8 | Sisi Lain Naresh
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Mahligai rumah tangga harus kami bangun berdua, bisa kacau jika orang tua kami ikut campur di dalamnya."
Sang mentari sudah bersembunyi di balik persinggahannya, dan kini sudah diambil alih oleh sang bulan dengan ribuan bintang yang semakin membuat langit cerah, indah, nan menawan. Menikmati udara dingin di teras balkon kamar sangat amat menyejukan, baru kali ini aku bisa merasakan suasana malam seperti sekarang.
Rumah minimalis bertingkat dua dengan gaya modern ini sangat nyaman untuk ditinggali, terlebih hanya kami berdua saja yang tempati. Sepi memang, tapi ya mau apa dikata lagi. Aku tak ingin tinggal di kediaman mertuaku, begitupun Naresh. Mahligai rumah tangga harus kami bangun berdua, bisa kacau jika orang tua kami ikut campur di dalamnya.
Sudah banyak kasus di luaran bahwa melibatkan persoalan rumah tangga pada orang tua malah semakin memperunyam keadaan, bukannya menemukan jalan keluar ini malah berakhir di pengadilan. Nauduzbilah, jangan sampai rumah tanggaku karam di tengah lautan. Inginku sederhana saja, menikah sekali seumur hidup.
Walaupun dengan lelaki petakilan seperti Naresh, tak apa. Itu memang yang terbaik. Allah selalu memiliki rencana yang tak terduga-duga, otak manusia takkan mampu untuk menerka. Biarkan saja berjalan dengan semestinya, dan kuharap takkan ada badai besar yang datang menerjang.
Aku tersentak saat mendapati Naresh yang sudah berdiri di sebelahku, tangan lelaki itu memeluk pagar besi yang juga kujadikan sebagai pegangan. "Kenapa?" tanyaku heran saat melihat wajah cengengesannya.
"Gak papa," jawabnya dengan pandangan lurus ke depan. Udara malam sangat amat menenangkan, walaupun sedikit dingin tapi tak mengurangi kenyamanan.
"Aku gak yakin akan dapet cuti panjang dari kantor," cetusku yang membuat Naresh langsung membalik badan menghadap ke arahku. Raut keheranan sudah sangat terpancar jelas di sana.
"Kok gitu?" tanyanya dengan intonasi penuh keseriusan.
Aku menegakkan tubuh dan berucap, "Pekerjaan aku itu gak ada yang bisa gantiin, setiap hari harus input data yang sangat penting bagi perusahaan. Belum lagi sekarang akhir bulan, aku harus rekap data bulanan buat diarsip dan kasih ke atasan. Pas kemarin cuti tiga hari aja gak ada yang kerjain, dan aku sendiri yang kejar setoran."
"Ya udah gak usah aja, lagian kamu juga kan baru dapet cuti. Masa iya sekarang minta cuti lagi," sahut Naresh santai. Aku bersyukur setidaknya dia tak terlalu ambil pusing akan hal ini.
"Papah gimana?" tanyaku sedikit cemas.
"Biar jadi urusan aku aja, tadi kan kita juga udah nolak tapi Papahnya aja yang maksa banget sampai kita harus mikir ulang lagi," jawabnya.
"Yakin gak bakal marah?" Aku terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu pikiran.
Aku tak ingin dianggap sebagai menantu tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih, beliau menawarkan kami tiket liburan, gratis. Semuanya ditanggung oleh Papah, tapi aku dan Naresh langsung menolak, bukan tak bersyukur tapi kami rasa itu tidak terlalu penting. Hanya buang-buang uang saja, lebih baik ditabung atau dialokasikan kepada orang-orang yang lebih membutuhkan.
"Enggaklah, Papah mah nyantai orangnya. Paling juga itu atas desakan Mamah, aku yakin," ucap Naresh.
"Sok tahu banget kamu," selaku tak percaya.
Dia malah terkekeh. "Coba aja yah Teteh pikir, Papah itu cowok, mana mau ngurus soal kek gituan. Pasti itu kerjaan Mamah," keukeuhnya dan aku hanya manggut-manggut saja.
"Dan untuk masalah Papah minta Teteh buat resign kerja, gak usah dipikirin. Kalau emang Teteh nyaman sama kerjaan Teteh, ya udah lanjutin aja, toh aku juga gak masalah," imbuhnya dengan sunggingan lebar.
Papah memintaku untuk berhenti bekerja, dan hanya menjadi seorang ibu rumah tangga saja. Entah apa yang mendasari beliau meminta hal itu, aku tak terlalu mengetahui alasan lebih jelasnya. Aku tak masalah jika memang aku harus hengkang dari pekerjaan, toh kini aku sudah memiliki suami yang akan dengan senang hati menafkahi. Hanya saja aku bingung jika nanti benar-benar resign, apa yang akan kulakukan setiap harinya?
"Kok kamu terkesan bebasin aku? Nyantai banget kamu jadi suami," ocehku heran, dan sahutan yang Naresh berikan malah sebuah tawa sumbang menggelegar. Sangat menyebalkan bukan?
"Aku tuh suami Teteh, bukan diktator yang ngekang dan banyak nuntut ini dan itu. Kita itu partner yang harus bisa memberikan kenyamanan satu sama lain. Gak usah mikirin derajat sama aku mah, anggap aja temen," dia menghentikan sejenak kalimatnya lantas kembali berucap, "temen ke surga maksudnya."
Aku merinding mendengar kata terakhir yang dilontarkannya. Terus saja menggombal, bisa-bisa aku overdosis gombalan lagi. Kan tidak lucu, masa iya ada penyakit sejenis itu.
"Yang jalanin rumah tangga itu kita berdua, orang lain gak berhak ikut campur, termasuk kedua orang tua kita. Makanya aku selalu minta sama Teteh kalau emang ada yang Teteh gak suka dari aku cukup bilang ke aku, jangan laporan ke Umi atau Abi." Naresh berucap penuh dengan keseriusan dan aku pun memutuskan untuk menjadi penyimak yang baik. Sepertinya saat ini jiwa kepemimpinan lelaki itu sedang mendominasi.
"Kalau semisal Teteh nekat ngadu, bukannya dapet pencerahan ini malah dapet ceramahan. Dan itu pasti bukan sama Teteh aja, aku juga akan kena, belum lagi soal tanggapan kedua orang tua kita. Mereka pasti akan berpikir yang macem-macem soal hubungan kita, citra buruk juga pasti bakal kita terima. Teteh akan dipandang sebelah mata sama keluarga aku, begitupun sebaliknya. Karena apa? Karena kita mengumbar aib rumah tangga yang seharusnya kita jaga rapat-rapat. Aku gak mau kaya gitu." Naresh mengakhiri pidatonya dengan sunggingan lebar.
Aku melongo-semelongonya. Tidak percaya bahwa yang barusan berkata panjang kali lebar kali tinggi itu Naresh. Lelaki petakilan yang kesehariannya suka menebar gombalan, serta tak pernah memasang raut wajah keseriusan. Sangat sulit dipercaya.
"Itulah alasan aku beli rumah yang jauh dari tempat tinggal orang tua kita, bukan buat sengaja menghindari, tapi seenggaknya kalau kita ribut besar. Ya cuma kita berdua aja yang tahu, dan dengan cara begitu kita bisa sama-sama berpikir akan keberlangsungan rumah tangga kita. Mau mundur atau tetap lanjut," sambungnya.
"Kamu gak salah makan atau kelebihan konsumsi obat gitu? Aku takut kamu keracunan." Hanya kalimat itu yang mampu kuungkapkan. Aku masih shock.
Naresh malah menggelegarkan tawa dan menepuk-nepuk kepalaku yang saat ini masih tertutup khimar hitam terusan. Aku takut ada seseorang yang masih berkeliaran di luar, maka dari itu aku menggunakan khimar. Lagi pula memang sudah seharusnya seperti itu.
"Keracunan makanan Teteh paling," ucapnya yang langsung kuhadiahi dengan cubitan. Dasar menyebalkan.
"Ya udah besok-besok aku gak akan masak lagi, biar sistem pencernaan kamu sehat wal afiat," kataku kesal.
"Dih gitu aja marah, becanda atuh, Teh. Masakan Teteh enak kok, meskipun cara masaknya agak aneh," tukasnya yang langsung kubalas dengan pelototan.
Enak saja dia mengomentari cara memasakku. Ngajak perang itu namanya.
"Coba kamu kasih tahu letak anehnya di mana?" Aku berkacak pinggang dan menatap sengit ke arahnya.
Dia meletakkan jari telunjuk di sekitar dagu, seperti bocah yang tengah berpikir keras. "Masak pake helm, terus pake sarung tangan dan teriak-teriak pas minyaknya nyiprat-nyiprat. Apalagi yah?"
"Sembarangan kamu kalau ngomong. Mana pernah aku kaya gitu, istri yang ke berapa tuh yang cara masaknya kek gitu?" protesku tak terima. Ngaco tuh anak. Mana pernah aku melakukan hal gila sejenis itu. Dasar suka mengada-ada.
Naresh berlagak seperti menghitung jarinya. "Maunya berapa, Teh? Dalam Islam boleh kok punya istri lebih dari satu, empat boleh kayanya."
Aku mencium bau-bau keusilan, dan dengan ringan aku pun bersidekap dada serta menyunggingkan senyum miring. "Empat? Kurang banyak itu mah, kenapa gak sekampung aja. Kamu kan lamar aku bawa pasukan, nah pas sekarang udah nikah sekalian aja bawa bala tentara," tukasku.
"Ide bagus tuh, nanti kita bikin asrama putri buat namp-"
"Gila kamu! Langkahin dulu mayat aku baru kamu boleh bawa perempuan lain ke rumah ini." Dengan cepat aku memotong perkataannya. Aku hanya berguyon tapi malah ditanggapi serius olehnya. Apa semua laki-laki seperti itu? Tak pernah merasa cukup hanya dengan satu orang istri saja.
Naresh memasang senyum yang sulit untuk kuartikan, tapi kurasa itu sinyal bahaya, dengan cepat aku pun bergerak untuk memasuki kamar dan meninggalkannya. Tapi langkahku terhenti karena cekalan tangan Naresh, dengan berat hati aku pun menoleh dan memasang wajah sangar.
"Cemburu yah, Teh? Bilang aja atuh," katanya dengan alis yang dinaik-turunkan.
Aku mengangkat satu alisku. "Cemburu? Gak. Ngimpi kamu."
Dia mendengkus sebelum akhirnya berujar, "Aku cuma bilang mau buat asrama putri buat calon anak-anak kita aja udah ngegas gitu, kaya mau nelen aku hidup-hidup tahu. Cemburu bilang. Gak zaman kalau cuma dipendam."
Bulu kudukku langsung berdiri bukan main saat mendengarnya. Kerasukan jin apa tuh orang hingga membahas perihal keturunan. Dia saja masih sering berulah seperti anak-anak. Kan aneh, masa bocah ngurus bocah.
"Minum obat yuk, panasnya kambuh nih," cetusku dengan refleks meraba kening Naresh yang justru terasa dingin, udara malam ini memang lumayan membuatku menggigil.
Saat otakku sudah mulai bekerja aku pun segera menjauhkan tangan, tapi dengan sigap langsung diamankan Naresh. "Teh-"
Lututku lemas mendadak, padahal dia hanya memanggilku saja. Jantungku sudah ketar-ketir dibuatnya, apa yang akan dia katakan? Jujur ini sangatlah tidak baik untuk kesehatan dadaku yang terus memberontak hebat. Bahkan rasanya wajahku pun sudah memanas bukan main, seperti terbakar.
"Masuk yuk, udara malam gak baik buat kesehatan." Tubuhku kaku dan sulit untuk digerakkan. Aku melongo dan tak sadar kalau Naresh sudah menggeret tanganku dengan paksa untuk memasuki kamar.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro