Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2 | Nama Panggilan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Suami adalah prioritas utama, sebab surga kami berada padanya."

Tak pernah terbersit sedikit pun dalam benakku bahwa imam yang selama ini ditunggu-tunggu ternyata seorang pemuda yang usianya lebih muda dariku. Walau hanya terpaut dua tahun saja, tapi rasanya sangat janggal. Seharusnya dia menjadi adikku, bukan malah suamiku. Tapi aku tak memiliki kuasa lebih untuk menentang ataupun menolak keras akan ketetapan-Nya. Untuk saat ini aku hanya ingin mencoba serta menjalani saja.

Naresh memang petakilan, menyebalkan dan juga sering menebar gombalan. Tapi aku bisa merasakan ketulusannya, mungkin itu memang cara dia dalam mengungkapkan perasaan terhadap seseorang yang memang dia kasihi dan cintai. Hal itu bisa membuatku sedikit yakin untuk menjalani mahligai rumah tangga ini.

Aku melirik sekilas ke arah Naresh yang tengah fokus menatap jalanan, gapura perkampungan tempat Umi dan Abi tinggal sudah berada di depan mata. Wajah lelaki itu terlihat serius, tak seperti biasanya yang sering kali menebar aura penuh keisengan. Aku heran, kenapa bisa pemuda seperti Naresh bersedia untuk menjadi pendampingku?

Padahal jika ditilik lebih dalam lagi, dia lumayan tampan, dan sedikit memiliki wibawa jika sudah berpakaian formal. Dan kurasa perempuan-perempuan kelas atas di luar sana sudah mengantre agar segera dihalalkan. Tapi anehnya kenapa malah aku?

Mobil yang Naresh kemudikan berhenti tepat di pelataran rumah Abi dan Umi, dengan cepat aku segera turun dan memasuki rumah tanpa menunggu lelaki itu terlebih dahulu. Tungkaiku bergerak semakin cepat kala melihat Umi dan Abi yang tengah menikmati sarapan pagi, hanya berdua saja. Biasanya aku ada di sana, bersama mereka.

"Assalamualaikum, Mi, Bi," kataku yang langsung disambut suka cita oleh Umi, beliau menghampiri dan memelukku dengan sangat erat. Aku merindukannya.

Setelah acara pernikahan usai dilaksanakan, aku langsung diboyong Naresh ke kediamannya, rumah minimalis bergaya modern yang terletak di salah satu komplek perumahan elite, cukup jauh dari tempat tinggal kedua orang tuaku.

Tadinya aku ingin meminta dia untuk membeli sebidang tanah kosong yang berseberangan dengan hunian kedua orang tuaku, tapi rencana itu gagal total karena dia sudah kadung mempersiapkan rumah untuk kami tinggali.

"Wa'alaikumusalam," jawab keduanya dengan serempak. Umi melepaskan rengkuhannya dan memintaku untuk segera menempati kursi kosong yang berada di samping beliau.

"Suami kamu di mana? Kok sendirian," selorohnya dengan tangan mengusap lembut punggung tanganku.

Baru saja aku akan menjawab, tapi terurungkan karena suara Naresh yang tengah mengucapkan salam lebih dulu mendominasi. Dengan gaya cengengesan dia menyalami Umi dan Abi secara bergantian dan mendaratkan bokong di sisi Abi.

"Mantu Abi apa kabar nih?" sambut Abi dengan tangan menepuk pelan bahu Naresh.

Lelaki itu terkekeh pelan dan berucap, "Alhamdulillah kabar baik, Bi." Perbincangan di antara mereka terlihat sangat mengasyikan dengan diiringi banyak candaan dan kelakar dari Naresh. Tawa riang Abi tak pernah surut kala bercengkrama dengannya.

Aku lebih memilih untuk sejenak melipir guna membantu Umi memindahkan bekal makan siang ke kotak makan. "Rumah sepi karena cuma diisi Umi sama Abi aja," keluhnya yang berhasil membuat gerak tanganku terhenti.

"Emangnya Saras sama Riska gak pernah nemuin Umi ke sini?" tanyaku yang beliau balas dengan helaan napas panjang.

Tanpa menjawab pun aku sudah tahu. Semenjak menikah dua bocah itu sangat jarang berkunjung, padahal jarak rumahnya sangatlah dekat. Mereka terlalu fokus mengurusi rumah tangga, hingga lupa bahwa mereka masih memiliki orang tua. Dan aku tak ingin mengikuti jejak kedua adikku itu.

"Mereka sibuk dengan keluarganya masing-masing, apalagi Saras lagi repot-repotnya ngurus keponakan kamu. Riska juga sama, sibuk jadi ibu rumah tangga," adunya yang membuatku sedikit iba.

Inilah yang aku takutkan jika sudah bergelar sebagai istri orang. Intensitas dalam bertemu kedua orang tuaku pasti akan terbatasi, dan tidak mungkin seintens dulu. Ini memang sudah menjadi hukum alam, terlebih bagi kami kaum perempuan. Suami adalah prioritas utama, sebab surga kami berada padanya.

"Aku akan sering-sering kunjungi Umi sama Abi, tapi nanti aku izin dulu sama Naresh," ucapku menghibur beliau. Umi pasti sedih dan merasa sangat kehilangan anak-anaknya.

Beliau mengangguk dengan senyum tipis terbingkai indah di sana, tapi detik berikutnya beliau pun berkata, "Kok Naresh? Panggil yang sopan atuh, dia suami kamu."

"Tapi dia lebih muda dari aku, Mi," sangkalku yang malah beliau balas dengan kekehan.

"Ya salah sendiri nikah sama brondong," candanya yang membuatku sedikit sebal.

"Kalau bukan karena lamaran dadakan yang buat malu keluarga kita mah, aku gak akan pernah mau terima dia kali, Mi," sahutku asal.

"Husst ... kalau ngomong itu dijaga. Umi yakin kamu terima Nak Naresh bukan karena itu aja," beliau seperti sengaja menggantung kalimatnya lantas kembali berucap, "pasti ada feeling kan sama Nak Naresh."

Gerak tanganku yang tadinya akan menutup kotak makan menjadi urung dilakukan. Perkataan Umi cukup mengusik gendang telinga. Tapi masa sih seperti itu?

Umi mengelus puncak kepalaku penuh sayang lantas berujar, "Walaupun dari segi usia kamu lebih tua darinya, tapi tetap saja Nak Naresh itu suami kamu, imam, dan kepala keluarga yang secara derajat jelas lebih tinggi. Hormati dan berbaktilah padanya."

Aku menunduk dalam. "Tapi aku malu, Mi, Naresh aja manggil aku Teteh. Aku tuh kaya kakaknya, bukan istrinya, apalagi dia suka usil banget pake acara minta aku buat panggil dia dengan sebutan Abang segala. Geli tahu, Mi," aduku dengan wajah memanas menahan malu.

Umi malah tertawa tanpa dosa, dan hal itu membuatku sebal tak terkira. "Kalian mah lucu banget, orang cuma panggilan aja dibuat ribet. Ya udah kamu panggil dia Adek aja, gimana? Kan cocok tuh."

Aku mencebik kesal karena kelakar Umi yang sangat tak enak didengar. Bukannya mendapat pencerahan, ini malah menerima ledekan. Nyesel aku karena sudah curhat pada beliau.

Umi menangkup wajahku pelan dan kembali berujar, "Udah ah jangan cemberut, penganten baru kok bermuram durja begitu."

"Ish, Umi mah ngeselin," rajukku seraya menjauhkan tangan beliau.

"Becanda doang atuh, emangnya gak boleh? Udah gih sana berangkat kerja, kalau telat gimana," peringat beliau.

Aku hanya mengangguk dan segera menyelesaikan kegiatanku, lantas kembali menghampiri Naresh yang masih saja anteng berbincang dengan Abi.

"Ayo berangkat," kataku yang berhasil menghentikan tawanya yang sudah berbaur bersama Abi. Entah apa yang tengah kedua lelaki beda generasi itu bicarakan.

Naresh mengangguk dan segera bangkit. "Kami pamit dulu yah, Mi, Bi," ucapnya setelah menyalami punggung tangan kedua orang tuaku secara bergantian.

Aku pun melakukan hal serupa seperti yang Naresh perlihatkan, lantas mengucapkan salam dan segera mengayunkan tungkai ke arah pelataran rumah.

"Ngomongin apa tadi sama Umi?" tanyanya saat aku baru saja menggunakan sabuk pengaman.

Aku melirik sekilas ke arahnya lantas menjawab, "Kepo banget sih, yang jelas urusan perempuan. Cowok mah mana ngerti."

Naresh mendengkus lalu menginjak pedal gas, menjalankan mobilnya dengan tenang di atas aspal. "Paling juga ghibahin aku, iya kan?"

Alisku terangkat satu. "Pede banget ih kamu mah," sanggahku yang malah dia balas dengan senyum mencurigakan.

"Alah pake ngeles segala, bilang aja kali. Ngadu yah sama Umi," selidiknya yang membuatku kikuk seketika.

Aku menyilangkan tangan di depan dada, menatap penuh permusuhan padanya lantas berujar, "Kalau iya kenapa? Orang curhat sama Umi doang kok."

Dia menggeleng. "Istri itu diibaratkan seperti pakaian buat suaminya. Gak boleh tuh asal cerita masalah dalam rumah tangga sama sembarang orang, apalagi sama orang tua kita masing-masing. Bilang aja langsung ke aku, biar aku bisa perbaiki apa kurang dan salahnya. Gitu Teteh, paham?"

Aku melongo tak percaya dengan apa yang baru saja dilontarkan olehnya. Itu beneran Naresh Mahaprana yang ngomong, kan? Bocah petakilan yang suka berguyon. Sungguh sangat sulit untuk dipercaya. Ternyata aku belum benar-benar mengenal sosoknya.

"Iya ... iya ... maaf ... gak lagi deh," putusku setelah sekian detik berpaku dengan geming. Tak ingin mendebat sesuatu yang sudah dia layangkan, tidak baik.

"Jadi apa yang Teteh gak suka dari aku?" tanyanya dengan senyum tipis menenangkan.

Ternyata dia tidak childish seperti yang kubayangkan. Cukup dewasa, dan bisa jadi panutan. Sepertinya dia sosok yang pandai menempatkan diri, dia tahu kapan waktunya bergurau dan kapan waktunya serius.

Aku menatap lekat indra penglihatnya lantas kembali menunduk dalam, malu. "Jangan panggil aku Teteh, bisa?" cicitku seraya menggigit kuku tangan.

"Ok. Terus maunya dipanggil apa, hm?" sahutnya dengan diiringi senyum menyebalkan. Aku mencium bau-bau keusilan.

"Apa aja asal ja-"

"Ya udah panggil Neng aja deh," potongnya dengan alis yang dinaik-turunkan. Aku mual melihat tingkah Naresh yang sudah kembali normal.

"Serah!" Aku membuang pandangan ke arah lain. Tapi dengan tanpa diduga ada sebuah tangan yang bertengger apik di atas ubun-ubunku, dengan pelan aku pun mendongak.

Dadaku berdegup kencang saat merasakan elusan lembut yang Naresh berikan, bahkan senyum yang lelaki itu berikan pun sangat berdampak buruk pada kesehatan jantungku. "Turun Neng udah sampai," cetusnya yang langsung membuatku meradang seketika.

Bunga-bunga yang tadi hendak bermekaran, seketika layu karena disiram sesuatu yang mematikan. Naresh memang sangat menyebalkan, kukira dia akan menggombal seperti biasanya, namun ternyata tidak. Sangat jauh dari ekspektasi.

Hai ... Hai ...
Ini hari apa? Rabu yah😅
Maaf gak up sesuai jadwal ... Aku seneng liat respons kalian di bab 1, jadi aku luncurkan aja bab 2 nya sekarang. Yukk,, ramaikan lagi supaya rajin up🤗

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro