10 | Gara-gara Surat Resign
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk, adanya di samping buat jadi pendamping, bukan jadi pemimpin."
Di saat hati sudah mulai ikhlas dan berlapang dada menerima, kenapa malah muncul permalasahan baru dan parahnya itu bersumber dari masa laluku. Apa jadinya jika Naresh tahu akan hal itu, hanya sekadar melihat Pak Bagas saja urat-urat lehernya sudah mengencang kuat. Apalagi jika tahu bahwa Pak Bagas masih memiliki rasa padaku. Bisa hancur lebur rumah tangga yang baru kubangun ini.
"Teteh mikirin apa sih? Perasaan dari tadi bengong aja kaya kambing yang galau mau dijadiin kurban," ocehnya saat setelah memutar stir mobil agar berbelok ke arah kanan.
"Haha ... garing!" sahutku yang malah dibalas dengan kening berlipat olehnya.
"Tuh kan aneh, Teteh gak pernah ketawa-ketawa gaje kaya gitu. Aku gak nularin virus ke Teteh kok, tapi kenapa bisa ketularan sih," cetusnya yang kusambut dengan gelak tawa menggelegar.
Naresh itu ada-ada saja kalau berbicara. Lagi pula memangnya dia memiliki virus sejenis apa hingga membuatku tertular. Memang rada-rada tuh anak.
"Ngaco kamu mah, siapa juga yang kena virus kamu. Gak ada lah," jawabku masih sesekali diiringi dengan cengiran.
Setidaknya dengan cara begini aku bisa sejenak rehat memikirkan pernyataan cinta Pak Bagas. Biarkan sajalah, lagi pula aku pun yakin beliau tidak akan nekat hingga menghancurkan rumah tanggaku. Bukan Pak Bagas banget jika dia melakukan hal tercela itu.
"Kerjaan gimana, Teh?" tanyanya dengan melirik sekilas ke arahku.
"Kok tumben tanya soal kerjaan? Biasa aja sih, cuma ya gitu lagi numpuk aja," jawabku seadanya.
Naresh manggut-manggut paham dan kembali berujar, "Papah keukeuh minta Teteh buat resign." Aku cukup tersentak dibuatnya, tapi sebisa mungkin bersikap biasa saja.
"Ya aku si gak papa kalau emang kamu minta buat berhenti kerja, tapi apa dulu alasannya. Kan kalau mau resign harus ada alasan yang jelas, supaya gampang dapet acc," sahutku pada akhirnya.
"Aku mah gak papa suka-suka Teteh aja, bebas. Cuma aku bingung kenapa Papah keukeuh banget minta Teteh buat resign," kata Naresh saat setelah menginjak pedal rem karena lampu merah tengah menyala.
"Tadi juga katanya Papah nyuruh orang dalam kenalan Papah buat ngajuin surat resign. Teteh terima gak?" imbuhnya setelah beberapa detik tak buka suara.
Aku tersedak ludah sendiri saat mendengar dengan jelas pernyataan Naresh, bahkan sampai terbatuk-batuk saking kagetnya. Tapi aku bisa bernapas lega karena akhirnya pertanyaan yang tadi sempat kubicarakan dengan Ziah terjawab juga.
"Minum, Teh, tuh ambil di dashboard," ucap Naresh dengan salah satu tangan menunjuk ke arah dasboard depanku.
"Gak usah, gak papa," tolakku cepat setelah mampu untuk menetralkan keterkejutan.
"Maju, udah hijau itu," peringatku karena Naresh tak kunjung memacu kendaraannya. Tanpa kata dia langsung kembali melajukan kuda besi beroda empat ini dengan tenang.
"Ada, Teh?" ulangnya dengan melirik sekilas ke arahku lantas kembali fokus menatap jalanan.
Aku mengangguk sebagai jawaban, lantas berucap, "Ada, tapi dirobek sama Pak Bagas." Sontak mobil yang tengah kutumpangi pun berhenti secara mendadak.
Beruntung tidak ada kendaraan lain di belakang sana, jika ada, mungkin sudah terjadi kecelakaan beruntun kali. Alhamdulillah Allah masih melindungi kami.
"Kenapa baru cerita? Tahu gitu pas tadi kita papasan aku basmi tuh orang!"
"Sabar dulu atuh, jangan ngegas gitu. Mungkin Pak Bagas gak terima karena tiba-tiba ada surat pengunduran diri. Lagian kan emang seharusnya ada omongan dulu, gak bisa tiba-tiba ngajuin kaya gitu," terangku dengan harapan bisa meredam sedikit amarah Naresh.
"Belain aja terus!"
Aku menghela napas panjang, beginilah jika manusia sudah dihinggapi rasa cemburu tanpa dibarengi dengan iman. Semua yang dituturkan sang lawan bicara akan salah saja di matanya.
"Bukan belain. Dewasa dikit dong, jangan cemburu buta kaya gitu," selaku berharap dia bisa memahami kondisiku yang serba salah ini.
"Iya tahu kok, aku kan masih bocah, gak kaya Pak Tua yang kelewat dewasa penuh wib—"
"Cukup yah, Resh! Kamu jangan kebawa emosi gitu. Bisa kan dibawa santai ka—"
"Santai Teteh bilang? Istri aku mau ditikung orang. Tahu ah, Teteh emang gak pernah ada hati sama aku!" Setelah mengatakan itu dia langsung bungkam tanpa kata.
Aku memejamkan mata lamat-lamat, berharap bisa meredam emosi yang sudah mulai membayangi. Jika saat ini dia tengah berapi-api karena diliputi amarah, aku harus bisa meredam dan mengalah. Bukan berarti mengaku salah, tapi sudah memang seharusnya.
Api jika dibalas dengan api malah akan semakin melebar ke mana-mana, alangkah lebih baiknya jika dipadamkan oleh air. Adem dan bisa membuat pikiran menjadi dingin. Dewasa. Jangan sampai meladeni Naresh.
"Ok, maaf, aku salah," tukasku pada akhirnya.
Naresh terdiam beberapa saat sampai akhirnya kembali buka suara, "Pak Tua bentak Teteh? Teteh diapain sama dia?" tanya Naresh beruntun.
Dalam hati aku bersyukur, karena dia mampu untuk mengendalikan diri secepat ini. Walau tak dapat dipungkiri bahwa gejojak emosi, serta api cemburu masih mengakar daging di hati.
Aku menggeleng dengan senyum tipis yang terbingkai. "Gak papa, kamu kenapa sih sensitif banget kalau bahas Pak Bagas?"
"Aku curiga Pak Tua masih ada rasa sama Teteh. Aku takut dia nekat ngapa-ngapain Teteh, apalagi aku gak bisa jagain Teteh selama di tempat kerja," jelasnya yang entah mengapa membuatku terenyuh sekaligus takut.
Aku merasa tersanjung dan spesial karena dia begitu menunjukkan kasih sayang dan cintanya, tapi aku takut perasaan itulah yang akan membunuh dia di kemudian hari. Tidak seharusnya dia melabuhkan hati padaku sedalam ini, sewajarnya saja.
"Istigfar dulu, tarik napas, jangan emosi gitu ah. Jangan curigaan juga, aku bisa jaga diri kok," tuturku sebisa mungkin menenangkannya.
"Teteh bisa jaga diri, tapi kalau tuh orang yang gatel ya lain lagi. Kudu dibasmi itu mah namanya!"
Aku menggeleng beberapa kali, baru kebenaran ini saja yang kuungkapkan sudah membuatnya terbakar gejolak emosi, apa jadinya jika aku berterus terang terkait ungkapan cinta Pak Bagas. Bisa terjadi perang dunia ketiga kali.
"Udahlah resign aja, aku setuju sama Papah. Kalau Teteh mau kerja, pindah ke perusahaan Papah," putusnya setelah menegak habis sebotol air mineral. Aku ngeri sendiri melihat Naresh yang tengah seperti itu.
Entah sejak kapan dia sudah berjibaku dengan air mineral tersebut, aku kurang fokus hingga tak begitu memperhatikannya.
"Iya nanti aku buat surat resign-nya, tapi gak akan cepet pasti kan harus diobrolin sama atasan dulu, mereka harus nyiapin orang baru buat gantiin posisi aku," ujarku memberi dia pemahaman dan pengertian.
Dia mengangguk dan kembali melajukan mobilnya, hal itu cukup membuatku tenang karena Naresh tak lagi diliputi emosi dan rasa cemburu yang berapi-api. "Ngomong apalagi tuh orang sama Teteh? Aku yakin gak cuma itu aja," cetus Naresh yang langsung membuatku gugup seketika.
Kebingungan seketika melanda dan membuatku bimbang antara harus memilih berkata apa adanya atau memilih untuk bercakap dusta. Ada dua kemungkinan yang bisa saja terjadi, yang pertama aku akan aman untuk sekarang tapi tidak tahu ke depannya. Tapi untuk yang kedua pasti aku akan kena cerca serta omelan. Apa yang harus kukatakan?
"Kok malah bengong sih, Teh?" tegurnya yang berhasil membuatku gagap dan gugup seketika.
Aku melirik ke arahnya yang ternyata juga tengah melihat padaku. "Berhenti dulu di depan," pintaku seraya menggigit kuku tangan. Rasa takut dan cemas kian naik ke permukaan, tapi jika tak berbicara jujur aku akan menerima imbasnya di masa yang akan datang.
Naresh menurut tanpa banyak berkomentar, dia menatapku lamat-lamat dan hal itu malah semakin membuat perasaanku campur aduk tak keruan. "Jadi?"
"Ehm ... janji gak akan marah yah?" selorohku yang langsung Naresh angguki.
Menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar dan berujar, "Pak ... Bagas ... bilang ... kalau ...," aku sengaja menggantung kalimatnya untuk melihat reaksi Naresh, "di ... dia ... su—"
"Udah gak usah dilanjutin. Cari gara-gara emang tuh Pak Tua. Udah punya bini masih aja gatel dan rusuhin istri orang!" potongnya cepat.
"Jangan marah," cicitku karena melihat dengan jelas air muka merah padam Naresh yang sudah sangat terlihat dengan jelas, rahang kokohnya mengencang dengan begitu kuat.
Dia menggeleng sekilas, memberikan senyum tipis yang terlihat sangat tulus, lantas menepuk puncak kepalaku lembut. "Gak, Teteh gak salah, buat apa juga marah sama Teteh. Yang salah si Pak Tua!" Dadaku sudah berdebar dibuatnya, takut dia akan kalap seperti tadi. Tapi untung saja tidak.
"Teteh gak usah kerja lagi, cukup jadi ibu rumah tangga aja, semua kebutuhan Teteh aku yang penuhi," katanya sebelum menginjak pedal gas untuk kembali melajukan mobil.
Aku mengangguk setuju. Lebih baik menghindari masalah, dan aku pun tak yakin akan tahan iman dan godaan jika terus bertemu dengan Pak Bagas setiap harinya. Aku ingin menikmati peran baruku sebagai seorang istri saja, hanya itu.
"Perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk adanya di samping buat jadi pendamping, bukan jadi pemimpin apalagi mesin penghasil—uang atau keturunan. Cukup aku aja, itu tugas aku, memberikan tempat tinggal yang layak dan menafkahi Teteh dengan uang yang halal," tuturnya dengan diiringi senyum mengembang.
Hatiku seketika langsung berbunga-bunga, dia memang bermulut manis, pandai menebar gombalan dan rayuan, dan kuharap hanya aku saja yang menjadi korban, tidak ada yang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro