Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16 | Ayla View

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Kita kan gak tahu dalamnya kaya gimana, bisa aja di mulut bilang gak suka, tapi hatinya udah bucin tingkat dewa."

Kita bisa memilih untuk mencintai siapa pun yang kita sukai, tapi pada saat ikrar sudah digaungkan dan kata sah sudah disakralkan, alangkah lebih baiknya jika melabuhkan hati hanya pada pasangan yang sudah Allah beri. Karena perihal masalah jodoh mutlak berada di tangan-Nya, sekalipun kita meminta dan memohon, jika memang tidak Allah kehendaki, ya akan percuma saja. Cukup syukuri apa yang saat ini tengah dimiliki.

Aku memang belum sepenuhnya bisa memberikan hatiku pada dia yang sudah Allah pilihkan untuk menjadi imam dunia akhirat. Tapi setidaknya aku sudah berusaha serta mencoba untuk terus memupuk perasaan ini, kuyakin lambat laun rasa itu akan segera muncul. Terlebih dia merupakan sosok yang humble, easy going, dan mudah membuatku melambung ke angkasa karena bujuk rayunya.

Hanya masalah waktu saja yang belum menghendaki, dan bersabar adalah salah satu kunci yang senantiasa harus kumiliki. Jika Allah saja sudah mempersatukan kami dalam biduk rumah tangga, kenapa aku harus merisaukan hal yang tak seberapa? Perihal cinta dan hati bisa dipupuk mulai dari saat ini.

"Wihh baru kali ini dibawain bekal makan siang hasil dari tangan Teteh," ucap Naresh heboh, bahkan tangan lelaki itu langsung mencomot nugget ayam yang sudah kutata di atas piring.

"Malu aku kalau tiap pagi harus ke rumah Umi, dan parahnya cuma minta makan doang lagi. Tapi gak papa kan kalau cuma itu aja?" sahutku.

Aku hanya bisa memasak makanan cepat saji saja, nugget ayam, sosis, dan juga cah kangkung sebagai bekal makan siang. Sungguh sangat sederhana, dan itu pun aku masak asal cemplung. Maklum saja, aku tak begitu lihai dalam meracik bumbu dan rempah.

"Gak papa, ini juga enak dan bergizi kok," jawabnya yang tanpa sadar membuat kedua sudut bibirku terangkat.

Naresh memang tak pernah rewel dalam hal makanan, apa pun yang kumasak selalu habis masuk ke dalam lambungnya. Tanpa protes ini dan itu, padahal aku tahu bahwa masakanku masih jauh dari kata enak serta layak.

"Nantilah kalau aku udah berhenti kerja aku mau belajar masak sama Umi, biar kamu gak bosen makan itu-itu aja," ungkapku saat setelah memasukkan tempat nasi beserta tumbler ke dalam lunchbox.

Naresh mengangguk dengan mulut penuh nasi. Rasanya senang jika melihat dia makan lahap seperti itu, bahkan tanpa sadar membuat semangatku menggebu-gebu untuk terus menyajikan hidangan yang jauh lebih baik lagi.

"Teteh tenang aja, aku mah gak akan cerewet soal makanan. Mamah gak bisa masak, lebih parah dari Teteh malah. Teteh mah lumayan masih bisa goreng dan numis," katanya.

Sudah kuduga bahwa Mamah seperti itu. Terlihat sekali dari gayanya yang high class serta seperti enggan untuk berjibaku di dunia perdapuran.

"Terus selama ini kamu makan di luar gitu?" tanyaku saat setelah menghabiskan satu suap nasi dalam mulut.

Naresh menggeleng, mengambil gelas tinggi yang sudah kuisi dengan air putih, lalu menegaknya setengah. "Gak atuh, Papah yang masak. Gitu-gitu Papah jago di dapur, sama kaya Bang Ares. Kalau aku mah jago ngabisin makanan, sama kaya Mamah," terangnya dengan cengiran.

Aku terkekeh pelan. Dia itu memang sangat lihai jika perihal bersih-bersih makanan, piring yang sedari awal penuh pasti akan raip dalam sekejap.

"Teteh seminggu lagi kan kerja sama Pak Tua?" tanyanya yang langsung kubalas dengan anggukan.

"Selama Teteh kerja, Pak Tua gak banyak ulah dan gerecokin Teteh, kan?" sambungnya yang kuhadiahi helaan napas berat.

Hampir setiap hari kalimat itu selalu dia pertanyakan. Entah dia yang memang tidak menaruh rasa percaya padaku, atau memang kadar cemburunya yang tak bisa dikendalikan.

"Gak ada pertanyaan lain?"

Lelaki itu hanya nyengir kuda tanpa dosa lantas berkata, "Aku takut Teteh kepincut lagi sama Pak Tua. Kalau CLBK kan bahaya."

Aku menggeleng beberapa kali. "Jangan curigaan bisa? Pak Bagas udah punya istri, bahkan sebentar lagi akan punya anak. Kamu jangan mikir ya—"

"Apa? Pak Tua mau punya anak? Gila tuh orang. Minggu lalu masih berani bilang suka sama Teteh, eh tahunya udah buntingin istrinya. Emang rada-rada tuh orang!" sela Naresh dengan napas memburu cepat.

Aku mengembuskan napas panjang dan berucap, "Jangan ikut campur urusan rumah tangga orang. Kita kan gak tahu dalamnya kaya gimana, bisa aja di mulut bilang gak suka, tapi hatinya udah bucin tingkat dewa."

"Apa jangan-jangan Teteh kepanasan lagi sama Pak Tua dan istrinya, gara-gara mereka udah mau punya anak Teteh juga mau kejar tenggat!"

Aku tersedak makanan yang belum sempurna kutelan. Perkataan Naresh sungguh sangat menohok dan membuatku tak nyaman.

"Sembarangan kamu kalau ngomong. Jangan asal nuduh!"

Naresh bertopang dagu, menaikkan satu alisnya dan berujar, "Tapi bodo ah, apa pun alasannya yang penting Teteh udah jadi milik aku sepen—"

Aku langsung menimpuk wajah Naresh dengan serbet yang berada di sampingku. Kurang ajar sekali mulutnya jika sedang diliputi rasa cemburu.

Tanpa kata aku langsung bangkit dan meninggalkan Naresh begitu saja. Pagi-pagi sudah membuat mood-ku anjlok. Dasar kurang kerjaan.

Dengan tidak sopannya dia menarik tangan hingga menghentikan langkahku. "Jangan marah atuh. Becanda doang, aku gak ada maksud apa-apa. Beneran."

Aku menepis tangannya agar menyingkir. "Becanda kamu kelewatan, Naresh. Kamu kira itu pantas dijadikan sebagai bahan lelucon?!"

"Mundur lagi aja atuh kalau kelewatan mah, atau mau putar balik?"

Aku menggeram sebal dibuatnya. "Kamu emang gak pernah bisa diajak serius. Becanda aja terusssss! Ka—"

Bibirku langsung terkatup rapat kala merasakan rengkuhan hangatnya. Otakku tak lagi bisa difungsikan dengan sempurna, tiba-tiba blank.

"Maaf. Aku takut Teteh nyesel dan terpaksa, makanya aku becandain biar gak terlalu tegang," bisiknya yang jujur saja membuat hatiku luluh seketika.

"Gak ada unsur keterpaksaan, itu memang sudah menjadi kewajiban aku. Lagi pula bukannya memang itu kan yang Papah dan Mamah inginkan?"

Dia melepaskan pelukannya, menatap lekat ke arah mataku. "Ya udah aku minta maaf. Aku salah karena udah nyinggung dan nyakitin perasaan Teteh."

Aku hanya diam dan terpaku, melihat raut wajah penuh sesal yang Naresh tunjukan membuat hatiku iba. Aku terlalu terpancing emosi, dan jika dipikir ulang lagi apa yang dia khawatirkan cukup masuk akal.

Tapi aku sama sekali tak menjadikan Pak Bagas sebagai alasan, mungkin memang moment-nya saja yang kebetulan. Tiga hari lalu kami bertemu di pusat perbelanjaan, dan dalam waktu yang bersamaan pula aku menyerahkan diri pada Naresh.

"Kamu bisa kan gak usah terlalu nethink sama aku? Kasih aku kepercayaan. Aku gak nyaman kalau apa-apa dicurigai, lagi pula kamu kan tahu kalau aku juga akan resign. Cemburu boleh-boleh aja, tapi jangan sampai dibutakan juga."

"Aku cuma takut Teteh akan berpaling hati sama Pak Tua, apalagi Teteh gak pernah balas ungkapan cinta aku," cicitnya yang jujur saja membuat perasaanku tak keruan.

Setiap hari, bahkan pada saat mata kami akan terpejam dan terbuka di pagi hari, dia selalu menyatakan kalimat cinta yang dibumbui rayuan khasnya. Tapi semua itu hanya kubalas dengan senyum dan anggukan saja, aku tak pandai dalam hal mengungkap rasa dan memang tidak selamanya cinta harus diutarakan.

Aku menggenggam tangannya dengan lembut, memberikan senyum terbaik yang kumiliki. "Apa kalimat cinta sangat penting untuk kamu dengar? Kamu tahu kan aku seperti ap—"

"Iya aku tahu, Teteh lebih suka memendam daripada mengungkapkan. Tapi aku butuh kejelasan, apa aku udah berhasil membuat Teteh jatuh cinta atau belum?" potongnya cepat.

"Ya udah jadi mau kamu apa?" tanyaku memilih untuk mengalah.

Senyum lelaki itu mengembang lantas berujar, "Cukup balas pesan yang aku kirimin ke Teteh." Aku mengangguk cepat, dan dia langsung berkutat dengan gawai, serta tak lama dari itu dentingan pun terdengar. Aku segera melihat pesan masuk, dan dahiku refleks mengkerut tak mengerti.

Naresh

Mobil murah Daihatsu namanya apa, Teh?

Ayla

Kalau bahasa Inggrisnya pemandangan?

View

Coba gabungin, Teh?

Ayla View

I Love You Too :*

Aku menatap bingung ke arah Naresh yang malah mengobral senyum penuh kemenangan. Apa maksudnya coba?

Baru saja aku akan mempertanyakan, dengan lancang Naresh langsung menarik tanganku dan berbisik, "Makasih udah mau jujur sama perasaan Teteh."

Dengan seketika otakku pun langsung bekerja, dan tak lama dari itu kulayangkan cubitan di pinggangnya. "Mau nyuruh bilang I Love You aja susah, pake acara kode-kodean kaya gitu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro