Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20 | Pulang

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Karena biasanya sesuatu yang semula tak berharga akan terlihat sempurna jika sudah tiada."

Sesuai kesepakatan bersama akhirnya Naresh memulangkanku pada Umi dan Abi, mereka shock hingga mencerca banyak pertanyaan. Sedangkan aku dan Naresh hanya bisa diam dan mengukir senyum tipis saja. Melihat air muka tak santai yang kedua orang tuaku perlihatkan berhasil mengocok perut, namun sebisa mungkin aku tak meledakan tawa di sana.

"Aduh, Nak Naresh maafin putri Umi gak bisa jadi istri yang baik buat kamu. Tapi jangan sampai kalian memilih jalan pisah," tutur Umi dengan mata yang sudah mulai berembun.

"Kalau ada masalah bisa kalian selesaikan secara baik-baik, rumah tangga kalian baru akan memasuki bulan kedua. Masa iya sudah karam dan memilih jalur pengadilan," imbuh Abi tak kalah cemas dan heboh.

Aku dan Naresh saling berpandangan sampai akhirnya dia lebih dulu buka suara, "Kami baik-baik saja, tapi Teh Rina mau tinggal di sini untuk sementara waktu," ujarnya yang langsung dihadiahi raut kebingungan.

"Kalian sudah menikah, mana ada ceritanya pisah rumah," sanggah Abi tak terima.

"Satu bulan doang kok, Bi tinggal di sininya," kataku yang langsung direspons dengan gelengan tegas serta pelototan tajam.

"Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan malah kabur-kaburan." Umi kembali ikut angkat bicara.

Aku menghela napas berat dan berucap, "Kita gak ada masalah, Mi, Bi."

Umi mendelik penuh selidik. "Umi gak pernah ajarin kamu bohong yah, Na. Jujur sama Umi sebenarnya di antara kalian ada masalah apa?"

Aku menggeleng cepat dan menjawab, "Gak ada." Namun kalimat yang kuucapkan itu hanya dianggap angin lalu saja. Mereka masih enggan untuk percaya, dan bersikukuh mempertahankan asumsinya.

Dengan tanpa aba-aba Naresh membawa tanganku dalam genggaman. "Umi sama Abi jangan khawatir, ini hanya sementara. Satu bulan, nanti kalau udah waktunya aku akan jemput Teh Rina buat pulang."

Abi menggeleng beberapa kali. Aku tahu beliau pasti tak mengerti dengan jalan pikiran kami, dan aku pun paham betul kecemasan yang tengah kedua orang tuaku rasakan.

Coba saja kalian bayangkan. Pagi-pagi buta sudah kedatangan tamu, dan itu berstatus sebagai anak dan menantu, parahnya mereka membawa tas berukuran sedang berisi pakaian.

Yang ada di dalam pikiran Umi dan Abi pasti kami tengah terlibat pertengkaran hebat, dan memilih jalur perpisahan sebagai jalan keluar. Padahal kenyataannya tidak seperti itu, aku dan Naresh ingin sedikit menepi untuk menelaah isi hati.

"Aku sama Teh Rina bukan mau berpisah, tapi kita berdua hanya ingin sedikit memberi jarak, untuk mengetahui perasaan kita masing-masing. Apakah pada saat berjauhan ada perasaan kehilangan?" terang Naresh dengan diiringi sunggingan.

"Aku juga mau belajar masak sama Umi, belajar jadi istri yang baik dan bisa menyenangkan hati suami. Selama satu bulan itu kita masih menjalin komunikasi, dan Naresh bebas berkunjung ke sini sesuka hati," jelasku menambahkan.

Umi dan Abi saling berpandangan, lantas setelahnya menatap intens ke arahku dan juga Naresh secara bergantian.

"Cinta itu bisa hadir karena terbiasa, kalau kalian saling memberi jarak bagaimana mungkin kalian tahu perasaan satu sama lain?" sanggah Umi tak setuju.

"Seharusnya kalian itu liburan berdua, menghabiskan waktu bersama, bukan malah seperti ini," sambung Abi sejalan dengan pemikiran Umi.

Mungkin sebagian pasangan yang baru menggelar pernikahan akan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama. Tapi hal itu tidak berlaku bagiku dan juga Naresh, kami mempunyai cara tersendiri untuk menelaah isi hati.

Karena biasanya sesuatu yang semula tak berharga akan terlihat sempurna jika sudah tiada. Maka dari itu kami bersepakat untuk sejenak menepi dan memilih jalur ini sebagai opsi. Sederhana, hanya dengan memberi jarak saja.

"Ya sudahlah terserah kalian saja, Abi tak habis pikir dengan keputusan kalian," tukas Abi pada akhirnya menyetujui.

Mungkin beliau iba karena kami memasang wajah memelas minta dikasihani. Ternyata cara ini cukup ampuh juga.

"Tapi ingat ini hanya sementara, satu bulan, tidak lebih dan tidak kurang," ungkap Umi menimpali.

Aku dan Naresh tersenyum penuh kelegaan dan memberi salam hormat. "Siap."

"Ya udah aku pamit mau ke kantor dulu yah, Mi, Bi," ucap Naresh setelah sekian detik terdiam.

Kedua orang tuaku mengangguk tanpa minat, sepertinya mereka belum sepenuhnya ikhlas dan menerima akan keputusan yang sudah kami buat.

Naresh menyalami Umi dan Abi secara bergantian dan mengucapkan salam, sedangkan aku ikut serta bersamanya. Hanya untuk sekadar mengantar sampai teras rumah saja.

"Kalau mau jalan keluar izin dulu sama aku. Awas yah kalau macem-macem," peringatnya yang langsung kupatuhi.

"Iya, bawel banget sih. Aku gak akan ke mana-mana," sahutku cepat. Lagi pula aku tak ada minat untuk melakukan hal-hal sejenis itu, lebih baik diam saja di rumah.

Naresh menyodorkan tangan seraya tersenyum usil, dengan sigap aku pun segera menyalaminya. "Inget, Teh kalau kangen bilang, aku siap meluncur ke sini."

Aku memutar bola mata malas. "Jangan kepedean deh, paling juga kamu yang bakal nyerah duluan dan bawa aku pulang," kataku dengan nada pongah penuh rasa percaya diri.

Naresh berdecih pelan, sangat kentara sekali bahwa lelaki itu tak sepemikiran denganku. "Kita liat aja nanti."

"Ya udah sana ah berangkat, kesiangan nanti," ucapku tanpa mau menyahuti kalimat menantangnya.

Dia mengacak pelan puncak kepalaku, dan tanpa sungkan mendaratkan sebuah kecupan di dahi. Singkat dan cepat namun sangat berdampak buruk untuk kesehatan jantungku. "Jaga diri sama hati, jangan nyusahin Umi sama Abi."

Aku hanya bisa mengangguk bodoh dengan lutut yang sudah lemas bukan main. Mendapatkan perlakuan manis seperti ini membuat dadaku berdesir hebat. Bahkan kurasa wajah ini sudah berubah merah merona.

"Ish, baru digituin aja udah bengong. Mingkem tuh mulut, ada lalat masuk batuk-batuk nanti," cetus Naresh yang tanpa sungkan langsung menutup rapat bibirku dengan tangannya.

Aku menjauhkan tangan lelaki itu dan menatap sebal ke arahnya. "Becanda mulu ah, gak lucu tahu!"

"Ya udah peluk dulu atuh, buat stock satu bulan ke depan," kelakarnya yang langsung kuhadiahi cubitan.

"Sakit, Teh," ringisnya seraya memegang bekas cubitanku. Baru segitu saja sudah mengaduh. Dasar lebay.

Naresh memberikan sebuah kartu padaku. "Nah ini buat jajan satu bulan," ucapnya yang langsung kutolak mentah-mentah.

"Uang yang kamu kasih bulan lalu aja masih ada, cukup buat satu bulan ke depan. Lagian aku gak akan pergi ke mana-mana, jadi gak perlu banyak uang," sahutku memberi penjelasan.

Dia menarik tanganku dan meletakkan kartu tersebut di sana. "Anggap aja ini nafkah buat satu bulan ke depan. Kita pasti akan jarang ketemu, tapi aku gak mau lepas tanggung jawab," keukeuhnya.

"Gak usah, kamu mah kaya mau pergi jauh dan lama aja pake kasih ini segala. Enggak mau!"

Lelaki itu berdecak pelan lantas berujar, "Nafkah itu wajib hukumnya, dosa kalau aku gak memberikannya."

"Ya udah terserah kamu aja," kataku akhirnya mengalah. Bisa panjang jika terus memilih berdebat.

Naresh kembali mengacak puncak kepalaku, dia seperti enggan untuk beranjak dari kediaman Umi dan Abi. "Apa sih? Kerudung aku berantakan ini," protesku dengan nada yang sengaja dibuat sebal, walau pada nyatanya aku senang bukan kepalang.

"Belum juga pergi udah kangen aja ini. Biasanya tiap pagi muka Teteh yang jadi pemandangan pertama, mulai besok mah berasa jadi lajang dadakan. Tidur sendiri, makan sendiri, masak sendiri, nyuci baju sendiri," ocehnya yang kubalas dengan tawa menggelegar.

"Kaya lirik lagu aja. Dasar!"

"Biarin ah," balasnya dan tanpa aba-aba langsung merengkuh tubuhku begitu saja. Untuk beberapa detik aku terpaku, merasakan desiran aneh yang kerap kali datang jika bersama Naresh.

"Lepas atuh, malu kalau ada yang liat," pintaku yang langsung dibalas gelengan.

"Bodo ah, aku peluk istri aku sendiri kok. Halal dan dapat pahala lagi," selanya tak mau kalah.

"Ish lepas!" kataku tegas.

"Aku bakal lepas tapi Teteh harus ikutin kalimat kedua yang bakal aku ucapin," ujarnya yang langsung kuangguki.

"Teteh tahu kan kalau kita itu gak seumuran?" tanyanya. Aku mengangguk tanpa minat, sebal jika sudah menyangkut perihal usia.

"Aku tahu kita itu gak seumuran, tapi aku mau seumur hidup sama Teteh," ujarnya seraya menunduk untuk menatap ke arahku.

Aku hanya diam dan tak mau mengikuti apa yang sudah Naresh instruksikan. Apa-apaan itu. Menggombal saja terus sampai sukses.

"Teh!"

Aku menghela napas singkat dan akhirnya berucap, "Aku tahu kita itu gak seumuran, tapi aku mau seumur hidup sama Teteh."

Naresh mencebik kesal lantas berujar, "Tetehnya jangan dibawa-bawa atuh, ganti pake Abang."

"Banyak mau ah kamu mah!" ucapku enggan menuruti.

"Ya udah gak bakal aku lepas," balasnya dengan tangan semakin merapatkan tubuh kami.

Jika bukan berstatus sebagai suami, sudah kumutilasi dan buang ke kali. Dasar menyebalkan.

Menarik napas panjang lantas membuangnya kasar. "Aku tahu kita itu gak seumuran, tapi aku mau seumur hidup sama Abang."

Senyum lelaki itu mengembang dengan sempurna, dan aku hanya bisa meraup wajahku dengan tangan. Malu.

"Pamit, assalamualaikum," katanya yang dengan lancang kembali mendaratkan kecupan di puncak kepala.

Dadaku berdegup dengan sangat kencang, bibirku kelu walau hanya sekadar untuk menjawab salam, bahkan rasanya kakiku sudah lemas tak bertulang.

"Wa'alaikumusalam warohmatullohi wabarokatuh." Sontak aku pun menoleh ke sumber suara.

Di sana, tepat di ambang pintu Umi dan Abi tengah berkacak pinggang dan geleng-geleng. Aku langsung menunduk dalam dan menggigit kuku tangan.

Naresh!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro