Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

18 | Hukum Sebab Akibat

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Jangan sampai menyesal di kemudian hari, karena telah menyia-nyiakan lelaki yang sudah berbaik hati menyayangi dengan sepenuh hati."

Marahnya seorang pendiam dan petakilan jauh lebih menyeramkan, karena di balik bibirnya yang terkatup rapat kita tidak akan pernah tahu apa saja yang tengah diperbincangkan dengan Rabb-Nya. Begitu pula dengan Naresh, lelaki itu begitu betah berkawan dengan geming dan mendiamkanku seperti sekarang.

Kurasa untuk kali ini dia benar-benar menunjukkan tanduknya. Jujur ini sangat amat menakutkan, dan membuatku tersadar bahwa di balik sifat humoris yang selalu dia perlihatkan menyimpan banyak kejutan yang mematikan, dan inilah yang jauh lebih membahayakan.

"Jangan diem mulu atuh, aku berasa ngomong sama patung," bujukku. Ini bukanlah kali pertama, melainkan sudah berulang kali. Namun responsnya tetap sama, diam dengan pandangan datar.

"Maafin aku, Resh. Janji gak bakal gitu lagi," imbuhku dengan tangan menggapai lengannya dan kugerak-gerakkan secara brutal.

Dia hanya melirik sekilas ke arahku lantas bergegas menuju kamar. Aku mengintil dan berusaha untuk mensejajarkan langkah. "Abang Naresh yang cakep, yang gantengnya gak ketulungan maafin aku yah."

"Jangan pegang-pegang. Jijik bekas Pak Tua!" Setelah mengatakan kalimat itu dia langsung bergegas ke kamar mandi, tapi aku terus saja membuntuti ke mana pun Naresh pergi.

"Apa?"

Aku memilin ujung jilbab dan mengatupkan bibir gugup. "Ikut," cicitku lantas membuang pandangan ke arah ubin.

"Yakin?"

Aku mengangguk ragu.

Tangannya berancang-ancang untuk membuka baju, dan secara spontan aku pun langsung menjerit histeris serta berlari tunggang langgang keluar.

"Katanya mau ikut?"

Aku tak menghiraukan suara kencang nan dingin miliknya. Berusaha untuk menetralkan gemuruh dalam dada dan bersandar pada pintu untuk menenangkan diri.

Naresh tak pernah bersikap dingin dan cuek seperti sekarang, ini adalah kali pertama aku menghadapinya. Aku tak tahu harus dengan cara apa membujuk lelaki itu agar mau memberikan maaf.

"Masuk udah malem, tidur."

Aku tersentak saat pintu dibuka dari dalam dan secara otomatis membuat kakiku bergerak maju dengan tak sabaran. Jika sedang tidak dalam mode ngambek, aku akan memarahinya sekarang juga.

Aku bersidekap dada dan membuang pandangan. "Tidur sendiri aja sana. Katanya jijik bekas Pak Bagas!"

Dengan lancang Naresh menarik paksa tanganku agar kembali memasuki kamar, dan berjalan mengarah ke toilet. "Harusnya dicuci tujuh kali pake air sama tanah, tapi karena gak ada sabun juga gak papa."

Aku melongo melihat Naresh yang dengan lembut memberikan sabun cair, lantas membilasnya di bawah air mengalir. "Udah bersih dan wangi, najisnya udah ilang."

Aku melongo beberapa saat. Apa tadi katanya? Najis? Allahuakbar, dikira tangan Pak Bagas itu air liur anjing kali yah pakai acara najis dan harus dibersihkan dengan air dan tanah.

"Kamu masih marah?"

Mendengar hal itu sontak membuat gerak tangannya yang tengah mengeringkan tanganku dengan serbet terhenti. Dia menatap lekat ke arahku lantas kembali membuangnya ke sembarang tempat.

"Udah tidur sana jangan banyak tanya." Kalimat itu dia layangkan dengan dingin penuh ketegasan. Ish marahnya lama. Bisa mati kutu aku kalau didiamkan terus seperti ini.

"Maafin atuh aku khilaf, gak bakal diulangi lagi. Kamu mau apa? Pokoknya aku akan turutin semua kemauan kamu, asal kamu maafin," kataku memohon.

Aku tak suka Naresh yang dingin, cuek, dan irit bicara seperti ini. Lebih baik melihat dia yang petakilan, suka mengobral rayuan, dan tak pernah bosan berkoar-koar.

"Udah malem, Teh. Aku bilang tidur ya tidur, jangan ngeyel dan bujuk-bujuk gitu. Gak napsu aku!"

Aku mencebik sebal dan berjalan cepat ke arah ranjang, lantas menutup seluruh tubuhku dengan selimut tebal. Aku tak biasa dibentak seperti itu. Aku merasa harga diriku direndahkan olehnya, itu merupakan sebuah penghinaan.

"Gak usah drama. Aku masih sebel sama Teteh!" Perkataan sarkas itu dia layangkan setelah ikut membaringkan tubuh di sisiku, posisi kami saling membelakangi.

"Aku mau nginep di rumah Umi sama Abi," ujarku dan beranjak dari tempat tidur. Jika memang masih marah ya sudah, lebih baik aku pergi saja. Toh di sini pun aku merasa tak dianggap dan tak dihargai.

"Ya udah pergi aja sana. Malem-malem begini mau naik apa? Mana berani Teteh keluar sen—"

Aku berdecak tak suka. "Gak berani? Tarik perkataan kamu, aku bisa pulang sendiri," potongku cepat dan bergegas mengambil tas selempang yang tergantung di dinding.

Naresh bangkit dari tidurnya dan berjalan menghampiriku. "Jangan kaya anak kecil deh, Teh. Apa-apa ngadu sama Abi, apa-apa cerita sama Umi."

"Tahu ah aku gak peduli. Lagian kamu juga anggurin aku dari tadi sore, kamu kira aku ini patung? Iya ok, aku ngaku salah karena kejadian itu. Aku udah minta maaf, tapi kamu gak mau maafin. Ya udah kalau gitu kita ud—"

Naresh menghela napas berat, dia menggeret tanganku agar duduk di tepi ranjang. "Jangan malu-maluin deh, masa cuma gara-gara ini bubar jalan. Gak ada alasan yang lebih bagusan lagi apa?"

Dengan semangat 45 aku menjawab, "Ya abis kamunya juga sih bikin aku naik darah. Aku gak suka didiemin gitu!"

"Teteh yang mulai duluan. Pake acara pegang-pegang tangan segala lagi, aku aja yang suami Teteh kudu usaha keras dulu biar bisa kaya gitu, lah si Pak Tua main sosor-sosor aja. Gak ada akhlak emang tuh orang!"

"Di dalam dunia kerja itu hal biasa, sepele yang seharusnya gak usah kamu permasalahin," selaku tak terima.

"Tapi di dalam Islam itu masalah besar. Gak bisa ditawar-tawar dan dinego ulang, dalilnya udah tertera jelas dalam Al-Qur'an. Mau nyangkal? Nantang Allah itu namanya."

Perkataan Naresh sangat amat menohok dan membuatku kembali berpikir. Dulu aku sangat menjaga diri agar tak sembarangan dalam memegang seseorang yang bukan mahrom, tapi tadi aku sudah keluar jalur.

"Jangan ikutin hawa napsu. Yang Teteh rasa itu bukan cinta, tapi syahwat berlebih, rasa ingin memiliki."

Aku menunduk dalam, tak berani sedikit pun untuk menatap ke arahnya. Bahkan bibirku pun terasa membeku dan sulit untuk mengeluarkan suara.

"Bedain mana suka dan mana cinta." Tubuhnya langsung menghilang ditelan pintu kamar, dan hanya menyisakanku saja di dalam ruangan berukuran sedang dengan lampu temaram ini.

Aku memejamkan mata cukup lama, meresapi gejolak dalam hati yang sudah meronta tak tahu diri. Aku tahu ini sudah kelewatan, aku terlalu membuka jalan pada Pak Bagas. Dan ini adalah sebuah kesalahan fatal.

Seharusnya aku sadar, bahwa perasaan ini sudah termasuk bujuk rayu setan. Dan tidak sepantasnya kuturuti, hingga membuat amarah Naresh mencuat ke permukaan. Aku terlalu bodoh karena lebih mementingkan masa lalu dibanding masa depan.

Aku telah mengingkari janjiku pada Mamah. Aku tak mampu membuat putranya bahagia, dan parahnya aku malah memberikan rasa sakit yang tiada terkira. Aku memang perempuan yang tak pandai bersyukur.

Allah sudah berbaik hati mengirimkan Naresh sebagai suami, tapi dengan tak tahu malunya aku malah mengharapkan lelaki lain. Sadar Nisrina.

Cinta tidak akan pernah mau menunggu. Jangan sampai menyesal di kemudian hari, karena telah menyia-nyiakan lelaki yang sudah berbaik hati menyayangi dengan sepenuh hati.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro