Part 18
Pagi ini, Kak Joe begitu bersemangat. Hal yang menyebabkan ia merasa begitu adalah kepindahan kami ke rumah yang telah dibeli oleh Kak Joe. Bukan hanya Kak Joe, aku juga turut senang mengetahui hal ini, dimana aku pada akhirnya bisa menikmati jerih payah Kak Joe, ia selalu mengatakan "Untukmu, ini untukmu." Demikian ujarnya.
Ya, mungkin ia begitu naif. Entah apa alasan yang tepat untuk kelakuannya ini? Apakah karena tidak ada kasih sayang seorang ibu? Apa itu pula alasannya untuk memilihku? Tapi, aku lelaki. Hingga sekarang pun, aku ingin tahu sosok ibu Kak Joe. Atau paling tidak, aku bisa mengetahui sosok seperti apa yang ia butuhkan. Bukankah itu alasan untuk keberadaan seorang pasangan? Laksana kelima jari yang saling bertautan dengan lima jari lainnya. Mereka megisi satu sama lain hingga tanpa celah dalam sebuah hubungan.
Kami telah membawa ke luar dua koper besar milikku dan Kak Joe. "Apa tidak ada yang ketinggalan? Jangan sampai ada yang ketinggalan, Ma." Kak Joe bertanya. Aku kembali mengingat, dan benar saja, tidak ada yang tertinggal. Semuanya sudah aku persiapkan dari tadi malam, mustahil bila masih ada yang terlewat.
Kini, kondominium itu telah hampir kosong. Beberapa barang telah diangkut dari kemarin. Jadi, aku dan Kak Joe hanya perlu membawa baju-baju kami.
Aku dan kak Joe berjalan ke arah basement, menuju mobil kami yang terparkir di sana. Kemudian, kami memasukkan koper itu pada bagasi, dan setelahnya kami masuk mobil untuk berangkat ke rumah baru kami. Mobil berwarna silver milik Kak Joe mulai bergerak, keluar dari area kondomium.
Namun, saat mobil kami melewati gerbang, mataku menangkap sosok tukang becak yang pernah mengantarku dan Kak Joe pulang, Ya! Dia adalah William.
"Papa, itu William. Dia mau kemana?" tanyaku pada Kak Joe. Ia pun menoleh ke arah di mana telunjukku terarah.
"Iya, apa dia mau menemui kita? Lebih baik kita hampiri saja, Ma." Mobil Kak Joe mendekati tubuh lelaki berambut pirang itu. Kemudian, Kak Joe memanggilnya, membuat William sontak melihat ke arah mobil kami. "Kau mau kemana William?" tanya Kak Joe dari dalam mobil.
"Aku baru saja hendak berkunjung ke tempat kalian. Ternyata kalian mau pergi. Baiklah, aku pulang saja," ujar William seraya berbalik hendak pulang.
"Tunggu," pekikku. William menghentikan langkahnya. "Lebih baik kamu ikut kami, ayo masuk," tawarku pada William.
"Ke mana?" William terlalu banyak bertanya.
"Sudahlah, masuk saja," sergahku. William menurut, dan duduk di kursi belakang.
Jarak dari kondomium itu menuju rumah baru kami ternyata tidak begitu jauh, kira-kira hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit. Rumah ini juga masih dalam area New York. Mobil Kak Joe mulai memasuki halaman rumah berwarna putih itu. Entah kenapa harus putih lagi?
Rumah itu cukup besar, dengan halaman sekaligus taman yang cukup luas. Di bagian depannya, terdapat dua pilar pada sisi kanan dan kiri menopang teras. Lantai keramik yang juga berwarna putih dihiasi goresan warna hitam tertata begitu cantik. Aku dan William menatap takjub rumah ini, berbeda dengan Kak Joe yang tersenyum bangga.
"Bagaimana, Ma? Kamu suka?" Kak Joe kembali pada mode sok polosnya yang penuh takabur itu. Apa ia tidak melihat ekspresi takjub pada wajahku ini?
"Indah sekali, Pa. Apa ini istana?" tanyaku bodoh. Kak Joe terkekeh geli mendengar pertanyaanku.
"Iya, ini istana kita. Aku rajanya, kamu ratunya." Kak Joe memanglah demikian adanya. Aku laksana permaisuri dalam negeri dogeng, hingga terkadang aku merasa bahwa aku tidak pantas untuk mendapatkan pria sebaik dirinya.
Langkah kami bertiga mulai menapaki ruang pertama rumah ini—Ruang tamu—saat pintu masuk berukuran 5x6 meter itu terbuka. Aku kembali terpukau, perabotan di rumah ini telah begitu lengkap. Ruang tamunya saja begitu luas, terdapat sofa besar yang telah berada di dalam ruang tamu ini. ada juga pot besar yang terisi oleh tumbuhan sintetis yang berada pada bagian pojok ruangan. Berbagai macam lukisan pun tak luput terpampang indah pada tembok.
"Rumah kalian begitu indah," puji William yang ikut terpukau dengan rumah yang baru saja dimiliki oleh Kak Joe.
Berikutnya adalah ruang keluarga yang berbentuk lingkaran, siapa sangka untuk bagian ini ternyata berlantai dua? Terdapat balkon bulat memutar pada atasnya, serta tangga yang berada di dekat pintu belakang.
"Di sini, ada berapa kamar, Pa?" Aku penasaran. Kami hanya tinggal berdua, apa perlunya membeli rumah yang begitu besar begini?
"Sekitar lima kamar. Oh, ya! Di belakang juga ada kolam renang," ucap Kak Joe yang membuatku sontak berlari ke arah pintu yang berada di dekat tangga.
Sekali lagi, aku terpukau. Kolam renang berbentuk kotak itu begitu jernih, dan sebuah gazebo indah pada salah satu sisinya. Beberapa bunga tertanam pada sekeliling. Aku merasa ini begitu luar biasa. Aku tiada habisnya terpukau.
Setelah itu, Kak Joe menunjukkan kamar kami berdua, sedangkan William yang tak sabar itu telah menceburkan dirinya pada kolam renang. Ia begitu tidak sabaran atau mungkin cuacanya yang cukup panas?
Kamar kami begitu sederhana, tapi mewah. Maksudku, tak ada dipan bertiang ataupun sesuatu berenda di sana. Itu seperti sping bed biasanya yang berukuran double. Dalam kamar kami terdapat dua pintu. Salah satu pintu itu adalah kamar mandi, sedangkan pintu satunya adalah ruang penyimpanan pakaian yang dihiasi cermin pada tiap bagian ruangannya.
Aku menghempaskan diriku pada dipan yang lumayan empuk itu. Aku begitu merasa lega dan juga nyaman berada di sini, tiada yang berlebihan pada rumah ini. semua begitu pas dan proposional. Tanpa aku sadari, Kak Joe telah menerjang tubuhku, menindihku dengan tubuhnya yang berada di atasku.
"Rumah ini untuk kamu dan anak kita nanti. Semoga kalian akan merasa nyaman nantinya." Kak Joe menenggelamkan kepalanya pada bahuku, ia berkata demikian tepat pada telingaku. Darahku berdesir hebat dibuatnya.
"Tentu saja, kami akan nyaman. Apa lagi ini hasil jerih payah Papa. Aku sangat bersyukur memiliki kamu, Pa." Kataku.
"Kalau memang kamu senang, cium dong!" pinta Kak Joe dengan mata tertutup dan bibir yang mendekat dengan bibirku. Cukup mudah. Aku seketika itu mencium bibirnya. Sebelum aku dapat melepas bibirku dengan bibirnya. Kecupan kecil ini berubah menjadi sebuah ciuman yang lebih besar. Bibirnya menuntut, menaut dengan mulut.
Sejenak, kami melepas ciuman itu. Aku merasa begitu gila, dirinya seolah candu. Kepolosannya membuatku seolah segan 'tuk menyakiti. Aku terjebak oleh sebuah perasaan yang aku sebut kasih sayang. Ini bukanlah tentang siapa dirinya? Berapa banyak uangngya? Namun, ini tentang hati. Aku bisa apa jika hati yang memilih.
Kami berpelukan. Saling merasakan hangatnya tubuh satu sama lain. Dengan ini mungkin cinta perlahan tumbuh, yaitu dengan perhatian. Aku tak pernah memungkiri, betapa besar perhatian yang telah ia curahkan. Terima kasih tidaklah pantas, tapi aku akan membagi hidupku, memberikan dedikasi untuk semua yang telah ia beri.
"Rumah ini adalah saksi, perjuanganku. Ah, siapa sangka bila nantinya aku bisa membeli rumah? Menikahimu saja dulu seolah mimpi." Kak Joe kembali bermelankolis.
"Mimpi tidak selalu jadi mimpi, kesungguhan membuatnya jadi nyata. Itu bukan omong kosong, aku melihatnya dalam hidupku. Aku melihatmu, Pa." Aku jujur. Kak Joe seolah inspirasi untukku, kerja keras dalam satu tahun itu membuat mataku seolah dibuka paksa. Aku melihat kesuksesannya, aku melihat mimpinya, dan aku melihatnya bahagia.
Keheningan ruangan ini seolah mengerti. Aku yang dari tak tahu apa-apa, memahami betapa agungnya sebuah cinta yang dilandasi kesungguhan. Dulu, aku menganggap Kak Joe hanyalah omong kosong, siapa yang akan menikahi lelaki egois sepertinya? Nyatanya, Aku.
Sekali lagi, aku harus menelan kenyataan sebuah pernyataan, jangan menghakimi buku dari sampulnya. Sekonyong-konyong aku kembali tercerahkan, diberkati oleh cintanya. Semua orang bisa berubah oleh cinta.
***
"Kau tinggal di mana?" tanyaku pada William. Kini, kami bertiga tengah duduk bersama di ruang tamu.
"Aku tinggal di jalanan." Ucapan William sontak membuat kami terkejut. "Rumahku telah disita oleh Bank setahun yang lalu." Sebuah tanda tanya menghinggapiku. Ada apa gerangan dengan William?
"Bagaimana itu bisa terjadi?" tanya Kak Joe pula yang ingin tahu.
"Orangtuaku memiliki hutang, dan seperti yang kalian tahu. Begitulah ... aku tak ingin menceritannya." William mengusap kasar wajahnya. Menatap jendela yang begitu terang dihiasi oleh cahaya mentari.
Aku dan Kak Joe saling tatap. Kami berdua terenyuh juga melihat William. Kami bisa melihatnya, dia begitu sederhana. Pakaian yang tidak terlalu bagus, pun rambut yang seolah dibiarkan tumbuh begitu saja. ia terlihat begitu mengenaskan.
"Jangan kasihani aku, aku tak perlu belas kasihan siapapun. Kalian orang pertama yang mengaggap orang sepertiku teman, itu yang membuatku hendak mengunjungi kalian hari ini," sahut William yang begitu terlihat gundah.
"Baiklah, kamu tenang saja." Kak Joe berucap.
"Jadi, dimana becakmu? Aku tidak melihatnya?" tanyaku. Aku tak ingin curiga padanya, tapi bisa jadi dia orang jahat yang mencoba melakukan tipu muslihat.
"Sepedaku sudah hancur. Kemarin segerombol preman menyerangku karena tidur di tempat mereka. Akhirnya, becakku juga terkena imbasnya." William tampak kalut. Badannya membungkuk ke depan, sedangkan kedua tangannya menyangga kepala, khas orang yang sedang banyak masalah.
"Kebetulan sekali William, aku butuh seorang pekerja disini. Apakah kau mau bekerja di sini?" tawar Kak Joe. Aku seketika menatap Kak Joe, untuk apa ia membutuhkan pekerja? Namun, kak Joe hanya mengedipkan sebelah mata ke arahku dengan genit.
"Sungguh? Tentu, aku mau. Aku sangat butuh uang dan juga tempat tinggal, aku akan bekerja keras," seru William dengan antusias. Wajahnya menyiratkan raut antusias saat mendengar kata pekerjaan.
"Aku suka semangatmu. Untuk pekerjaan ini sangatlah sulit. Kau harus bekerja keras," jelas Kak Joe sekali lagi. Bukan hanya William, aku juga ingin tahu pekerjaan macam apa ini.
"Kau akan menjadi security sekaligus bodyguard untuk Malvin. Aku tidak ingin sampai Malvin kenapa-napa. Ingat! Jangan sampai Malvin kenapa-napa!"
Aku dan William begitu terkejut. Sungguh? Ia benar-benar mencarikan bodyguard untukku.
"Baik, aku bersedia," sahut William dengan bahagia.
Suasana lain membuatku bingung. Ah, aku jadi tidak bisa bebas. Tapi, aku memang butuh bodyguard. Aku tidak ingin kejadian pemerkosaan itu kembali terulang.
Setelah berbincang-bincang, Kak Joe tiba-tiba mendapatkan telepon dari kantornya. Aku tak tahu yang terjadi, tapi Kak Joe begitu buru-buru ke kantor. Ia mengecup keningku, iya! Ia selalu melakukannya sebelum berangkat. Sebuah membuatku seolah tidak enak. Yang membuat perasaanku tidak enak adalah Kak Joe yang membisiki sesuatu di telinga William. William tersenyum, mengangguk setelahnya.
Rumah ini terasa kembali lenggang. Ya! Seperti inilah suasana setiap Kak Joe berangkat kerja. Aku akan merasa kesepian. Sesuatu terasa tidak akan pernah lengkap tanpanya.
"Tuan, apakah Anda bosan?" tanya William begitu formal. Sekarang, ia berpakaian dengan rapi. Jas, kemeja, dan celana yang berwarna hitam dan juga putih, sangat khas dengan bodyguard. Ah, kurang. Ia harusnya juga memakai kacamata hitam.
"Ya, selalu begini. Aku bosan kalau Kak Joe nggak ada."
"Bagaimana jika kita berjalan-jalan? Saya akan menemani Anda." Tawaran bagus. Sekarang, aku memiliki seorang bodyguard. Jadi,aku tak perlu takut untuk keluar. Aku ingin menghirup udara bebas.
"Ide bagus, William. Ayo kita jalan-jalan saja."
Aku dan William pun beranjak keluar dari rumah super besar Kak Joe. Aku mengunci pintu gerbang dengan perasaan yang was-was. Mungkin akan lebih baik bila Kak Joe menyewa lebih banyak penjaga di rumah kami. Rumah sebesar itu bukannya tidak mungkin dilirik oleh para penjarah.
Tak ada destinasi. Aku selalu menyukai ruang terbuka hijau seperti Central Park. Di akhir pekan seperti saat ini, tempat ini dikunjungi oleh banyak orang. Aku senang sekali duduk pada hamparan padang rumput di sana, melihat anak-anak yang berlarian, bermain dengan bahagia.
Saat ini, cuaca begitu mendukung. Matahari begitu cerah bersinar di atas hamparan warna biru tanpa awan. Burung-burung berayun di udara, bersenda gurau satu sama lain. William pun tiada henti menceritakan ini-itu tentang New York. Ia laksana seorang guide.
"Jadi, kenapa tempat ini dinamakan Pulau Manhattan?" tanyaku bergurau.
William berpikir sejenak. Kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia mengangkat bahu tanda tak tahu. Kami lalu tertawa.
"William, bisakah kau bayangkan bagaimana anakku dan Kak Joe nanti?" tanyaku pada William. Pandanganku menatap anak-anak kecil yang berlarian, bermain bola ataupun lompat tali dan lainnya. Imanjinasiku seakan melayang.
Seorang anak? Apa memang kehadiranmu pelengkap keluarga kecil ini?Aku kembali bertanya dalam hati.
"Mungkin dia akan berhati lembut seperti kalian, dia akan belajar cara menghargai dari kedua orangtuanya. Kalau untuk wajah, mungkin akan tampan seperti Joe, karena dia terlihat yang mendominasi hubungan kalian. Tapi, aku juga akan senang bila anakmu nanti memiliki wajah menggemaskan sepertimu."
Aku kembali terdiam saat mendengar jawaban William. Ya, aku berharap anak laki-laki yang menggemaskan sepertiku. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan keluarga kami akan berjalan-jalan bersama di sini. Ya, kami akan menjadi keluarga yang bahagia nantinya.
"William, lebih kita pulang sekarang, sebab aku belum memasak. Aku takut bila Kak Joe pulang nanti tak ada makanan," ajakku pada William. Saat aku menatap jam tangan, aku baru menyadari bahwa hampir tiga jam kami menghabiskan waktu di sini.
"Baiklah, mari." William dan aku berdiri untuk beranjak dari tempat ini. Namun, saat aku berbalik untuk pergi, mataku menatap 4 orang berkemeja putih dibalut jas hitam duduk di belakangku dengan jarak sekitar 6 meter. Rambut mereka yang pirang mengkilat, mengartikan minyak rambut yang mungkin saja dioleskan di sana sebelumnya. Aku merasa mereka menatapku di balik kaca mata hitam yang mereka kenakan.
Aku dan William saling tatap satu sama lain. Tanpa sudi berpikir lama lagi, aku dan William berlalu dari sini. Namun, sekali lagi aku dibuat bingung. Keempat pria tadi mengikutiku dan William. Keringatku mulai panas dingin tak karuan. Aku tak ingin celaka. kami hanya berdua; mereka berempat.
"Jangan takut, biar aku hadapi mereka," ujar William seraya mengepalkan tangannya. Ia menggigit bibirnya sendiri seolah geram.
"Kau gila! Kita hanya berdua, sedangkan mereka berempat. Kita pasti akan kalah. Lebih baik sekarang kita lari saja." Aku segera menarik lengan William segera. Aku bertanya-tanya dalam diriku tentang siapakah gerangan mereka? Apakah mereka suruhan dari saingan bisnis Kak Joe? Jika iya, celakalah aku.
Aku dan William melesak di keramaian jalanan kota New York, banyak orang berlalu lalang di jalan saat akhir pekan. Dan ini sangat membantu, William menarikku ke samping, ternyata itu gang sempit. Kami meringkuk di sana—dibalik bak sampah—tanpa disadari oleh keempat orang tadi yang masih mencari kami di keramaian.
"Ayo, ikut aku. Aku tahu jalan pintas menuju rumahmu tanpa diketahui oleh mereka." William menarikku. Lengannya yang tegap itu dengan sigap menggenggam lenganku dengan erat. aku merasa sangat ketakutan, mataku berpendar ke segala arah.
Kemudian saat langkah kami berdua hampir keluar dari gang ini, salah seorang dari ke empat penguntit tadi hampir saja menemukan kami. Namun, William lebih sigap. Ia sudah menarik lenganku dengan kuat lagi, memelukku dengan erat agar tubuh kami dapat masuk dalam celah-celah antar bangunan. Celah itu pun tertutupi oleh bak sampah yang cukup besar hingga orang tersebut tak dapat melihatku dan William.
"Apa kalian sudah menemukannya?" tanya pria bertopi hitam yang terlihat raut tegas di wajahnya mulai mengeras. Sebuah suara dari walky talky yang dipegangnya menyiratkan bahwa ke empat orang tadi berpencar.
Aku kembali mengucurkan keringat dingin. Aku membalas pelukan erat William yang sedari tadi memelukku pula. "William, antar aku pulang! Cepat!" titahku pada William seraya menarik jas hitamnya. Orang suruhan tadi telah menghilang di persimpangan gang.
"Pasti, aku akan mengantarkanmu pulang dengan selamat." William tampak begitu yakin saat mengatakannya. Mata biru itu seolah menghipnotisku dalam sekejap. Kami keluar dengan perlahan dari celah tembok itu, mataku masih menerawang ke kanan dan kiri. Takut bila seseorang menghadang jalanku dan William. William menempatkan tubuhku pada punggungnya. Ia berkata bahwa lebih mudah membawaku lari dengan seperti ini.
Tubuh William berlari menembus keramaian, tampak beberapa orang mentap kami penuh tanda tanya. William melesat bagai angin di tengah keramaian kota. Namun, ternyata salah satu dari mereka menemukanku dan William. William yang seolah kesetanan itu kembali menyusuri gang-gang sempit, ia melompat penuh terjang melewati tembok yang cukup tinggi seolah berat badanku bukanlah hambatan baginya. Akhirnya, William berhasil membawaku pulang ke rumah dengan selamat.
Belum sempat aku bernapas lega, sesuatu kembali mengusikku. Rumah Kak Joe sudah tak terlihat seperti rumah. Melainkan terlihat seperti gedung pesta.
"Selamat ulang tahun, Malvin," ujar Kak Joe dan beberapa orang yang berada di dalam rumah ini.
Aku menganga saja menatap ruang tamu telah tersulap bagai ruang pesta. Aku melihat bunga-bunga di beberapa bagian tempat. Serta makanan yang berjejer dengan gagah. Kak Joe berlari ke arahku, memelukku dengan penuh kasih sayang. Segala ketakutanku beberapa menit lalu seolah menguap begitu saja melihat semua ini. ah, Kak Joe mengingat hari ulang tahunku.
"Semoga di hari ulang tahunmu yang ke-19 ini, kau akan diberkahi oleh kebahagiaan. Semoga hubungan kita selalu bahagia dan abadi selamanya." Kak Joe masih memelukku dengan erat. Aku bahagia sekali Kak Joe mengingat hari ulang tahunku. Kelopak ingin sekali mengeluarkan air mata rasanya.
"Terima kasih, Pa." Aku juga memeluk Kak Joe dengan cukup erat. sekali lagi, ia tahu cara membuat hatiku meleleh tidak karuan.
Kak Joe melepaskan pelukan kami. Namun, sesuatu seolah mengusiknya. Dia melihat pakaianku yang seolah baru saja diterjang angin topan. Pasti juga terdapat bau tong sampah yang disertai lalat-lalat. Ah, tidak begitu juga.
"William ..." panggil Kak Joe. William yang menundukkan kepala menghapiri Kak Joe.
"Apa yang terjadi? Kenapa Malvin bisa sampai begini? Habis dari mana saja kalian?" tanya Kak Joe pada William.
William pun menceritakan semuanya. Mulai dari perjalanan di Central Park, hingga dikejar oleh empat orang misterius. Kak Joe tampak terkejut mendengar pemaparan William. Matanya gusar meneliti lantai yang tak bernoda. Sekonyong-konyong ia mengeluarkan telepon genggam dari sakunya, berbicara serius dengan bahasa asing dengan seseorang yang tak aku ketahui.
Saat Kak Joe berhenti menerima telepon, Ia kembali memelukku. "Aku telah menyuruh orang-orangku untuk menyelidiki ini. jangan takut, Ma." Kak Joe mmemejamkan matanya seraya mengelus rambutku. Aku tahu Kak Joe pasti sedang tidak baik-baik saja setelah mendengar kabar tadi. Namun, dibalik kerisauannya, ia juga mencoba menenangkanku.
"Lupain itu, Pa. Mari kita nikmati pesta ini saja," ajakku pada Kak Joe.Kak Joe mengangguk. Musik pun diputar. Pesta dimulai. Kak Joe memperkenalkanku dengan beberapa orang yang ia bawa kemari, ternyata Kak Joe juga membawa beberapa orang yang bekerja di rumah ini, berjumlah 12 orang. Terdiri dari 3 orang pembantu, 2 supir, 4 satpam, dan 3 tukang kebun.
Aku sedikit bisa bernapas lega mendengar akan banyak orang di rumah ini. aku takkan kesepian karena ada banyak orang yang bisa aku ajak bicara. Kak Joe memang sangat pengertian, tanpa aku minta saja, ia sudah terlebih dahulu mencarikan pembantu dan pekerja lainnya. Rumah ini memang terlalu besar untuk dihuni dua orang.
Tak hanya pekerja rumah ini. Kak Joe juga membawa beberapa teman kantornya sekitar 20 orang.
Di penghujung pesta, saatnya bagiku untuk memotong kue berwarna biru laut yang dihiasi tulisan dari saus coklat mungkin.
"Buat permintaan dulu," titah Kak Joe tersenyum lembut.
Aku memejamkan mataku. Suasana seakan begitu khidmat.
Aku ingin seorang anak didalam keluarga ini, pintaku dalam hati.
Beberapa menit pun berlalu. Aku sudah kewalahan membawa melihat beberapa hadiah yang aku dapatkan. Haha padahal aku hanya melihat, William yang sibuk mengangkut hadiahku. Tak berselang lama, pesta pun usai. Aku dan Kak Joe berada di dalam kamar berdua.
"Sejak kapan Papa menyiapkan pesta ini?" tanyaku seraya membuka kado yang telah menggunung di sofa.
"Sudah lama, Ma. Ini hari ulang tahun pertamamu di usia pernikahan kita, aku ingin yang lebih meriah sebenarnya," jawab Kak Joe.
"Apa William yang mengajakku keluar tadi juga bagian dari rencana ini? jadi, Papa bisa menyiapkan pesta?" selidikku.
"Iya, tentu saja."
"Terima kasih, Pa. Pesta yang begini saja bisa membuatku bahagia. Jangan terlalu meriah juga." Aku masih sibuk membuka bungkusan warna-warni. Ada banyak hadiah mulai dari handphone, paket wisata, hingga drone. Akan aku apakan dengan hadiah-hadiah mahal macam ini?
"Ah, tidak. Tahun depan akan aku buat lebih meriah. Ngomong-ngomong, hadiahku menyusul ya, Ma," ujar Kak Joe seraya melepas dasi yang melingkar di lehernya. Ia bersiap untuk ke kamar mandi.
"Nggak apa-apa, ini aja udah cukup."
"Nggak bisa, aku ada hadiah spesial buat kamu. Setelah aku mandi, aku akan bawa kamu untuk dapat hadiah kamu. Tunggu ya, Ma." Kak Joe pun berjalan masuk ke dalam kamar mandi, menyisakan tanda tanya bagiku. Aku penasaran.
Beberapa menit kemudian, Kak Joe pun selesai mandi. Rambutnya yang begitu hitam dan halus itu basah, meneteskan air pada ujung-ujungnya. Aku segera mengambil handuk kecil, membantu Kak Joe mengeringkan rambutnya. Posisi kami saling berhadapan, mata hitam Kak Joe menatap ke arahku dengan bibir sedikit terbuka khas miliknya.
Aku sedikit tidak fokus, bahkan meski kami telah menikah, kami telah sedekat tali dan simpul, perasaan yangmeletup ini tak hilang begitu saja. Ya, aku masih merasakan hal itu saat mata kami saling bertemu. Aku mungkin telah benar-benar terperosok dalam jurang yang aku sebut jatuh cinta.
"Ma, kenapa melamun?" Pertanyaan itu sontak membuyarkan lamunanku. Aku segera tersadar seraya mengeringkan rambutnya. Aku pun selesai dari mengeringkan rambut. Namun, saat aku berbalik untuk pergi, kedua tangan Kak Joe melingkar pada dadaku.
"Terima kasih," ucapnya yang terdengar seperti bisikan.
Darahku berdesir seketika. Aku segera melarikan diri tanpa mengucap sepatah kata. Jantungku terasa dipompa dengan amat kuat. Aku tak menyangka, pernikahan ini seolah membuat perasaanku seolah semakin ditumbuhi oleh cinta. Aku semakin hanyut menyelami asmaraku. Aku menarik napasku perlahan dan mengembuskannya.
Tak berapa lama, Kak Joe keluar dari kamarnya. Ia telah rapi dengan jas dan kemeja. Ia terlihat seperti hendak ke kantor saja.
"Ayo, Ma. Saatnya kamu dapat hadiah kamu." Kak Joe menarik lenganku. Ah, pengangan tangannya saja kini terasa lain. Setiap sentuhannya seolah dapat menerbangkanku. Aku rasa memang aku benar-benar jatuh cinta.
Aku dan kak Joe masuk ke dalam mobil. Namun, bukan Kak Joe kali ini yang menyetir. Seorang supir yang telah Kak Joe bawa untuk menjadi supir itulah yang tengah menyetir saat ini. ia bernama Michael Douglas, begitulah ia tadi memperkenalkan. Kulitnya sawo matang khas asia tenggara, karena Michael dari Filipina.
"Hadianya seperti apa, Pa?" tanyaku saat mobil kami berjalan pada keramaian kota New York.
Kak Joe mendekatkan kepalanya ke arahku. Matanya memicing dengan bibir mencebil. Ekspresi paling menggemaskan yang pernah Kak Joe tunjukkan padaku. "Nanti juga tahu sendiri, Ma." Kak joe mencubit pipiku gemas, padahal aku yang harusnya merasa gemas.
"Ya udah nggak mau cerita." Aku mengedikkan bahu tanda enggan lagi bertanya. Aku tengah berada pada kondisi sok merajuk. Aku ingin tahu, meski aku nantinya juga pasti tahu. Aku hanya terlalu penasaran.
"Kenapa pake merajuk? Nah, kita sudah sampai.," kata Kak Joe saat mobil kami memasuki bangunan bercat putih yang begitu tinggi. Ini? rumah sakit?
Hadiah macam apa yang ada di rumah sakit? tanyaku dalam hati. Entah hadiah macam apa yang akan aku terima, apakah obat-obatan? Ataukah dokter? Atau seorang dokter yang akan memberiku anak.
Aku termenung sejenak. Ya! Pasti ada hubungannya dengan dokter kenalan Papa Kak Joe yang tak lain adalah Papaku juga, Om Hendra. Aku akan segera punya anak? Permintaanku tadi seakan langsung diijabah oleh tuhan. Aku dan Kak Joe segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit yang amat besar itu, menemui resepsionis untuk sekadar bertanya tentang dokter yang telah memiliki janji dengan Kak Joe.
Resepsionis tadi mempersilahkan kami untuk menemui dokter yang tak kuketahui namanya, hingga Kak Joe menggandeng lenganku untuk memasuki sebuah ruangan tanpa malu. Awalnya, pintu itu diketuk dan seseorang yang ada di dalam mempersilahkan kami untuk masuk.
Di dalam ruangan ini, terdapat seorang laki-laki seumuran Om Hendra. Wajahnya yang bersih berseri itu nampak memperlihatkan kebahagiaan di masa senjanya. Ia mempersiahkan kami untuk duduk pada sofa yang terdapat di ruangannya.
"Kau pasti Malvin, 'kan? Suami anak ini,"ujar dokter itu dengan tertawa renyah seraya menepuk bahu Kak Joe.
Aku mengangguk dan tak lupa tersenyum. Pria itu masih terkekeh seolah baru saja bertemu dengan cucunya.
"Terakhir kali kita bertemu, saat usiamu masih menginjak 5 tahun. Saat itu Viona masih berada di tengah-tengah kita." Dokter itu mengenang sosok Viona, setahuku itu nama ibu Kak Joe. Aku sendiri tak tahu banyak tentang ibu Kak Joe. Yang aku tahu hanya ibunya telah meninggal di usia Kak Joe yang masih belia.
"Tolong jangan bahas itu, aku mohon." Kak Joe tampak tak suka, enggan membicarakan perihal ibunya. Ada apa?
"Baiklah, aku minta maaf." Dokter itu tersenyum bersalah, tangannya kembali menepuk bahu kokoh Kak Joe secara lembut.
"Tidak apa-apa, tapi ada hal penting tentang kedatangan kami kemari," ucap Kak Joe, "Kami ingin segera memiliki momongan," lanjut Kak Joe.
"Iya, aku tahu itu, Hendra telah mengatakan padaku sebelumnya, tapi aku berharap kalian tak pantang menyerah karena cara ini cukup sulit untuk diterapkan di dunia medis, kebayakan janin tak bertahan lama." Dokter itu menjelaskan, aku mencoba membaca name tag yang berada pada bajunya. Nama pria itu Simon, Simon Kingsley.
Selanjutnya, dokter itu memberikan lembaran berisi prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam metode ini. ada beberapa poin yang tertera dalam lembaran itu, semuanya tampak mudah saja.
"Baiklah, nama metode kali ini adalah 'in Vitro Gamet'." Dokter Simon kembali menjelaskan.
Bersambung
hallo semua, ada yang kangen? ada yang bertanya-tanya tentang keberadaan daku? wkw btw aku lagi sibuk kerja sama persiapan buat kuliah.
oh ya, aku belum sempat ngucapin buat kalian yang lolos sbmptn :) karena aku juga lolos. buat yang belum beruntung masih ada seleksi mandiri.
kalau part ini masih membingungkan, ini karena aku males edit. udah ngantuk. kalau pingin tahu apa itu in vitro gamet, kalian bisa coba googling. :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro