Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 | Akibat Salam Perpisahan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Masa lalu itu gak pantes buat dikenang, karena dia bukan pahlawan. Seharusnya dikubur dalam-dalam dan lupakan."

Tepat hari ini aku benar-benar harus membereskan segala barang-barang, karena mulai detik ini pun aku harus segera hengkang dari perusahan. Rasanya begitu berat dan enggan, terlebih saat melihat rekan-rekanku yang sudah seperti keluarga ini. Rengkuhan hangat yang Ziah berikan terasa menyesakkan dada. Kami sudah lama berteman dan aku tak ingin pertemanan ini hanya sampai berakhir di sini saja.

"Kamu mah ninggalin aku sendiri di sini, aku gak ada temen lagi," ungkapnya di tengah isakan. Aku hanya diam dan terus memberikan elusan di punggungnya.

"Katanya mau tua bareng-bareng di sini, tahunya kamu malah lebih milih tua bareng Naresh. Aku dilupain," imbuh Ziah yang terdengar konyol serta lucu di telingaku.

Aku terkekeh pelan guna menyamarkan suara yang mungkin sudah serak karena menahan tangis haru. "Menua bareng Naresh lebih menjanjikan daripada menua di perusahaan. Dia janjiin aku surga dan kebahagiaan," candaku yang langsung dibalas dengkusan.

Ziah melepaskan rengkuhannya dan menghapus kasar cairan bening yang masih menggantung di kedua sudut mata. "Ya udah aku juga mau menua bareng Mas Zaki," sahutnya tak mau kalah.

Aku menggeleng beberapa kali, anak itu ada-ada saja. "Terserah kamu aja deh, inget yah jangan capek-capek, jaga kesehatan juga. Kamu lagi hamil muda, aku gak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kandungan kamu," ujarku memberi Ziah wejangan dan petuah.

Ziah mengangguk penuh semangat, dia membawa tanganku agar berada di atas perut rata perempuan itu, dengan refleks aku pun mengelusnya. "Kamu juga cepet nyusul yah, pasti lucu nanti anak kamu sama Naresh."

"Aamiin, doain aja yah, Zi," sahutku dengan sunggingan lebar. Kuharap Allah segera menitipkan satu nyawa di dalam rahimku, mungkin dengan kehadirannya akan semakin mempererat hubungan di antara kami.

Aku beralih fokus dan bersalaman serta bermaaf-maafan dengan rekan-rekan kerjaku di berbagai divisi. Cukup banyak dan lumayan membuat kaki pegal, serta bibir karena harus terlihat kuat dengan diiringi sungging penuh kepalsuan.

Aku merasa sangat kehilangan, bahkan mungkin aku akan merindukan kebersamaan ini. Sebuah moment yang takkan pernah bisa kulupakan. Sangat amat berharga dan patut untuk dikenang.

"Na," bisik Ziah pada saat aku tengah sibuk menyalami beberapa rekan kerja yang lain. Memang sudah menjadi tradisi perusahaan, bila ada yang hendak keluar pasti akan diadakan semacam seremoni perpisahan.

Hanya sebatas mengumpulkan seluruh karyawan di lobi. Acaranya pun hanya sekadar saling berjabat tangan dan mengungkapkan kata maaf serta salam perpisahan. Ini adalah moment yang sangat amat mengharukan.

Aku datang ke perusahaan ini dengan cara baik, dan disambut dengan baik pula. Dan pada saat akan hengkang pun masih menerima kenang-kenangan terbaik dari mereka semua. Bahkan tak segan ada yang memberikan bingkisan berupa hadiah, rasa haru bercampur bahagia itu bersemayam nyaman dalam diri.

"Ap—"

Kalimatku menggantung di udara karena melihat sosok tegap nan penuh wibawa Pak Bagas yang kini tengah menyapa netra. Dengan segera aku pun mengalihkan pandangan dan beristigfar. Ingat Naresh, Nisrina.

"Selamat menikmati peran baru kamu, dan saya harap kita masih bisa menjalin sebuah pertemanan."

Penuturan itu dibarengi dengan tangan tersodor, meminta berjabatan. Tapi aku risau dan ragu untuk menyambutnya, beliau bukan mahromku. Apa pantas jika kulit bertemu kulit pula?

"Hanya sebatas salam perpisahan, profesionalitas dalam bekerja," imbuhnya seperti tahu apa yang saat ini tengah menggangu pikiranku.

Aku hanya terpaku dan menatap kosong ke arah tangannya yang masih menggantung di udara. Senggolan dari Ziah menyadarkanku, dan dengan refleks aku pun menerima uluran tersebut.

Rasa panas seketika menjalar dan mengalirkan sesuatu hingga berdesir tak menentu. Bahkan mungkin tanganku sudah berkeringat dingin dibuatnya. Ya Allah, aku tahu ini salah, tapi dengan angkuhnya aku malah menyalahi aturan itu. Ampuni aku Ya Rabb.

"Pulang, Teh!"

Sontak kepalaku langsung tertoleh kala mendengar suara dingin mematikan milik Naresh. Aku memejamkan netra cukup lama, sebelum akhirnya berani menatap ke arah Naresh yang sudah memasang wajah mengerikan.

"Dasar modus. Inget bini yang lagi bunting di rumah!" Setelah mengatakan kalimat itu Naresh langsung menarik paksa tanganku. Cukup sakit, karena cengkeramannya yang begitu kuat.

"Adeknya Rina posesif banget yah, baru salaman aja tuh muka udah kaya mau nelen orang hidup-hidup."

Aku meringis kala mendengar desas-desus beberapa rekan kerjaku yang tak pernah bertemu pandang dengan Naresh. Ini adalah kali pertama Naresh menginjakkan kaki di perusahaan tempatku bekerja. Jadi pantas saja jika mereka menganggap Naresh adikku, tapi mereka melupakan satu fakta bahwa aku tak memiliki adik ataupun saudara laki-laki.

"Bukan adeknya, itu suaminya. Brondong, bekas calon adik iparnya."

Salah satu tanganku terkepal kuat kala mendengar kalimat sanggahan tersebut. Dasar biang gosip. Kukira dia sudah taubat dan tak ikut campur lagi perihal urusan orang lain, ternyata masih sama saja.

"Jaga ucapan Tante yah! Seenak jidat aja tuh mulut kalau ngomong. Abis makan cabe berapa kilo?!"

Aku meremas tangan Naresh agar dia tak meledakan amarahnya di sini. Bisa malu aku kalau sampai hal itu terjadi, apalagi saat ini emosi Naresh sedang tidak stabil.

"Pulang," desisku pelan tapi penuh ketegasan.

Matanya menatap tajam penuh ketidaksukaan. "Tuh Tante Girang yang mulai duluan. Lain kali kalau mau ngomong disaring dulu, nyakitin orang atau gak. Dandanan high class tapi bibir murah meriah, gak sinkron amat!"

"Lancang sekali kamu berbicara, dasar bocah ingusan!"

Tarikan di salah sudut bibir Naresh terangkat. "Mata Tante minus tuh, aku gak ingusan. Periksa sana!"

"Kamu—"

Tanpa mau membuang banyak waktu lagi aku mendorong punggung Naresh dengan sekuat tenaga agar berjalan. "Pulang!"

"Urusan kita belum selesai," bisiknya saat dia berhasil menggandeng tanganku, dan bergerak keluar menuju parkiran.

Tamatlah riwayatku.

"Masuk." Aku membatu kala mendengar nada ketus dan dingin itu lagi. Dengan berat hati aku pun mengikuti titahnya dan duduk risau di samping kemudi.

Entah akan jadi apa nanti aku di rumah. Naresh pasti akan memulai introgasi serta aksi cemburu butanya. Ish, kepalaku mendadak berdenyut ngilu.

"Itu tadi kamu salah pah—"

"Enteng banget Teteh ngomong salah paham. Udah tahu tuh orang modus, malah diladeni lagi. Untung aku nekad masuk ke dalam, kalau enggak, mungkin akan ada adegan peluk-pelukan tanda profesional."

Aku memutar bola mata malas. Tuh kan penyakit menyebalkannya kumat. "Cuma salaman aja, Naresh."

Lelaki itu mendengkus kasar lantas berujar, "Lebih baik ditusuk dengan pasak besi daripada menyentuh perempuan yang bukan mahrom. Inget status juga dong, Teh!"

Aku menghela napas penuh keputusasaan. "Iya, maaf, aku salah!"

"Pak Tua niatnya cuma nyodorin tangan, tapi Teteh malah bales pake perasaan. Ya udah ambyar." Perkataan sarkas itu sangat amat menusuk dan membuatku sakit, serta tak enak hati dalam waktu yang bersamaan.

"Pak Tua udah punya istri, Teteh juga udah punya suami. Kalau emang kalian mau main api, ya silakan aja. Tapi jangan pernah libatin aku dalam hubungan gel—"

"Cukup yah, Resh. Omongan kamu makin ke sini makin melantur. Kamu kira ini kemauan aku? Kalaupun boleh memilih aku pasti akan memilih untuk menikah dengan seseorang yang aku cintai. Gak ada satu pun perempuan yang mau ngerasain ada di posisi aku!"

Mobil yang semula berjalan lancar, langsung mandeg di pinggir jalan. Dengan raut wajah dingin dia menatap ke arahku. "Aku dulu kasih Teteh opsi itu, tapi dengan angkuhnya Teteh malah menyangkal perasaan Teteh sendiri. Ya terima akibatnya dong kalau Pak Tua kepincut cewek lain."

"Pak Bagas nikah karena terpaksa, Naresh!" Refleks aku pun menutup mulut, karena sudah lancang mengeluarkan kalimat terkutuk itu.

Naresh tersenyum kecut dan berdecih. "Gak ada istilah terpaksa dalam pernikahan, sekalipun itu karena sebuah perjodohan. Terima nasib aja atuh, Teh kalau emang Pak Tua bukan jodoh Teteh. Udah masalah pun kelar!"

Napasku memburu dengan begitu cepat, naik turun serta tak lagi bisa dikendalikan. Enteng sekali dia jika berbicara, aku sudah mati-matian membunuh perasaanku pada Pak Bagas dan mencoba membuka hati untuknya. Tapi dia malah melontarkan kata-kata pedas itu.

"Masa lalu itu gak pantes buat dikenang, karena dia bukan pahlawan. Seharusnya dikubur dalam-dalam dan lupakan."

Setelah mengatakan kalimat itu dia langsung menancap pedal gas, dan diam terpaku pada jalanan. Aku pun hanya mampu berkawan dengan geming, tak kuasa untuk kembali membuka perbincangan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro