5 | Dari Hati ke Hati
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jika memang suka ya harus diungkapkan, jangan dipendam karena cinta itu tak pernah mau menunggu. Keduluan start saja sudah pasti akan kena tikung orang."
Kegiatan baru di tanggal merah adalah mengunjungi kediaman mertua, hal baru yang jujur saja membuatku ragu. Rasa cemas dan bingung saling bergelayut dalam angan, bagaimana aku harus bersikap, dan memikirkan tanggapan Tante Sukma yang menurutku masih belum bisa menerima diri ini sebagai menantu. Jika bukan karena permintaan Om Anwar sudah pasti aku akan menolaknya mentah-mentah, lagi pula Naresh pun sudah lebih dulu melakukan hal itu.
"Firasat aku gak enak, Teh, mending kita jangan ke sana aja deh," ungkapnya saat aku tengah mengaitkan peniti di bagian bahu sebelah kanan.
"Jangan suuzan gitu, lagian ini kan permintaan Om Anwar, papah kamu," sanggahku setelah memutar tubuh dan menghadap ke arahnya yang tengah duduk di tepi ranjang.
"Papah, bukan Om. Teteh itu pelupa atau gimana sih, masa masih manggil Papah, Om. Ngaco!" cetusnya mengomentari.
Bukannya lupa atau bagaimana, hanya saja aku masih tidak percaya bahwa kini aku sudah memiliki ayah mertua, dan parahnya lelaki yang menikahiku itu adalah mantan calon adik iparku sendiri. Sungguh tak masuk akal logika.
"Protes aja kamu mah bisanya, aku belum terbiasa, Naresh," sangkalku berkata jujur apa adanya. Mulutku masih sering keserimpet dan masih asing kala memanggil Om Anwar dengan sebutan Papah. Terdengar aneh di telinga.
"Jangan panggil Naresh aja atuh, Teh, kan aku udah minta Teteh buat manggil aku Abang," ocehnya seperti bocah yang tengah merengek agar dibelikan mobil-mobilan.
Aku bergidik ngeri mendengarnya. "Geli tahu gak sih. Kamu itu lebih muda dari aku, kok mau-maunya dipanggil pake embel-embel kaya gitu. Biar keliatan tua yah!"
Naresh diam beberapa saat tapi detik berikutnya dia berjalan menghampiriku yang masih terduduk di kursi meja rias. "Kan aku itu suami Teteh, masa iya gak ada sopan-sopannya gitu sama suami sendiri. Kalau kedengaran orang kan gak enak, dikira rumah tangga kita bobrok kali."
Aku mengembuskan napas kasar, menatap sekilas ke arahnya namun segera kupalingkan karena otakku yang sudah mulai geser bermasalah. Melihat gaya Naresh yang tengah memasukkan tangan ke dalam saku celana, seketika mengingatkanku pada Pak Bagas. Otakku memang sudah benar-benar harus segera diperbaiki.
"Jangan Abang juga kali, emang kamu abang-abang bakso yang suka mangkal depan komplek apa," tuturku dengan pandangan yang mengarah ke sudut ruangan.
"Inget seseorang yah, Teh."
Perkataan Naresh seketika membuat deru napasku memburu rusuh tak sabaran. Kenapa dia bisa tahu isi kepalaku sih? Aku semakin ketar-ketir, takut perasaan tak halal ini semakin berkembang lebih jauh lagi. Ini sudah tak beres.
Aku bangkit dari dudukku, berlagak merapikan pakaian untuk menghilangkan rasa gugup yang sejak tadi sudah datang menyerang. Aku tak ingin melukai Naresh, tapi hatiku masih belum bisa menerima kehadirannya.
"Jangan jadiin aku sebagai tempat singgah atau pelarian Teteh aja, karena aku ini rumah Teteh untuk pulang. Bukan hanya untuk sementara tapi selamanya."
Hatiku terasa tersayat ribuan pisau tajam. Sakit, tapi rasa bersalahlah yang saat ini lebih mendominasi. Seharusnya aku tak menjadikan Naresh sebagai tumbal, dan bahan percobaan. Rasa takut akan bayangan kelam masa lalu kedua orang tuaku seakan memperkeruh semuanya.
Aku takut, karena fakta di luar sana sudah membuktikannya bahwa anak yang dihasilkan dari hubungan tak halal, pasti akan merasakan hal yang sama pula. Bukan karma, melainkan memang benar adanya. Walaupun tak semua, tapi tetap saja rasa takut itu kian merongrong dan membuatku tak tenang.
Setidaknya dengan menikah aku bisa menjaga diri dan juga kehormatanku, terlebih aku juga berharap bahwa dengan adanya ikatan suci ini aku pun bisa menghapus perasaan yang tak seharusnya ada. Aku tak ingin hidup dalam bayang-bayang lelaki yang sudah jelas tak ditakdirkan untuk menjadi jodohku. Itu menyalahi aturan.
"Coba aja dulu Teteh bisa redam ego Teteh, mungkin yang sekarang jadi istrinya Pak Tua Teteh, bukan perempuan itu."
Aku menatap penuh rasa kaget sekaligus tak percaya akan penuturan yang baru saja dilayangkan olehnya. Sungguh sangat tak bisa dicerna oleh logika.
"Kenapa kamu malah ngomong gitu?" tanyaku heran sekaligus penasaran. Bukankah dia mengatakan bahwa dirinya jatuh hati padaku? Tapi kenapa malah berbicara seperti itu.
"Cinta itu gak harus memiliki, ya kalau hati Teteh buat Pak Tua, aku bisa apa? Aku cukup tahu diri, Teh," ucapnya dengan diiringi senyum penuh kegetiran.
Perasaanku semakin campur aduk tak keruan. Aku kehabisan stock kata-kata untuk menyangkal, apa yang dia tuturkan sangat menohok hati. Aku ini sangat tak tahu diri. Dicintai dengan sepenuh hati olehnya, tapi malah mengharapkan cinta semu yang sudah jelas haram hukumnya.
Aku memejamkan netra, dan sekuat tenaga untuk bisa merespons perkataannya. "Seperti yang kamu bilang, cinta gak harus memiliki. Pak Bagas bukan jodoh yang Allah pilihkan, sudah seharusnya aku melupakan beliau."
Aku menunduk dalam setelah mengungkapkan kalimat itu. Aku yakin Naresh sakit hati akan kata-kata yang baru saja kulontarkan. Mau bagaimanapun dia adalah suamiku, dan tak seharusnya aku membahas perihal cinta pada seseorang di masa lalu.
"Kasih aku waktu dan kesempatan untuk bisa menerima kamu di hidup aku," imbuhku dengan pandangan menatap lekat penuh keyakinan padanya.
Aku harus move on. Berhenti mencintai seseorang yang salah dan tak sepantasnya menerima cinta tersebut. Ada seseorang yang jauh lebih berhak untuk menerimanya, Naresh, lelaki yang sudah berani mengucapkan kobul atas namaku.
"Aku yang akan usaha buat Teteh jatuh cinta sama aku. Kalau emang gak bisa, aku gak akan mundur, kecuali Teteh sendiri yang minta," katanya dengan sunggingan tipis penuh ketulusan.
Aku cukup terenyuh saat dengan jelas melihat sorot kesungguhan dan ketulusan yang terpancar jelas di kedua netranya. Aku tak ingin membuat Naresh semakin dirundung rasa sakit, aku akan mencoba sepenuh tenaga untuk melupakan bayang-bayang Pak Bagas. Harus.
Dari kisah yang kualami, seharusnya aku jadi lebih bisa memahami dan mengerti akan suasana hatiku sendiri. Jika memang suka ya harus diungkapkan, jangan dipendam karena cinta itu tak pernah mau menunggu. Keduluan start saja sudah pasti akan kena tikung orang.
Jika memang memiliki cukup keberanian, lebih baik memilih untuk mengutarakan gejolak dalam hati sebagaimana yang telah Ibunda Siti Khadijah contohkan. Agar tak merasakan apa yang namanya kecewa dan rasa sesal, seperti yang tengah kualami sekarang.
Memang benar apa yang telah Ziah katakan, bahwa cinta tapi diam itu menyakitkan, endingnya pahit dan hanya membuat sesak dada. Tapi tak apa, itu memang sudah menjadi pilihanku, ambil hikmahnya saja bahwa jangan sampai ada korban-korban baru yang bernasib sama sepertiku. Cukup aku saja.
"Teteh itu penghujung cintaku, satu untuk selamanya." Aku tersenyum hangat padanya, dan tak lupa juga mengaminkan perkataan Naresh. Aku pun berharap hal yang sama, meski untuk saat ini hatiku belum bisa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro