Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7 | Naresh Lelaki Bermulut Manis

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Yang perempuan inginkan itu bukan diajak pacaran, atau dikasih mawar murahan. Cukup kasih kepastian dan juga mahar surah Ar-rahman."

Selepas pulang dari kediaman orang tua Naresh, lelaki itu tak langsung membawaku ke rumah. Entah akan dibawa ke mana, tapi aku mencoba untuk santai saja. Toh tidak mungkin dia berniat buruk padaku, mana ada suami tega melukai istrinya sendiri. Kecuali di serial-serial televisi, di mana sang istri selalu menderita dan sengsara. Sungguh sangat miris sekali bukan?

Padahal sudah jelas bahwa Islam sangat amat memuliakan perempuan. Saat menjadi seorang putri, dia akan menjadi penyemangat bagi sang ayah, permata hati yang sangat amat dicintai. Saat beranjak dewasa dan menjadi seorang istri, menyempurnakan separuh agama sang suami, bahkan jika sang suami berani menyakiti, keberlangsungan rumah tangga itu dipertaruhkan.

Hati perempuan itu rapuh seperti kaca, yang jika sudah retak tak lagi bisa dikembalikan seperti semula. Mungkin bisa diperbaiki, tapi hal itu tak menjamin akan kembali mulus seperti sedia kala, pasti akan ada cacat dan bekas yang sulit untuk dihilangkan. Dan jangan lupakan pula bahwa perempuan itu pengingat yang baik, kapasitas memori dalam otaknya sangatlah banyak, jadi tidak heran jika kebanyakan wanita suka mengungkit sesuatu hal, terlebih jika itu berkaitan dengan rasa kecewa dan kesakitan. Maka dari itu jangan pernah bermain-main dengan kami, kaum perempuan.

Saat sudah menjadi seorang ibu, surga berada di bawah telapak kakinya. Tempat seluas, semegah, nan seindah itu di letakkan di bawah telapak kaki kaum hawa. Bukankah itu sangat luar biasa? Perempuan itu spesial, semua bisa mereka kerjakan dalam waktu yang bersamaan, multitasking. Bahkan hal yang lelaki lakukan bisa pula dilakukan oleh kaum perempuan, hanya saja jangan sampai karena hal itu membuat kita lupa diri hingga lupa kodrat akan porsi kita yang memang diciptakan sebagai pendamping, bukan pemimpin.

Aku dibuat mati kutu saat Naresh membawaku ke sebuah tempat pemakaman umum. Otakku sangat amat bekerja dengan lambat, apalagi yang akan dilakukan lelaki itu? Sungguh, pikiranku saat ini masih kalut tak menentu. Memikirkan segala bentuk asumsi yang sudah saling berkeliaran.

Sekuat tenaga aku meredam segala gejolak dalam dada, menenangkan deru napas yang sedari tadi sudah memburu dengan rusuh tak sabaran. Kakiku gemetar bukan main kala melihat dengan jelas sebuah gundukan tanah yang sudah dipenuhi rumput hijau dengan nisan bertuliskan, Nareswara Mahaprana. Rasanya air mataku sudah mengambang dan siap untuk diluncurkan.

Naresh berjongkok dan mengelus nisan kakaknya dengan senyum tipis yang terlihat dipaksakan. Sedangkan aku masih mematung linglung, dan tak sedikit pun bergerak atau hanya sekadar untuk berjongkok bersamanya. Ini adalah kali pertama bagiku menyambangi tempat peristirahatan terakhir Mas Ares.

"Assalamualaikum, Bang, aku bawa Teh Rina nih. Udah punya gandengan sekarang mah, gak jomlo lagi," cetus Naresh dengan nada yang terdengar dibuat riang. Tapi ada sebulir air mata yang turun dari salah satu sudut netranya. Dengan cepat lelaki itu menghapus kasar cairan bening tersebut. Mungkin dia tak ingin menunjukkan sisi lemahnya padaku, tapi kurasa itu wajar-wajar saja.

Dengan lunglai tak bertenaga aku menjatuhkan tubuh di sisi Naresh, menatap dengan jelas gundukan tanah yang berada tepat di depan mata. Dadaku sesak, sakit. Rasa sesal dan bersalah itu kian naik ke permukaan. Seseorang yang dulu hendak akan menghalalkanku harus tumbang dan berakhir tragis seperti ini. Jujur ini sangat menyakitkan.

"Abang di sana bahagia pasti yah, banyak bidadari yang nemenin Abang." Aku tak mampu lagi untuk menahan bendungan air mata. Perkataan yang Naresh lontarkan sangat amat menggeroti rongga dada. Sebanyak apa pun kalimat yang dituturkan, takkan pernah mendapat jawaban.

Naresh merangkul bahuku lembut lantas berucap, "Mantan calon istri Abang sekarang jadi istri aku, mendadak jadi Valentino Rossi aku, nikung kakak sendiri."

Dia tertawa, tapi bukan tawa lega penuh sukacita, itu hanya kamuflase untuk menutupi segala sesak yang menyeruak dalam dada. Aku hanya mampu mengelus lembut tangannya yang masih setia bertengger di pundakku. Sedikit risi sebenarnya, tapi aku pun tak sampai hati jika mengungkapkan hal itu. Biarkan saja, toh dia halal bagiku.

"Kamu harus kuat, aku yakin Mas Ares udah tenang di sisi Allah," kataku sebisa mungkin mengukir senyum terbaik.

Aku memang tak mengetahui seluk beluk perihal keluarga Naresh, tapi aku cukup bisa mengerti bahwa kedekatan di antara Naresh dan Mas Ares pasti sangat dekat. Terlihat dengan jelas dari sikapnya yang sangat bersedih hati, dan berlagak tegar namun gagal. Rasa kehilangan pasti sangat merongrong dan sulit untuk dilupakan.

"Mending kita berdoa aja, karena hanya itu yang bisa menyalurkan kerinduan kamu," tuturku yang langsung diangguki olehnya.

Dengan khusuk Naresh memimpin doa, dan aku pun dengan sigap mengaminkan. Aku tahu ini tak mudah, tapi aku cukup yakin bahwa dia mampu melewati. Kukira hanya hidupku saja dibumbui banyak kepahitan, tapi ternyata Naresh pun tak jauh beda.

Naresh menaburkan air dan juga bunga yang tadi sempat kami beli di penjual yang berada di gerbang utama tempat pemakaman. Dan aku pun mengikuti apa yang Naresh lakukan. Aku hanya berdoa dan berharap, semoga Allah menempatkan Mas Ares di tempat terindah di Surga-Nya.

Meskipun aku belum sempat bertemu dengannya di dunia, kuharap Allah mengizinkan kami untuk kembali bertemu di Jannah-Nya. Itu pun jika Surga sudi untuk menampung hamba hina berlumuran dosa sepertiku.

"Kenapa kamu bawa aku ke sini?" tanyaku saat kami sudah duduk nyaman di mobil. Sedari tadi aku meredam rasa penasaran, dan memberikan Naresh kesempatan untuk menetralkan hati dan pikiran.

"Gak papa pengen aja, emangnya Teteh gak suka yah kalau aku ajak ke sini?" Dia malah kembali melontarkan pertanyaan.

"Bukannya gak suka, ya aku heran aja," jawabku meluruskan.

Naresh menghela napas sejenak. "Aku kangen sama Bang Ares, udah lama gak ke sini. Kesibukan di kantor sama sibuk nguber Teteh jadi gak sempet mikirin hal lain."

Aku mendengkus kesal. "Ish, siapa juga yang minta kamu ngejar-ngejar aku. Nyesel? Ya jangan salahin aku dong!"

Terdengar tawa garing menguar dari sela bibirnya. "Nyesel tuh kalau aku sampai kecolongan start orang lain, bisa patah hati berkepanjangan kalau Teteh keburu diembat orang."

Aku memutar bola mata malas mendengarnya. Menggombal saja terus. "Udah berapa banyak perempuan yang jadi korban bualan mulut kamu?"

Tawa lelaki itu malah semakin menjadi, dan dengan entengnya dia pun berkata, "Cuma Teteh korban aku, gini-gini aku mah anak baik. Gak suka tuh mainin hati perempuan, Mamah aku perempuan, dan aku juga lahir dari rahim seorang perempuan. Gak tahu diri banget aku kalau sampai jadiin perempuan sebagai objek mainan."

Aku terperangah dengan mulut terbuka lebar. Perkataan yang Naresh layangkan sungguh sangat sulit kupercayai. Lelaki modelan dirinya bisa berkata bijak seperti tadi, aku yakin dia itu salah satu spesies playboy yang harus dilenyapkan dari muka bumi. Lihat saja dari caranya menggoda dan menggombaliku.

"Yang perempuan inginkan itu bukan diajak pacaran, atau dikasih mawar murahan. Cukup kasih kepastian dan juga mahar surah Ar-rahman. Udah cukup." Lagi-lagi aku melongo tak percaya. Kerasukan jin apa anak itu? Tidak seperti biasa.

"Ada lalat masuk tuh, Teh." Dengan refleks aku menutup mulut dengan kedua tangan, dan hal itu malah mengundang gelak tawa dari Naresh.

Dengan tanpa ampun aku langsung melayangkan pukulan dengan senjata tas selempang yang tengah kupegang. Bukannya kapok, dia malah semakin tertawa dengan kencang. Dasar suami menyebalkan.

"Udahan ah, Teh, bahaya kalau sampai muka aku bonyok, lumayan sakit juga itu tas. Isinya apaan sih? Batu yah," oceh Naresh yang berhasil menghentikan gerak tanganku.

"Jangankan batu bata, senjata api, sama bom juga ada. Buat jaga-jaga, takut jadi korban kekerasan dalam rumah tangga," cetusku.

Dia terkekeh pelan lalu setelahnya berucap, "Maaf-maaf aja ni yah, Teh aku gak main ka—"

"Stop!" Aku segera memotong perkataannya. Bisa panjang kali lebar jika terus dibiarkan, sudah bisa kutebak bahwa akhirnya dia akan menebar gombalan, lagi, lagi, dan lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro