4 | Menyebalkan
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Memang benar yah kalau yang haram lebih menggoda iman, dibandingkan dengan kata halal yang sudah sakral digaungkan."
Saat jam sudah menunjukkan angka empat sore, dengan segera aku bergegas menuju ke arah pintu keluar untuk melakukan finger print. Antrean para karyawan lain sudah lebih dulu berjajar di depan sana, dan aku lebih memilih untuk sejenak melipir seraya mengedarkan pandangan ke segala sudut ruangan. Sampai mataku menangkap sosok Pak Bagas yang tengah berjalan mendekat padaku.
Tanpa pikir panjang lagi aku segera membuang muka pada sembarang tempat. Andaikan Ziah ada di sini, pasti dia akan bisa membuatku sedikit tenang. Perempuan itu pulang lebih dulu, lebih tepatnya 15 menit sebelum waktu yang sudah ditentukan. Ada sedikit urusan keluarga yang katanya sangat darurat, dan hal itu jelas diizinkan, dengan konsekuensi jam kerjanya harus dikurangi dan secara otomatis juga akan mengurangi jumlah upah yang diterima olehnya.
"Pak," sapaku canggung karena beliau yang malah ikut serta bergabung denganku, mungkin hanya berjarak sekitar lima langkah saja.
Beliau mengukir senyum tipis seperti biasa. Aku sedikit terhanyut dibuatnya, namun dengan segera kulangitkan lantunan istigfar, dan mengingat Naresh yang pasti akan terbakar api cemburu jika mengetahui hal ini.
"Kerjaan lancar, Na?" tanyanya yang sangat amat basa-basi. Mungkin beliau berniat untuk menghilangkan kecanggungan, tapi pada nyatanya hal itu malah semakin memperkeruh keadaan.
Aku kembali menunduk dan memilin ujung jilbab yang tengah kukenakan. Gejolak dalam dada masih saja sering meronta tak tahu malu. Seharusnya perasaan itu sudah hilang, terlebih statusku sudah menjadi istri orang.
"Lancar," sahutku dengan suara berupa bisikan. Aku sangat gugup berbincang dengannya, apalagi jika mengingat bahwa ada seorang wanita yang tengah menunggu beliau di rumah sana.
Sadar Nisrina! Dia bukanlah sosok yang halal untuk dipikirkan. Jangan terbuai dengan bisikan setan yang menyesatkan. Istigfar, tarik napas, dan buang.
Aku terkesiap saat mendengar suara nyaring yang berasal dari finger print, menoleh sekilas ke arah asal suara, dan aku bisa bernapas lega saat lautan antrean yang tadi padat merayap sudah mulai menyusut.
"Mari, Pak," kataku yang lebih memilih untuk meninggalkan beliau. Aku tak yakin akan kuat iman jika terus memaksakan diri tetap berada di sana.
Tanpa menunggu sahutan dari Pak Bagas aku segera mempercepat langkah, dan melakukan finger print. Berulang kali mencoba tapi mesin pendeteksi absen karyawan itu malah berbuat ulah. Jari tanganku tidak dikenali, karena bermandikan keringat.
"Coba lap dulu tangannya, Na," saran beliau dengan tangan menyodorkan selembar tissue. Aku tak langsung mengambilnya, keraguan sangat jelas tengah kurasakan.
"Nisrina!"
Aku terkesiap dan secara spontan langsung mengambil benda tersebut. Ini sangat parah. Rasa gugup dan canggung sangat amat membuatku resah gelisah tak tentu arah. Otak dan hatiku sudah mulai tidak sehat.
Dalam hati aku berulang kali menyebut-nyebut nama Naresh, berharap dengan cara seperti itu bisa menghilangkan segala pikiran dangkal yang memenuhi isi kepala. Ingat Nisrina, ada suami kamu yang menunggu. Jangan bermain api dan banyak tingkah.
"Duluan, Pak," pamitku saat mesin finger print menunjukkan kata 'out', tanpa membuang banyak waktu lagi aku segera mempercepat langkah dan menghampiri Naresh yang mungkin sudah menunggu sejak tadi.
Aku mengembuskan napas kecewa saat tak mendapati mobil Naresh di sana. Kukira dia akan on time seperti Abi, tapi ternyata tidak. Nilai minus langsung lelaki itu kantongi, dia gagal untuk menggantikan sosok Abi.
Suara deringan yang berasal dari gawai membuyarkan segala asumsi burukku tentang Naresh. Dengan gerakan cepat aku segera mengambil benda tersebut, dan mendapati sebuah pesan darinya.
Di dalam pesan itu memberitahu bahwa dia tengah terlibat meeting penting dengan relasi bisnis perusahaan, dalam kata lain dia tidak bisa menjemputku sesuai janji yang sudah diungkapkannya tadi pagi. Lagi, aku dibuat kecewa karena ulah lelaki itu.
Dia yang berjanji, tapi dia juga yang mengingkari, jika memang tak sanggup ya tak usah membual dan membuatku menaruh banyak harap seperti ini. Dasar lelaki menyebalkan. Satu fakta baru kudapatkan, bahwa dia lebih mementingkan urusan perusahaan dibandingkan dengan istrinya sendiri. Aku bukanlah prioritas.
Sebuah mobil berhenti tepat di depanku, kacanya terbuka menampilkan Pak Bagas di sana. Kenapa harus beliau lagi? Sudah mati-matian berusaha untuk menghindar, tapi nyatanya malah gagal.
"Mau saya antar pulang?"
Sontak aku langsung menggeleng cepat. Aku tak mungkin menerima ajakannya, aku dan beliau sudah berstatus memiliki seorang istri dan juga suami, ada hati yang harus kami jaga. Lagi pula tak etis juga jika aku memilih untuk menerima tawaran beliau, mau bagaimana pun aku tetaplah bawahannya.
"Silakan, Pak, suami saya sedang dalam perjalanan," kilahku berbohong. Meskipun takut akan murka Allah, tapi aku pun tak sampai hati jika harus mengungkapkan kebenaran, bahwa Naresh termasuk lelaki yang lemah akan menepati janji. Aku tak ingin membuat citranya hancur berantakan.
Pak Bagas mengangguk maklum dan segera menjalankan kendaraannya, hingga hanya menyisakanku seorang diri saja. Akan kuadukan Naresh pada Abi, bisa-bisanya dia menelantarkan istri sendiri. Biar tahu rasa. Sekali-kali lelaki itu harus merasakan teguran, supaya sadar dan tidak kembali mengulangi.
Dengan tanpa pikir panjang lagi aku mencoba untuk mendial nomor Abi, berharap beliau berkenan untuk menjemputku pulang. Jika menggunakan ojeg atau angkutan umum, aku tak berani. Beginilah jika terlalu dispesialkan, nyaliku menciut ke dasar samudera terdalam. Namun aku harus menelan kekecewaan karena beliau tak kunjung menerima panggilan.
"Masuk."
Aku tersentak saat mendapati mobil Naresh tepat berada di depan netraku, bahkan kaca mobilnya sudah turun dan menampilkan wajah Naresh di sana. Katanya sedang ada meeting penting? Tapi sekarang tiba-tiba nongol di sini. Jangan-jangan dia membohongiku lagi.
"Buruan masuk, Teh ... apa mau aku bukain pintunya?" imbuhnya yang langsung kubalas dengan pelototan. Aku masih sebal.
"Jadi orang tuh jangan suka bohong. Gak akan ada yang percaya lagi sama kamu berabe nanti," ocehku dengan tangan sibuk menggunakan sabuk pengaman.
Dia melirik sekilas ke arahku. "Bukan maksud buat bohong, tapi mau ngetes aja. Teteh tahan gak kalau aku suruh nunggu, dan juga bisa tahan godaan gak kalau ada cowok lain yang nawarin tumpangan."
Aku mendengkus kesal mendengarnya. "Tahu gitu aku terima aja tadi tawaran Pak Bagas," ucapku yang berhasil membuat gerak tangan Naresh terhenti pada saat akan mengemudikan mobil.
"Cari mati itu namanya!"
Setelah mengatakan kalimat penuh ancaman itu Naresh bungkam dan lebih memilih untuk menatap ke jalanan. Bukannya membujuk dan menggelontorkan kata-kata gombal, ini malah mencuekkanku. Ternyata pernikahan tak seindah bayangan, dulu gombalan begitu ringan keluar dari bibirnya, tapi sekarang?
Memang benar yah kalau yang haram lebih menggoda iman, dibandingkan dengan kata halal yang sudah sakral digaungkan. Itu semua terasa hambar dan percuma. Yang tersisa hanya rasa pahit dan kedongkolan saja. Sungguh sangat menyebalkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro