Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13 | Main

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Aku tak ingin dijadikan sebagai kelinci percobaan, bisa hancur wajahku karena ulah tangan amatirnya."

Ikhlas itu akan terasa mudah jika dijalani dan dinikmati dengan sepenuh hati. Karena kala rasa itu sudah bersemayam dalam diri, In syaa Allah akan diridai Sang Illahi Rabbi. Tak usah terlalu merisaukan hal yang belum pasti, cukup ikuti alur yang sudah setia menanti.

"Maaf yah, Teh gara-gara aku Teteh harus resign," cetus Naresh tiba-tiba, dan hal itu cukup membuatku terkejut tak percaya.

"Apaan sih, gak usah melow gitu. Bukan gara-gara kamu tapi emang udah seharusnya aku tinggalin pekerjaan aku," jawabku setelah memasukkan sesuap puding cokelat yang sudah disirami susu putih.

Tadi sebelum pulang, Umi menghubungi dan memintaku untuk menyambangi beliau, serta mengambil puding cokelat kesukaanku. Dan kebiasaanku dalam mengonsumsi makanan berkadar manis tinggi itu harus ditambahkan dengan susu putih kental manis lagi.

"Bukan melow aku gak enak aja sama Teteh, pasti berat kan ninggalin kerjaan yang udah bertahun-tahun Teteh jalanin," ungkapnya dengan bertopang dagu.

Aku mengangguk mengiyakan. "Tapi ya udahlah gak papa, lagian kan cuma kerjaan aja. Buat apa sih kejar karir tinggi-tinggi? Perempuan itu emang udah seharusnya di rumah, bukan keluyuran di luar."

"Ah, Teteh mah buat aku baper dan makin sayang aja, beneran ini mah lope-lope dah," ujarnya dengan kerlingan mata jail.

Aku tersedak puding yang belum sempurna kutelan, mendengar kosakata alay yang Naresh gunakan membuat bulu kudukku meremang sekaligus takut. Lebay sekali anak itu.

"Jangan seneng dulu karena aku masih harus tetap ke kantor, soalnya kan perusahaan lagi rekrut orang baru dan otomatis harus aku ajarin dulu. Gak bisa langsung kaya tahu bulat, sekarang ajuin surat pengunduran diri terus besoknya langsung lepas tanggung jawab gitu aja," terangku yang langsung Naresh angguki.

"Berapa lama lagi emangnya?" tanyanya setelah melahap puding yang tadi sempat dianggurkan beberapa saat.

"Dua mingguan lagi mungkin," jawabku yang langsung membuat wajahnya mengkerut cemberut.

"Masih lama itu mah, Teteh masih sering ketemu Pak Tua dong," rajuknya yang malah kusambut dengan tawa renyah menyenangkan.

Melihat lelaki itu cemburu tidak jelas membuat perasaanku senang bukan kepalang. Dia tidak tahu saja bahwa Pak Bagas sudah benar-benar mengatakan mundur dan takkan lagi merecoki rumah tangga kami.

"Iya dong," jawabku usil. Sepertinya virus Naresh memang sangat berbahaya, buktinya aku sudah mulai tertular.

"Ish, aku kerem Teteh di kamar biar gak bisa ke kantor aja kalau gitu. Enak banget Pak Tua itu bisa lama-lama ketemu Teteh, panas nih hati!" ocehnya dengan tangan sibuk menggerak-gerakkan kaus seperti orang yang tengah kegerahan.

Aku menggeleng beberapa kali melihat tingkah kekanak-kanakkan Naresh. "Dua minggu mah sebentar atuh, lagian ketemu Pak Bagas juga cuma delapan jam doang, sisanya kan aku di rumah sama kamu."

Senyum lelaki itu mengembang dan tanpa tahu malu menarik tangan kiriku yang berada di atas meja. "Jangan main serong, dan main belakang yah, Teh," pintanya yang jujur saja membuatku geli bukan main.

"Naresh ... Naresh ... kamu mah ada-ada aja, tenang aku lebih suka main plants vs zombie kok daripada main serong dan main belakang," balasku dengan kekehan.

"Kuno ah, Teteh mah, ketinggalan zaman. Masa iya tahun 2020 masih main zombie, yang berkelas dikit atuh," sanggahnya tak terima.

"Bukan kuno itu teh namanya hemat, daripada main game zaman sekarang yang ngabisin kuota. Kalau ada yang gratis kenapa harus pilih yang bayar sih," selaku yang langsung Naresh balas dengan dengkusan kasar.

"Main sama aku mau?"

Keningku berlipat bingung. "Main apaan?" tanyaku penasaran.

Senyum lelaki itu terbit, dan kurasa itu senyum usil tanda siaga. "Maunya apa?"

Aku menyandarkan tubuh di badan kursi, melipat kedua tangan di depan dada dengan pandangan lurus ke atas. "Gak tahu ah bingung," jawabku pada akhirnya.

"Yuk kita main, seru tahu, Teh," ajaknya lantas bangkit dan menarik tanganku ke dalam kamar.
Dalam hati aku bertanya-tanya, tuh anak mau ajak main apaan? Kenapa harus di kamar segala.

Dia mendudukkanku di ranjang, tepat di bagian tengah, kami duduk saling berhadapan. "Teteh mau game yang gratis dan gak ngeluarin modal tapi asik, kan?" selorohnya yang langsung kuangguki.

Senyum lelaki itu merekah dengan indah, tangannya bergerak ke arah nakas dan mengambil gawai. Aku hanya menyimak dan meneliti setiap gerakan yang lelaki itu perlihatkan.

"Nah Teteh pilih mau warna apa?" Aku semakin bingung dengan arah pembicaraannya.

"Kenapa malah bahas warna sih? Sebenarnya kita mau main apa?" tanyaku tak mau mengikuti instruksi Naresh.

Dia mendengkus lantas berkata, "Main ludo king lah, Teh, tuh coba pilih mau warna apa?"

Aku melongo dan terdiam beberapa saat. Dia mengajakku ke kamar hanya untuk memainkan permainan sejenis itu? Sungguh sangat sulit untuk dipercaya.

"Kenapa gak main di ruang makan aja sih? Kan di sana juga bisa," protesku.

Naresh malah terkekeh dan mengedikkan bahu acuh tak acuh. "Mending di kamar, enak bisa sambil rebahan. Buruan mulai, Teh," sahutnya sekaligus memerintah.

Anak itu memang benar-benar. Kukira dia akan mengajak main game yang berbobot dan berkelas. Tahunya malah sangat di luar ekspektasi.

Naresh sudah mengambil ancang-ancang dan tengkurap di atas ranjang, sedangkan aku hanya duduk bersila saja. "Teteh duluan, kocok tuh dadunya."

Aku mengangguk bodoh, tapi tetap mengikuti apa pun yang dia katakan. Aku serasa tengah bermain ular tangga, permainan masa kecil yang mungkin saat ini sudah tidak lagi dikenal.

"Kamu curang ah, masa dari tadi angka dadu aku cuma satu sama dua aja. Sedangkan kamu enam mulu, ngalah dong sama istri sendiri," protesku ikut serta merebahkan tubuh sama seperti Naresh. Kami saling tengkurap dengan gawai yang menyala di tengah-tengah kami.

"Gak ada istilah suami-istri, kita harus profesional dong. Yang kalah mukanya coret pake bedak," cetus Naresh dengan tawa meremehkan, seakan dirinya yang akan keluar sebagai pemenang.

"Songong amat kamu, kalau kamu kalah kamu harus mau aku dandanin. Gak seru kalau cuma main tabur bedak di muka doang mah," ucapku dengan diiringi senyum jemawa.

"Gimana kalau Teteh yang kalah? Berarti aku bebas dandanin Teteh dong," katanya yang langsung kuangguki.

Naresh bersiul-siul senang, dan aku hanya mencoba untuk memfokuskan diri agar bisa memenangkan permainan ini. Aku tak ingin dijadikan sebagai kelinci percobaan, bisa hancur wajahku karena ulah tangan amatirnya.

"Yesss!" Aku bersorak senang saat berhasil memenangkan permainan, sedangkan Naresh bermuram durja. Ketulah omongan sendiri sih.

"Makanya jangan takabur, kalah, kan," kataku dengan gaya pongah penuh rasa bangga.

"Cuma kebetulan aja itu, ulang lagi coba," pintanya yang langsung kubalas gelengan tegas. Enak saja dia mau lari dari hukuman.

"Duduk yang tenang yah, Abang," cetusku sebelum bergerak cepat ke arah meja rias untuk mengambil alat tempur.

"Ish, giliran ada maunya aja sok baik pake panggil Abang segala. Maaf yah, Teh aku bukan abang tukang bakso yang mangkal depan komplek," sahutnya yang kubalas dengan tawa menggelegar.

"Udah jangan banyak protes, tinggal diem dan duduk manis aja," ujarku menginstruksi dan segera melancarkan aksi untuk menempelkan segala kosmetik di wajahnya.

Aku terbahak kala sudah menyelesaikan kegiatan merias wajah Naresh. Wajahnya sangat lucu, bahkan dia seperti perempuan tulen. No imitasi.

"Ngaca dulu deh, Abang Naresh cakep bangettttttttt," cetusku seraya menyodorkan cermin ke arahnya.

Dan tak lama dari itu teriakan membahana Naresh memenuhi seisi kamar, "Tetehhh!"

"Selfie dulu yuk," ajakku yang jelas langsung ditolak mentah-mentah olehnya.

"Gak mau!"

"Ish kok gitu sih. Ayo dong, Abang baik deh, cakep lagi, aku aja kalah cakep ini mah," bujukku dengan mata penuh permohonan.

Naresh berdehem pelan, dan dengan senang hati aku bersorak sorai serta langsung mengambil bingkai kami berdua. Yang pertama aku menjepret Naresh yang tengah bergaya dengan satu jari telunjuk menempel di pipi, sedang yang satu lagi foto kami berdua.

"Bagus, kan? Aku cetak yah," ucapku yang langsung Naresh hadiahi pelototan.

"Aib itu, kok malah mau dipublikasikan sih. Jahat Teteh mah, gak sayang sama aku," ungkapnya dengan memasang wajah sebal menggemaskan.

"Sayang kok, sayang banget malah, makanya cetak yah buat pajangan. Lumayan buat nakut-nakutin tikus," tuturku lantas mengambil ancang-ancang untuk kabur.

Aku bernapas lega saat sudah berada di luar kamar dan memegang kuat kenop pintu, sedangkan di dalam sana Naresh tengah berteriak-teriak meminta keadilan.

"Aku aduin Mamah sama Papah!" teriaknya persis sama seperti bocah lima tahun yang tengah merajuk karena tak diajak main oleh kawan-kawannya.

Aku semakin terbahak dibuatnya. "Bukannya kita harus jaga rahasia dapur rumah tangga kita yah? Ish gak bisa dipegang omongannya. Sekarang udah berubah lagi aja," balasku.

"Tahu ah, Teteh nyebelin!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro