6 | Menyambangi Kediaman Mertua
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Aku tak ingin terlalu memusingkan perihal kasta, tapi entah mengapa hal itu malah semakin gencar memenuhi isi kepala."
Untuk kali pertamanya aku menyambangi kediaman keluarga Naresh, rumah dengan ukuran yang bisa dikatakan besar dengan dilindungi pagar tinggi nan kokoh. Hunian yang terletak di pusat kota itu terlihat sangat megah dan mewah, sangat berbeda dengan tempat tinggalku yang biasa saja.
"Ayo masuk, Teh, malah bengong di sini." Aku sedikit tersentak saat ada sepasang tangan yang memegang pundakku pelan.
"Ini rumah orang tua aku, aku mah cuma numpang tinggal doang. Tapi kan sekarang udah punya rumah sendiri sama Teteh," cetusnya yang seperti bisa membaca apa yang ada dalam pikiranku.
Aku hanya diam dan menatap ke arahnya, lantas mengangguk ragu. Aku tak ingin terlalu memusingkan perihal kasta, tapi entah mengapa hal itu malah semakin gencar memenuhi isi kepala. Naresh yang terlahir dari keluarga terhormat yang juga sudah pasti terpandang, harus bersanding dengan wanita biasa nan hina sepertiku. Rasanya itu sangat tidak adil luar biasa.
Dengan tanpa sepengetahuan Naresh menarik tanganku agar melingkari lengangnya yang sudah ditekuk dengan sedemikian rupa. Salah satu tangannya mengelus lembut puncak kepalaku. "Jangan mikir aneh-aneh, kedudukan manusia itu sama, yang membedakan hanya tingkat keimanan dan ketakwaan aja."
Naresh yang saat ini tengah berada di sisiku seperti bukan Naresh yang pecicilan seperti biasanya. Justru dia sangat dewasa dan pandai menenangkan keresahan yang saat ini tengah kurasakan. Aku bingung dengan sikapnya yang selalu berubah-ubah seperti bunglon.
"Kenapa kalian malah asik tatapan di depan rumah. Masuk." Penuturan Om Anwar yang tengah berdiri di ambang pintu cukup mengagetkan kami, aku lebih tepatnya.
Naresh menggerakkan kakinya, dan secara otomatis pula aku mengikuti langkah lelaki itu. Ragu, tapi saat mendapati sambutan hangat nan ramah dari Om Anwar, hal itu membuatku sedikit lebih tenang.
Kami menyalami Om Anwar secara bergantian dan berjalan untuk lebih masuk lagi ke dalam hunian besar tersebut. Aku terperangah tak percaya saat melihat segala jenis furniture, dan juga interior bangunan ini. Sangat terlihat berkelas dan mahal. Di sana pun banyak terdapat bingkai keluarga Naresh, terlihat sangat harmonis dan penuh kebahagiaan.
Pandanganku jatuh pada foto seseorang yang tak lain pernah bergelar sebagai calon suamiku, balutan pakaian formal melekat pas di sana, jangan lupakan senyum yang merekah indah pun semakin menambah kadar ketampanan dan karismatik penuh wibawa.
Sangat berbeda dengan Naresh yang malah memakai kaus oblong polos berwarna putih dan dilapisi jaket jeans, sebuah kamera bermerk melingkari leher. Di sana Naresh bergaya seperti orang yang tengah membidik sesuatu objek, namun pada nyatanya justru dialah yang dijadikan sebagai objek fotografi.
Tak ingin ketinggalan, bingkai Om Anwar dan juga Tante Sukma pun ikut meramaikan. Di mana mereka saling bertatapan penuh cinta, dengan posisi Tante Sukma yang tengah duduk anggun, sedangkan Om Anwar berdiri gagah di sisi kursi yang ditempati Tante Sukma. Potret mereka membuatku geli sendiri, tapi sangat manis untuk dinikmati.
"Itu foto diambil dua tahun lalu, Teh," tutur Naresh tanpa diminta, dia itu membuatku takut saja. Bisa tahu apa yang tengah menjadi bahan pemikiran, jangan-jangan dia memang memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang lain.
"Kamu suka fotografi?" tanyaku yang langsung disambut anggukan dan senyum lebar.
"Suka, apalagi kalau Teteh yang jadi objeknya," sahutnya dengan kerlingan mata nakal.
Aku menggeplak tangan lelaki itu karena malu, bisa-bisanya dia menggombaliku di depan ayahnya sendiri. Mau ditaruh di mana coba mukaku?
"Jangan percaya, Na, gombalan itu mengandung unsur kebohongan," kata Om Anwar dengan diiringi kekehan ringan.
"Papah kaya gak pernah gombalin Mamah aja, inget ya, Pah anak itu meniru apa yang orang tuanya lakukan. Kalau anaknya tukang gombal, pasti bapaknya raja gombal," timpal Naresh tak mau disudutkan.
Om Anwar malah menggeleng dengan tawa riang mengiringi. Sepertinya jiwa humoris Naresh turun dari Om Anwar, mudah tertawa dan sering mengumbar senyum ramah penuh persahabatan.
Runguku menangkap suara heels yang beradu dengan lantai berlapis marmer ini, dan tak lama dari itu Tante Sukma ikut bergabung dengan kami. Sebisa mungkin aku menebar sunggingan, dan menggapai tangan beliau untuk disalami. Tidak ada senyuman, hanya ada tatap mencemooh penuh kebencian, dan aku harus melapangkan hati atas perlakuan ini.
Refleks aku meremas tangan Naresh yang entah sejak kapan sudah kugenggam dengan begitu kuat. Dia memberiku sunggingan dan seperti mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku hanya mampu mengangguk ragu, dan sebisa mungkin bersikap biasa saja.
"Udah rapi aja nih, mau ke mana, Mah?" tanya Naresh seriang mungkin, dan aku hanya bisa menunduk dalam. Tak memiliki sedikit pun keberanian untuk menatap ke arah beliau.
Bayangan akan kejadian di rumah sakit beberapa bulan lalu sudah begitu gencar memenuhi kepala. Suara tamparan nyaring, bau anyir darah yang keluar dari sudut bibir, dan perdebatan alot di antara Abi serta Tante Sukma. Dulu ada Abi yang menolongku, tapi sekarang? Apa mungkin Naresh akan membelaku jika terjadi sesuatu yang tak kuharapkan.
"Arisan," jawabnya singkat, dan dari sudut mata aku melihat Naresh mengangguk beberapa kali.
"Nyari uang gopean, Na? Nunduk aja dari tadi." Aku terkesiap saat mendengar guyonan yang berasal dari Tante Sukma. Apa aku tidak salah mendengar?
Dengan segera kudongakkan wajah dan langsung disambut wajah penuh persahabatan olehnya. Sangat berbeda jauh dari air muka yang tadi beliau tunjukkan, perasaanku sudah ketar-ketir tak jelas bawaannya.
"Mau ikut arisan bareng Mamah? Sesekali kita harus gaul, jangan diam di rumah aja, suntuk," imbuhnya yang sumpah demi apa pun sangat membuat lututku lemas.
Aku hanya mampu menatap heran ke arahnya, dan meminta pertolongan pada Naresh yang malah bungkam begitu saja. Mendadak aku kehabisan stock kata-kata.
"Mamah aja, Teh Rina gak biasa pergi ke tempat-tempat kaya gitu. Biasa, Mah anak rumahan," ucap Naresh pada akhirnya, dan hal itu membuatku sedikit lega.
Tante Sukma terlihat menggeleng beberapa kali. "Tadinya Mamah mau sekalian ajak Rina shopping, kan seru kalau mertua sama mantu ngabisin waktu bersama," cetusnya yang lagi-lagi membuatku terperangah.
"Lain kali aja, Mah." Naresh kembali melontarkan Penolakan, dan hal itu jelas langsung dibalas dengan dengkusan.
"Over protective banget kamu sama istri, Rina gak akan kabur ke mana-mana juga," ucap Tante Sukma dengan nada yang sedikit tinggi, mungkin beliau kesal dengan Naresh yang selalu banyak menyangkal.
Terlihat Om Anwar mengelus lembut punggung tangan istrinya, menenangkan. "Mungkin lain waktu, Mah, ada hal serius yang ingin Papah sampaikan pada Naresh dan juga Rina."
Tante Sukma mendelik cukup tajam. "Mamah gak boleh ikutan? Jahat banget Papah sama istri sendiri," keluhnya yang terdengar lucu di telingaku. Ternyata beliau bisa merajuk juga.
Om Anwar membelai surai hitam bergelombang milik Tante Sukma lantas berujar, "Boleh, kalau Mamah mau batalin jadwal arisan Mamah."
Tante Sukma mencebik kesal dibuatnya, dan tanpa mengucapkan salam serta mencium punggung tangan Om Anwar, beliau melesat begitu saja.
"Jangan heran, udah biasa. Mamah emang suka gitu, tapi aslinya baik kok," bisiknya yang hanya kubalas dengan anggukan.
"Ayo duduk, sampai lupa malah keasikan ngobrol kita," ungkap Om Anwar, Naresh menggeret tanganku agar mengikuti langkahnya, dan kami pun duduk berdampingan di sofa hitam mengkilap, empuk, nan mahal itu.
"Ada apa, Pah?" seloroh Naresh begitu to the point. Ingin rasanya menegur lelaki itu agar tak terlalu bicara pada intinya, sedikit berbasa-basi terlebih dahulu juga tidak akan rugi.
"Jadi gini—"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro