Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

21 | Hati Sapi

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jika memang cinta dan suka ya harus berani bertutur kata. Ungkapkan, terkadang dengan cara seperti itu kita akan merasa lebih lega dan tenang."

Malam telah datang, cahaya bulan tengah bersinar dengan begitu terang, hamparan bintang-bintang semakin menyemarakkan. Tapi sayang keindahan itu hanya kunikmati seorang diri saja. Ternyata seperti ini rasanya sendiri dan merasa sepi, jika biasanya hari-hariku dipenuhi dengan tawa dan guyonan tak berkelas milik Naresh. Sekarang sudah lain, dan entah sedang apa dia saat ini. Apakah sama sepertiku juga?

"Kamu ngapain malem-malem nangkring di teras? Biasanya juga paling anti." Teguran itu kudapatkan dari Umi yang entah sejak kapan sudah berada di sisiku.

Aku hanya menoleh dan memberikannya senyum tipis. "Gak ada, pengen aja," jawabku asal.

Umi menatapku penuh selidik, dia merangkul lembut bahuku lantas berucap, "Seseorang yang semula bukan siapa-siapa lambat laun akan menjadi seseorang yang sangat berarti dalam hidup, jika kita sudah tak memiliki kesempatan untuk bersamanya lagi."

Aku menjatuhkan kepala di bahu Umi dan beliau dengan lembut langsung mengelusnya. "Sepertinya cara yang kalian tempuh cukup ampuh, terbukti sekarang kamu sedang merindu," cetus Umi yang langsung membuatku menjauh seketika.

"Umi apaan sih."

Beliau mengukir senyum misterius. "Jangan menyangkal, Umi tahu meskipun kamu enggan memberitahu. Adegan kepergok dua hari lalu semakin memperkuat asusmsi Umi, bahwa memang kalian sudah sama-sama menaruh hati."

Aku diam dan lebih memilih untuk menatap lurus ke depan. Namun kepalaku sontak menghadap ke arah Umi, saat mendengar kalimat yang cukup menohok hati.

"Jangan mengulangi kesalahan yang sama. Jika memang cinta dan suka ya harus berani bertutur kata. Ungkapkan, terkadang dengan cara seperti itu kita akan merasa lebih lega dan tenang," terangnya dengan sunggingan lebar.

Aku dibuat mati kutu olehnya, tapi dengan lembut Umi membawa tubuhku dalam rengkuhan. Refleks tanganku pun melingkari pinggang beliau, sedang kepalaku sudah kembali jatuh di pundaknya.

"Aku gak berani, malu."

Hanya kalimat itu yang mampu kuutarakan. Dua hari tak bertemu pandang sudah cukup menyiksa, hatiku merasakan sebuah kekosongan dan kehampaan. Mungkin memang benar bahwa aku sudah mulai jatuh cinta padanya.

Umi terkekeh pelan lantas berujar, "Masa sama suami sendiri malu. Itu wajar, bahkan ungkapan cinta itu sangat diperlukan untuk mempererat hubungan."

Aku mendongak dan langsung dihadiahi senyum manis olehnya. "Telepon coba minta jemput," titahnya seraya menyodorkan gawai milikku.

Keningku berlipat bingung. Kenapa benda canggih itu bisa berada di tangan Umi?

"Tadi Umi nemu hape kamu di atas kulkas, kebiasaan kamu ternyata masih belum berubah," katanya yang kusambut cengiran.

"Telepon," ulangnya yang langsung kubalas gelengan. Tidak mau. Aku tak ingin menghubunginya lebih dulu, biarkan dia saja yang memulainya.

Umi mendengkus dan kembali berujar, "Dulu cinta tapi diam, sekarang cinta tapi gengsi. Dasar!"

"Udah ah, masuk yuk," ajakku tak ingin memperpanjang perbincangan.

"Ish, malah menghindar." Aku hanya mengedikkan bahu acuh tak acuh dan berjalan beriringan menuju ke dalam.

Baru saja aku mendaratkan tubuh di samping Abi, suara beliau sudah mulai mendominasi,
"Na tadi suami kamu telepon Abi, dia nanyain kamu. Kangen katanya." Kerlingan mata jail sudah terpatri apik di sana.

"Kenapa gak langsung hubungin aku sih?" monologku sedikit kesal.

Abi mengacak kepalaku pelan. "Gengsi mungkin, tadi aja ngomong gini, 'Abi jangan bilang-bilang sama Teh Rina yah kalau aku nanyain dia'. Keliatan banget kalau dia itu emang gak bisa jauh-jauh dari kamu, cuma gengsinya lumayan tinggi."

"Ih kok Abi gak amanah sih, kan Naresh udah pesen gak boleh bilang ke aku. Eh tahunya Abi bocorin," protesku yang langsung dihadiahi tawa oleh Umi dan Abi.

"Kalian mah sama aja, gengsi yang digedein teh," imbuh Umi masih sesekali diiringi tawa.

Bukan gengsi. Tapi kita sedang sama-sama berperang, siapakah yang akan keluar sebagai pemenang. Jelas aku tak ingin mengalah dan sepertinya Naresh pun begitu. Dia ingin aku sendiri yang memulai, sedangkan aku ingin dia yang terlebih dahulu mengakui.

"Udah ah aku mau tidur, ngantuk," kilahku dan beranjak dari duduk untuk menuju ke kamar.

"Yakin mau tidur sendiri? Kemarin aja minta Umi temani." Mendengar hal itu sontak membuat gerak tungkaiku terhenti sesaat.

Pada saat awal menikah aku merasa aneh, tak nyaman, serta janggal pada saat tidur dengan didampingi Naresh. Tapi lambat laun hal itu mulai menghilang, bahkan aku akan merasa tak nyaman jika tidur hanya seorang diri saja. Itulah sebabnya, kenapa semalam aku meminta Umi untuk menemani.

"Ih Umi mah gitu, seneng banget usilin aku." Setelah mengatakan itu aku segera melesat ke kamar. Menjatuhkan tubuh di atas ranjang, dan melihat ke arah sekitar.

Biasanya akan ada seseorang yang ikut berbaring bersama di sampingku. Sekarang tidak ada, bahkan jika malam sudah datang dia tak pernah bosan melontarkan banyak gombalan.

Awalnya sebal dan kesal, karena mulutnya yang terlalu berbisa dan bahaya luar biasa. Tapi sekarang, aku merasa merindukan hal tersebut. Beginilah manusia, jika ada tak diindahkan tapi giliran tak ada dirindukan.

Gawaiku berdenting cukup nyaring, ada sebuah pesan masuk. Mataku membola dengan sangat sempurna saat melihat nama Naresh tertera di sana.

Naresh

Teh tahu gak itu apa?

Tak lama dari itu sebuah gambar masuk, dan aku sedikit men-zoom serta meniliknya dengan begitu seksama sebelum berani membalas.

Hati sapi yah?

Pesanku langsung berubah menjadi centang biru dan di sana tertera 'sedang mengetik'. Senyumku tak dapat lagi dicegah kala mendapati respons cepat darinya.

Itu bukan hati sapi, tapi itu hati aku yang beku karena ditinggal Teteh.

Refleks aku pun melempar gawai hingga melenceng jauh ke depan. Meraup wajah yang sudah memanas dan merah merona seperti tomat, serta menyembunyikannya di bantal.

Ya Allah, padahal hanya sekadar pesan singkat berisi bualan tapi dampaknya begitu kuat hingga membuat detak jantung bergerak di batas ambang normal. Spontan aku pun menggigit bantal untuk menyalurkan gemuruh dalam dada.

Ingin berteriak tapi takut membuat kegaduhan, alhasil hanya dengan cara inilah aku menyalurkannya. Suara gawai kembali mengambil alih fokusku, itu bukan dering tanda pesan masuk, melainkan ada sebuah panggilan yang sudah meraung-raung minta perhatian.

Aku mengambilnya dengan tangan gemetar. Kebingungan seketika melanda, apakah aku harus mengangkatnya, atau membiarkannya saja. Ish, kenapa aku seperti anak muda yang tengah dimabuk asmara sih.

Perasaan dulu tidak seperti ini, bahkan pada saat digombali habis-habisan pun aku masih bisa rileks dan tenang. Apa mungkin ini efek karena kita saling berjauhan? Sehingga rasa rindu pun mulai naik ke permukaan.

Menarik napas panjang lantas mengembuskannya secara perlahan. Sedikit merapikan khimar yang tadi sempat miring sana-sini karena terlalu heboh dan kegirangan. Dengan ragu aku pun mendial logo telepon berwarna hijau.

Hening! Tak ada satu pun suara yang menyapa rungu. Aku menimbang-nimbang, untuk lebih dulu memulai perbincangan. Tapi aku tak mau, nanti dia besar kepala lagi. Dentingan jam begitu mendominasi dan mau tak mau membuatku mengalah untuk lebih dulu memulai.

"Apa sih telepon malem-malem? Ngantuk tahu, mau tidur."

Aku menggigit bibir bagian bawah pelan. Beginilah jika otak dan hati tidak sinkron, hati inginnya apa tapi otak malah mentransfer hal yang lain-lain.

"Coba Teteh tengok deh ke jendela," pintanya di seberang sana.

Aku hanya diam tak merespons ataupun mengikuti titahnya, terlalu asik bergelung dengan kecamuk hati yang entah sejak kapan sudah bersemayam dalam diri. Mendengar suaranya saja sudah membuatku melambung tinggi bersama ribuan angan dan mimpi.

"Enggak mau ah," jawabku pada akhirnya.

Aku mendengar tawa ringan di seberang sana. "Ya udah gak usah, tapi jangan takut yah," cetusnya.

"Takut apa?"

"Kalau nanti ada pocong ngintip di jendela, jangan takut, dia emang sengaja aku suruh buat jagain Teteh bobo."

Panggilan pun seketika terputus, dan aku langsung berlari tunggang langgang untuk mencari keberadaan Umi. Aku yakin lelaki itu tengah tertawa terbahak-bahak di ujung sana. Ish, kurang kerjaan sekali anak itu. Gombalan macam apa yang membuatku takut tak ketulungan.

"Astagfirullah, udah malem ini. Kenapa lari-larian sih?" Aku cukup tersentak saat menjumpai Umi yang baru saja keluar dari kamar.

Dengan telaten beliau mendudukkanku di kursi yang memang berada tepat di samping pintu kamar. Menghapus peluh yang sudah membanjiri jidat hingga permukaan wajah. Napasku memburu dengan begitu cepat, rasa takut pun kian merasuk dalam diri.

Aku ngeri jika membayangkan apa yang tadi Naresh utarakan. Sudah tahu aku ini penakut tingkat akut, eh dia dengan seenak jidat malah mengerjaiku habis-habisan. Awas saja kalau nanti ketemu, akan kubalas dia.

"Temenin aku tidur yah, Mi," cicitku yang langsung beliau balas gelengan. Tapi tangannya bergerak untuk membantuku berdiri, serta berjalan berdampingan menuju kamar yang kutempati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro