15 | Titik Awal
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Berharap pada sesama hamba hanya akan berbuah rasa kecewa. Cukuplah Allah yang kita jadikan sebagai sandaran dan tempat memupuk benih harapan."
Setibanya di rumah aku langsung menjatuhkan tubuh di sofa, padahal hanya sekadar berkeliling pusat perbelanjaan saja, tapi lelahnya nauduzbilah. Beginilah jika anak rumahan keluar kandang, beruntung Naresh tak banyak bertanya ini dan itu. Dia malah memberikan segelas cokelat panas dan menghidangkannya di meja. Manis sekali anak itu.
"Minum dulu, Teh," katanya setelah duduk di salah satu sofa single samping kananku.
Aku langsung bangkit dan menyesap minuman hangat tersebut, rasanya sangat menenangkan dan juga melegakan. Dia sangat tahu dan mengerti akan apa yang tengah kubutuhkan. Suami idaman juga ternyata.
"Belanja apaan aja?" cetusnya yang langsung kuhadiahi cengiran.
"Gak ada," singkatku yang dibalas dengkusan kasar olehnya.
"Ya terus Teteh ngapain aja selama berjam-jam di mall?" Dia menggeleng beberapa kali dengan diiringi decakan pelan.
"Nemenin Mamah, abisnya aku bingung mau beli apa. Pakaian aku masih banyak dan bagus-bagus," selaku lantas kembali mengambil gelas cokelat panas itu dan menyesapnya hingga tandas.
Naresh menjadikan kedua tangannya sebagai sandaran kepala lantas berkata, "Teteh mah aneh, disuruh ngabisin uang aja bingung, apalagi aku suruh yang lain."
"Ya kan aku gak pernah pergi ke tempat begituan, baju-baju yang aku pake aja Umi yang beliin," terangku yang langsung membuat Naresh terperanjat kaget.
Aku memang sangat tidak berkawan dekat dengan hal-hal seperti itu. Malas dan tak berselera, lebih asik menghabiskan waktu di rumah dengan bersantai dan menonton tayangan televisi saja, atau paling tidak rebahan seharian full. Itulah namanya surga dunia yang nyata, nikmat Allah yang tidak ada duanya.
"Aneh ih, gak kaya perempuan kebayakan Teteh mah," komentarnya, aku hanya mengangkat kedua bahu acuh tak acuh.
"Harusnya kamu bersyukur karena uang kamu aman, gak akan aku habiskan untuk hal-hal unfaedah seperti itu. Lagian buat apa sih dihambur-hamburin, nyarinya susah tahu, capek lagi. Satu bulan kerja, baru tuh uang bisa masuk kantong, masa pas udah di tangan malah dipake buat belanja aja. Sayang uangnya," jelasku panjang lebar.
Naresh menggeleng beberapa kali lantas setelahnya bertepuk tangah heboh. "Nah cakep nih, kalau punya istri yang bisa manage keuangan dengan baik mah, kan jadi tenang. Gak bakal ada tuh istilah besar pasak daripada tiang," tuturnya yang langsung kuhadiahi senyum penuh rasa bangga.
"Iyalah, kamu emang yang jadi bank berjalan, tapi kendalinya tetap aku yang pegang. Mau cukup apa kurang ya tergantung kitanya aja, kita tuh harus siapin buat modal masa depan. Nabung, biar pas nanti kita tua gak usah susah-susah lagi," ungkapku antara sadar tak sadar.
Naresh terbatuk-batuk sebelum akhirnya berujar, "Mendadak keselek biji salak ini. Jadi mau menua bersama nih ceritanya?"
Wajahku langsung memanas kala menyadari apa yang baru saja kukatakan tadi. Ish, mulutku tidak bisa dikendalikan sekali.
Aku berdehem sejenak, meminimalisir rona merah di pipi dan berusaha untuk tetap rileks. "Emang maunya kamu apa? Kita karam di tengah lautan gitu? Aku sih gak mau. Nikah mah sekali aja seumur hidup."
Beberapa kali aku meneguk ludah dengan susah payah. Malu sekali rasanya mengungkapkan kalimat itu, padahal itu wajar dan sah-sah saja. Tidak ada satu pun pasangan yang menginginkan rumah tangganya bubar jalan di pertengahan.
Senyum misterius terbit di kedua sudut bibir lelaki itu. "Tenang, Teh aku kan yang jadi nakodanya. Mau sebesar apa pun badai dan angin topan yang menghadang, akan aku pastikan kapal kita berhenti di semenanjung pelabuhan. Teteh kan penghujung cintaku," katanya dengan alis yang dinaik-turunkan.
Aku langsung menyembunyikan wajah di bantal sofa. Panas sekali, mungkin akan meledak di tempat. Dia pandai sekali membuat perasaanku berbunga-bunga. Ish, baper akut ini mah.
"Tingginya gunung akan kudaki, luasnya samudera akan kuseberangi. Pokoknya untuk Teteh mah apa aja akan aku lakukan," gombalnya semakin menjadi.
Rayuan Naresh sudah sering amat kudengar, dan menjadi peluru mematikan bagi kaum perempuan. Padahal jika ditilik lebih jelas lagi dengan nalar, itu sungguh tidak masuk akal.
Apa tadi katanya? Tingginya gunung akan kudaki, luasnya samudera akan kuseberangi. Bohong itu pasti. KUA yang letaknya di samping rumah saja tak berani didatangi. Dasar laki-laki yang hanya bisa menebar janji-janji ilusi.
Itu merupakan gombalan sejuta umat para lelaki untuk menjerat wanita yang disukai. Padahal alangkah lebih baiknya jika langsung tancap gas saja ke KUA, mendapatkan label halal yang berhadiah pahala dari Allah Ta'ala.
"Udah ah, jangan diterusin. Udah malem bukannya tuh otak diistirahatin, eh malah kumat gak ketulungan," pintaku yang langsung disambut tawa menggelegar olehnya.
Dasar Naresh! Gampang sekali menebar senyum dan tawa riang. Jika ada perempuan yang mudah terbawa perasaan bagaimana? Bisa dianggap pemberi harapan palsu pasti anak itu.
Tapi menurutku pribadi, tidak akan pernah ada istilah pemberi harapan palsu jika wanitanya tidak menaruh banyak harap pada lelaki itu. Tidak menjadikan manusia sebagai tolok ukur sebuah pengharapan.
Karena seperti yang sudah kita ketahui sama-sama, bahwa berharap pada sesama hamba hanya akan berbuah rasa kecewa. Cukuplah Allah yang kita jadikan sebagai sandaran dan tempat memupuk benih harapan.
In syaa Allah akan ada kisah indah yang menunggu kita di depan sana. Kuncinya hanya cukup banyak berdoa, dan serahkan semuanya pada Allah Ta'ala.
Fokusku langsung teralihkan kala mendengar suara Naresh, yang tidak seperti biasanya. "Aku mau tanya serius nih sama Teteh," katanya dengan mimik wajah yang kurasa tidak ada rona kejahilan di sana.
"Apa?" sahutku dengan patuh langsung menatap ke arahnya.
Naresh terlihat menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal lantas berujar, "Tapi janji gak bakal marah yah?" Aku mengangguk cepat sebagai jawaban.
"Tadi kan Teteh bilang nikah itu sekali seumur hidup, terus Teteh juga bilang kita harus mempersiapkan diri dan finansial untuk modal masa depan. Mau menua bareng aku kan maksudnya?"
Rasanya aku ingin terbahak mendengar dan melihat tingkah Naresh yang menurutku sangat lucu serta menggemaskan. Tapi sebisa mungkin kutahan, dan lagi-lagi aku pun mengangguk singkat.
"Terus?"
Air muka Naresh terlihat ragu, resah, dan gelisah. Entah apa yang membuatnya menjadi seperti itu. Yang kulihat saat ini seperti bukan Naresh yang kukenal.
"Mamah sama Papah kan udah min—"
Aku meneguk ludah dengan susah payah. Aku mengerti arah pembicaraan ini akan berakhir di mana. Memejamkan netra sejenak, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menyela.
"In syaa Allah aku siap."
Lidahku kelu, bibirku membeku, dan tubuhku pun rasanya sudah menggigil bukan main. Tapi sebisa mungkin aku memantapkan niat serta hati, bahwa memang sudah seharusnya seperti ini.
Kepala Naresh yang tadi sempat tertunduk kini mulai terangkat kembali. "Teteh serius?"
Aku mengangguk lantas membuang pandangan ke arah lain. Memilin ujung jilbab yang tengah kukenakan, keringat dingin rasanya sudah mulai bercucuran.
Bismillah, semoga ini merupakan awal yang baik untuk keberlangsungan rumah tangga kami. Aku sudah berdosa karena menundanya terlalu lama, dan untuk saat ini aku akan benar-benar menyerahkan diriku secara utuh dan sepenuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro