu," sanggahku. Sungguh kurang kerjaan sekali seseorang yang membubuhi namaku di atas kertas itu. Jika sampai ketahuan orangnya, akan kucerca habis-habisan pasti.
Mata Pak Bagas menyorot dengan begitu tajam, dan jujur hal itu membuatku sangat takut. Dengan sadis beliau merobek kertas tersebut menjadi beberapa bagian. "Saya tidak akan memberikan izin kamu untuk resign dari sini."
Keningku terlipat bingung. Atas dasar apa beliau melarang hal itu? Beliau bukan siapa-siapaku, hanya sebatas atasan saja, tidak lebih dan tidak kurang.
"Hak Bapak apa melarang-larang saya? Saya rasa hal itu takkan memberatkan Bapak. Perusahaan bisa mencari pengganti saya," selaku.
"Kamu tak bisa tergantikan, Nisrina!" desisnya yang berhasil membuat buku kudukku berdiri seketika. Apa maksudnya coba?
"Sepertinya Bapak sedang tidak sehat. Saya permisi," kataku dengan segera bangkit, namun urung karena mendengar suara Pak Bagas.
"Saya masih ada hati sama kamu. Saya tidak bisa melupakan kamu."
Tubuhku kaku bukan main saat mendengar dengan jelas kalimat itu, napasku pun sudah memburu dengan membabi buta. Rasanya untuk menelan ludah sendiri saja susah karena saking tak percayanya.
"Maaf, Pak tidak seharusnya kita membahas perihal masalah pribadi di sini. Saya rasa Bapak jauh lebih paham akan hal itu, permisi," tuturku.
Lututku sudah lemas bukan main, tapi sebisa mungkin kupaksakan untuk bergerak. Ini sudah tidak benar. Pak Bagas sudah beristri, bahkan aku pun sudah bersuami. Tidak seharusnya dia mengatakan kalimat terlarang itu.
"Saya terpaksa menikahi tunangan adik saya, karena adik saya pergi bersama dengan gadis lain yang sudah dia hamili."
Aku meneguk ludah dengan susah payah. Memejamkan netra untuk menghilangkan gejolak dalam dada yang sudah meronta-ronta. Pak Bagas pasti tengah membual. Aku yakin itu.
"Saya tidak ingin ikut campur dengan masalah internal Bapak. Kita hanya sebatas rekan kerja," ungkapku setelah terdiam beberapa saat.
"Saya tahu kamu masih ada hati pada saya, saya akan mence-"
"Tidak seharusnya Bapak berbicara seperti itu. Saya rasa cukup sampai di sini saja, permisi." Tak ingin mendengar kata-kata yang lebih parah lagi, aku pun dengan segera kembali ke ruangan dan terduduk lesu di kursi.
Pak Bagas membuat otakku konslet saja. Aku sedang berusaha untuk melupakan bayang-bayangnya, dan juga sedang mengusahakan diri agar bisa mencintai Naresh dengan sepenuh hati. Tapi fakta ini sedikit membuat pendirianku goyah, Pak Bagas tak bahagia atas pernikahannya.
"Pak Bagas ngomong apa, Na?" cerca Ziah yang entah sejak kapan sudah terduduk di sebelahku, sepertinya perempuan itu sengaja menarik kursinya ke sini. Dasar kepo.
"Dia marahin aku gara-gara surat resign," jawabku yang langsung disambut heboh olehnya.
"Kamu mau resign?" Dengan entengnya Ziah malah melontarkan pertanyaan. Sudah tahu kepalaku sedang mumet, dan sekarang malah ditambah parah lagi.
Ziah!
"Enggak. Orang aku aja gak tahu tuh surat resign siapa yang buat," sahutku.
Ziah berdecak pelan. "Modus pasti itu mah buat ketemu kamu doang, bisa aja kan tuh surat cuma imitasi hasil kerjaannya sendiri," oceh Ziah yang berhasil membuat mataku melotot seketika.
"Masa sih? Kurang kerjaan banget. Tapi dari mana coba dia tahu kalau aku emang ada niatan buat berhenti kerja," kataku bingung dan menerka-nerka.
"Katanya gak mau resign, terus sekarang malah bilang 'ada niatan mau berhenti' yang bener yang mana sih?" omel Ziah yang kubalas dengan cengiran serta menggaruk bagian belakang kepala yang tidak gatal.
Awalnya aku tak terlalu ada niat, hanya ingin mempertimbangkan saja, tapi saat mendengar pernyataan cinta Pak Bagas rasanya akan lebih baik jika aku mundur. Aku tak ingin membuka celah permasalahan dan mengundang persoalan baru dalam rumah tanggaku. Lebih baik mencegah daripada mengobati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro