22 | Membujuk
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jadilah istri shalihah, yang bisa menjaga diri, hati, dan juga pandai menghargai suami."
Sudah hampir dua minggu setelah kejadian telepon pocong menyeramkan yang Naresh layangkan, lelaki itu tak lagi menghubungiku. Hanya sebatas mengirim pesan dan menanyakan kabar saja. Entah dia sudah merasa nyaman tanpa kehadiranku, atau memang tengah sibuk dengan dunia kerjanya. Entahlah, aku tak ingin terlalu banyak menerka-nerka.
Hari ini pun aku berniat akan ikut serta bersama Abi ke toko, bosan jika hanya berdiam diri di rumah saja. Segala sudut dapur dan rempah-rempah sudah kujajali bersama Umi, beruntung tidak ada kendala yang berarti.
Setidaknya dengan pergi ke sana, aku sedikit memiliki kesibukan dan kegiatan. Tidak hanya sekadar makan dan tidur saja, badanku pegal-pegal karena tak beraktivitas seperti biasa. Berdiam diri di rumah ternyata tak seindah perkiraan.
Toko Abi terletak tidak begitu jauh dari rumah, bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki saja. Memiliki ukuran yang tidak besar, tapi juga tidak terlalu kecil, lumayan lah bisa menampung banyak bahan-bahan pokok makanan. Abi memiliki dua orang karyawan yang siap sedia membantu beliau, satu di antaranya bertugas sebagai kasir dan satu lainnya untuk mengecek stock barang-barang.
Jika ada barang masuk dan keluar dialah yang akan turun tangan, sedangkan aku dan Abi hanya sekadar melihat-lihat dan menengok saja cara kerja mereka. Rasanya sudah sangat lama aku tak berkunjung ke tempat ini, cukup banyak yang berubah juga.
"Nak Naresh gak pernah main ke rumah lagi, kamu berantem yah sama dia?" cetus Abi saat kami tengah berjalan menyusuri rak-rak berisi tepung, gula, kopi, teh, dan kebutuhan dapur lainnya.
"Enggak kok, mungkin dia lagi sibuk aja sama kerjaannya," kataku seraya mengambil serenceng kopi kemasan bermerk huruf abjad.
"Minta satu yah, Bi," kataku yang langsung beliau balas anggukan.
"Kopi buat siapa? Kamu kan gak pernah ngopi," selorohnya yang kuhadiahi cengiran.
"Bukan kopinya, mau bungkusnya aja," jawabku meluruskan. Kening beliau terlipat, sepertinya bingung.
Aku berjalan lebih dulu ke arah ruangan yang ukurannya hanya sepetak saja. Ruangan itu merupakan dapur yang diperuntukkan bagi pelanggan ataupun karyawan yang hendak membuat mie instan ataupun menyeduh kopi.
Dengan hati-hati aku mengambil gelas, sendok berukuran kecil, dan juga termos. Menggunting bungkusan kopi instan itu lalu memasukannya ke dalam gelas, lantas menambahkan air panas, serta mengaduknya hingga rata.
"Buat Abi," kataku dengan tangan tersodor menyerahkan minuman hitam berperasa manis tersebut.
"Kok dikasih ke Abi? Bukannya tadi kamu yang minta," ujar beliau tapi dengan cepat mengambil alih gelas yang kusodorkan.
Aku menggeleng dan berucap, "Aku cuma mau bungkusnya aja, kopinya buat Abi."
Setelah mengatakan itu aku langsung berjalan dengan tangan sibuk membuka lebar-lebar bungkus kopi tersebut, dan menghirupnya dalam-dalam. Aku suka wanginya, sangat menenangkan dan melegakan.
"Kamu kenapa sih, Na? Kok aneh gitu." Aku hanya melirik ke arah beliau dan menyodorkan kursi plastik untuknya duduk. Jika akan makan atau minum, lebih baik duduk, agar apa yang kita konsumsi bisa dicerna dengan sempurna.
Aku sedikit tertawa dan ikut duduk di kursi yang satunya lagi. "Aneh apaan sih? Gak kok," sangkalku dengan diakhiri sunggingan.
"Nyangkal terus kamu mah, kemarin ngendus-ngendus bekas kardus sabun mandi. Sekarang bekas bungkusan kopi, besok apalagi?"
Aku tak menyahut dan lebih memilih bergelayut manja di lengannya. Sudah lama aku tak seperti ini bersama Abi, jika dulu sangatlah sering tapi sekarang sudah lain. Pernikahan memang banyak membuatku berubah.
"Manja banget sih, Na," cetusnya setelah meletakkan gelas kopi di meja, dan mengelus kepalaku penuh sayang.
"Gak papa atuh, emang Abi gak kangen gitu sama aku?" sahutku dengan kepala mendongak.
Beliau mengecup ubun-ubunku singkat. "Sama Nak Naresh gini juga pasti yah?" Sontak aku pun menggeleng cepat.
Mana berani aku berlaku manja seperti ini pada Naresh, bisa besar kepala nanti. Dikira aku sudah sangat kepincut dan tak bisa jauh-jauh darinya. Tingkat kepercayaan diri lelaki itu kan sangat tinggi, dan bisa bahaya jika terus dibiarkan.
"Kamu kok betah banget sih tinggal di rumah Umi sama Abi. Gak kangen gitu sama Nak Naresh?" tanya Abi yang langsung membuat kepalaku terangkat seketika.
"Kok nanya gitu sih, Bi? Gak suka yah, ya udah aku pulang aja kalau gitu mah," sahutku sedikit sebal.
Bukannya betah dan tidak ingin bertemu dengan Naresh. Hanya saja aku tak ingin memulai lebih dulu, jika memang masih bisa tahan ya aku takkan mau memintanya untuk menjemput. Nanti saja tunggu Naresh sendiri yang datang ke rumah.
Abi menepuk pelan puncak kepalaku. "Kok sensitif banget sih? Bukannya gak boleh, cuma kan sekarang posisi kamu udah bersuami. Mana ada suami istri pisah rumah, gak baik atuh," tuturnya.
Aku menunduk dan berkawan geming. Yang beliau katakan memang benar, tapi apa boleh buat jika Naresh saja seperti acuh tak acuh terhadapku. Dia tak ada itikad baik untuk menjemput, ya sudah aku sebagai istri hanya menunggu saja.
"Pulang yah, Abi antar," katanya yang membuatku mendongak kaget.
Aku menggeleng dan mengigit kuku tangan dengan gelisah. "Gak mau," cicitku. Helaan napas panjang terdengar di sana.
"Terus mau sampai kapan kamu tinggal berjauhan sama Nak Naresh? Jangan gini dong," ungkapnya menasihati.
"Aku mau pulang tapi kalau Naresh yang jemput," lirihku dengan mata berkeliaran ke sana-kemari. Malu sekali rasanya.
Abi tersenyum manis menenangkan. "Ya udah Abi yang hubungi biar dia datang ke rumah yah," putusnya yang kuhadiahi gelengan tegas.
"Gak mau kaya gitu." Aku tak ingin dia datang karena dorongan dari Abi, aku ingin karena itikad dan niat baik dari dalam dirinya sendiri. Bukan seperti penuturan Abi tadi.
"Ya udah atuh, pulang yuk," ajaknya yang dengan lembut membantuku berdiri. Aku hanya mengangguk dan berjalan beriringan menuju keluar.
Sepanjang perjalanan Abi tak pernah berhenti mengoceh ini dan itu, bahkan aku sesekali tertawa karena kelakar yang beliau utarakan. Sudah sangat lama kami tidak menghabiskan waktu berdua seperti ini, dan aku sangat merindukan kebersamaan kami.
"Kamu beruntung punya suami kaya Nak Naresh, dia gak pernah ngekang kamu, ngasih kepercayaan penuh sama kamu, bahkan dia dengan berlapang dada memenuhi keinginan kamu. Jangan kecewain Nak Naresh yah, Na," pintanya.
Aku mengangguk setuju. Yang beliau katakan memang benar, Naresh merupakan suami idaman yang tak pernah mengekang bahkan terlewat santai. Tapi ya jika sudah emosi dan cemburu sangat amat mengerikan, seperti singa betina yang lapar.
"Makanya pulang yah, gak enak Abi sama Nak Naresh. Lain waktu kamu bisa main dan nginep lagi, tapi sekarang pulang dulu," katanya dengan tangan mengelus lembut kepalaku.
"Kalau dijemput Naresh mau, tapi atas dasar kemauan dirinya sendiri. Bukan karena permintaan Abi ataupun Umi," tukasku keukeuh tak mau kalah.
Helaan napas berat keluar begitu saja. "Kan sama aja, judulnya dijemput juga."
"Beda. Aku gak mau dia jemput karena terpaksa dan bukan tulus dari hatinya. Kalau emang dia bener-bener cinta sama aku pasti dia akan usaha buat redam gengsinya," sahutku.
"Egois itu namanya. Rumah tangga itu gak sama kaya kantor di mana ada atasan dan bawahan, di mana ada yang jadi pesuruh dan suruhan. Bukan kaya gitu, kalian berdua itu partner, harus saling melengkapi satu dan lainnya. Kalau dua-duanya mentingin ego, gengsi, dan harga diri sampai gak mau ada yang ngalah, mau dibawa ke mana rumah tangganya?"
Aku diam tak lagi bisa menyangkal. Perkataan Abi cukup menohok hati, tapi aku tak mau membuat Naresh besar kepala karena aku yang memintanya menjemput. Pasti lelaki itu akan habis-habisan mengejekku, tidak mau.
"Secara usia kamu lebih dewasa darinya, tapi secara pola pikir kamu jauh di bawahnya. Itu fakta, dan kamu harus mau mengakui. Nak Naresh meskipun terlihat konyol, kekanak-kanakkan, dan gemar berguyon tapi dia pandai menempatkan diri. Dia tahu kapan saatnya untuk memimpin, kapan saatnya untuk menjadi pendamping."
Aku menatap lekat iris netranya yang menampilkan keteduhan. "Ya udah iya mau pulang." Beliau menyambutnya dengan sangat antusias, bahkan sesekali mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang.
"Jadilah istri shalihah, yang bisa menjaga diri, hati, dan juga pandai menghargai suami. Boleh Abi minta satu permintaan sama kamu?" Aku hanya mengangguk saja sebagai jawaban.
"Jangan panggil Nak Naresh hanya nama saja, itu gak sopan. Panggilan itu terlihat biasa dan sepele tapi bagi seorang suami itu merupakan sebuah kebanggaan, dia akan merasa lebih dianggap dan dihargai oleh istrinya," katanya dengan diiringi sunggingan.
Aku merotasi mataku, bimbang. Tapi detik berikutnya aku pun mengangguk. "Iya aku mau belajar buat biasain diri supaya gak manggil Naresh nama aja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro