Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 17

Hawa dingin Negeri Pamansyam menyapa indra perabaku. Saat ini dedaunan mulai menguning, berguguran diembus angin yang cukup dingin. Aku dan Kak Joe berjalan-jalan pada Central Park, menikmati sisa-sisa cuti Kak Joe dengan menaiki biduk kecil pada danau yang ada di sini. Airnya begitu tenang, bergerak lamban mendayu tak bertuan. Sangat cocok bagi kami yang mendamba ketenangan.

"Bagaimana? Kamu suka? Setidaknya kamu bisa menikmati suasana Manhattan, sebelum aku kembali bekerja," ujar Kak Joe seraya mendayung pelan biduk ini mengarungi air danau yang hijau kebiruan. Matanya menerawang ke dalam  air, mungkin ia sedikit segan untuk meninggalkanku sendiri di rumah nantinya.

Aku menatap wajahnya. Wajah itu selalu tersenyum untukku, membuatku tak pernah berkutik, bahkan hanya untuk menolak, aku tak berdaya. "Aku sangat suka. Ini pertama kalinya aku datang ke kota ini. aku kagum, apalagi ada kamu, Pa," tuturku.

Kak Joe masih tersenyum simpul. Ia masih setia mendayung hingga biduk ini menuju tengah danau, suasana yang begitu indah, aku menyukainya. "Aku ikut senang, kalau kamu juga senang, tapi setelah ini mungkin aku akan sibuk. Mungkin kita akan jarang bisa keluar bersama seperti ini. Bisnisku masih berkembang, doakan semoga lancar, Ma," ucap Kak Joe seraya menyunggingkan senyuman manis.

Sebuah senyuman juga turut tersungging di wajahku, mataku menatapnya penuh sayang. "Nggak apa-apa, aku akan mencoba mencari teman. Siapa tahu disekitar sini ada yang mau berteman denganku," gumamku.

"Jangan! jangan lakukan itu, Ma. Kamu belum tahu sekeras apa kehidupan di sini, mereka buas, memanfaatkan tanpa pandang bulu." Kak Joe mencoba memberiku pengertian. Aku memahami hal itu, tapi aku juga tidak bisa sendirian. Apa yang harus aku lakukan bila Kak Joe kembali sibuk? Ah, kenapa sekarang aku yang menjadi kekanak-kanakan?

"Iya, Pa. Kamu ada benarnya. Seandainya saja Wildan dan Deny tinggal di Manhattan juga. Mungkin aku tak akan kesepian," ucapku tanpa berpikir. Aku tak menyadari ternyata ucapanku membuat Kak Joe bersedih. Ia seketika menghentikan dayungannya. Kepalanya menunduk, sedangkan aku dirundung bingung.

"Maaf, maafin aku kalau dengan menikah denganku membuat kamu tidak bahagia, Ma," desis Kak Joe parau. Atmosfer di sini mulai tidak mengenakkan begitu Kak Joe mengucapkannya. Aku bersalah! Oh tidak, kalimat tadi yang seharusnya dipersalahkan.

"Bu-bukan gitu maksudku, Pa. Tentu aku bahagia. Papa udah lakuin yang terbaik, tentu aku bahagia," hiburku mencoba membuat suasana hati suamiku membaik. Namun, tatapan Kak Joe masih gusar, menyapu riak air yang membisu.

"Aku akan menyewa bodyguard, bagaimana menurutmu, Ma? Dia bisa menemani kamu selama aku bekerja, itu pun kalau Mama setuju." Raut bahagia seketika yang dikeluarkan Kak Joe, membuatku berpikir lebih dalam tentang ide bodyguard tadi. Bukan ide yang buruk. Setidaknya aku bisa keluar untuk berjalan-jalan. Aku takut kejadian pemerkosaan waktu itu terulang, begitu pula Kak Joe yang juga tak menginginkannya.

"Boleh dicoba, Pa."

Kak Joe menganggukkan kepalanya, mencoba berpikir keras dengan menerawang air danau. "Kalau gitu, mulai besok aku akan sewa bodyguard, itu pun kalau aku bisa dapat bodyguard yang tepat," seru Kak Joe membuatku terkesiap.

"kenapa besok?"

"Iya, besok aku udah mulai kerja. Maaf ya, kebersamaan kita mungkin nggak bisa sesering dulu. Sekarang, aku juga punya kewajiban untuk menghidupimu, membahagiakanmu, dan aku berusaha untuk kamu, Ma." Ucapan Kak Joe membuat sesuatu dalam hatiku luruh. Membayangkan wajahnya yang kelelahan saja begitu melankolis untukku. Aku juga harus melakukan sesuatu untuk Kak Joe, tapi apa?

Perlahan, biduk kami sampai di tepian. Kami keluar dari biduk itu. Kembali berjalan-jalan di sekitar Central Park. Taman Kota yang begitu luas ini begitu mengagumkan. Aku merasa seperti berada di sebuah kota kecil yang hijau, terdapat museum, kebun binatang, dan ruang terbuka lainnya. Apalagi weekend seperti saat ini, sebuah tanah lapang hijau dipenuhi oleh banyak orang yang bermain dan piknik.

Aku dan Kak Joe duduk pada salah satu bangku kosong yang tersedia. Kami saling bungkam, menatap pemandangan di depan kami dengan takjub. Aku melirik Kak Joe, tatapannya begitu sendu menatap ke suatu arah. Aku mencoba menelisik. Seketika, rasa bersalah merundung diriku tanpa permisi. Kak Joe tengah khidmat menatap para orang tua yang bahagia dengan anak-anak mereka. Ya, anak-anak.

Semenjak kejadian di restoran tepi Sungai Hudson saat itu, saat dimana aku menolak untuk membicarakan tentang anak-anak. Sejak itu pula Kak Joe tak lagi mengusik topik tentang memiliki buah hati. Dan kali ini, sebuah realita seolah mencibirku dengan sarkas. Tanpa perlu dijelaskan lebih jauh, aku paham betul. Kak Joe ingin memiliki anak.

"Papa," panggilku pelan.

Kak Joe yang merasa terpanggil pun menoleh. Menatapku dengan tatapan polosnya yang terasa menikam ulu hatiku. Aku tak kuasa Tuhan, ah, hatiku serasa porak poranda melihat wajahnya yang begitu polos. "Ada apa, Ma?" tanya Kak Joe yang melihat kebungkamanku.

Aku menyandarkan kepalaku pada bahu kokohnya, Kak Joe menatapku bingung. Biasanya aku selalu menolak untuk bermanja di depan umum. Kak Joe pasti merasakan sesuatu yang aneh. Sekonyong-konyong  ia meraih bahuku, menatapku lekat penuh rasa ingin tahu. "Pasti ada apa-apa, apa yang kamu pikirkan, Ma?" tanya Kak Joe memastikan.

Aku hanya bergumam. Aku bingung untuk memulai berbicara. Aku menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Saat aku merasa mulai tenang, aku mulai bicara, "Aku setuju, keinginan Papa yang ingin punya anak," desisku lemah.

Kak Joe begitu terkejut. Matanya berkilauan penuh asa. Tiba-tiba ia mendekapku erat, mencium rambutku penuh cinta. "Kamu serius, Ma? Kamu mau punya anak?" tanya Kak Joe kembali meyakinkan.

Aku mengangguk; Kak Joe semakin histeris. Histeris bahagia. Bibirnya tiada henti mengucap syukur. Aku tersenyum sendiri melihat tingkah konyolnya yang seperti anak kecil.

"Kalau begitu, minggu depan kita akan berkunjung ke dokter kenalan papaku. Kamu harus sehat, usahakan makan teratur," saran Kak Joe yang aku balas dengan anggukan patuh.

Kami pun beranjak dari taman ini, berjalan untuk kembali pulang. Saat masih di areal Central Park, aku melihat kendaraan unik, itu seperti sepeda dengan boncongan seperti becak di belakangnya.

"Itu becak, Pa?" tanyaku sedikit heran melihat kendaraan unik tadi yang tengah mangkal di areal Central Park.

"Iya, kamu mau naik, Ma?" tawar Kak Joe padaku. Tentu saja, aku akan menyambut tawaran itu dengan antusias.

"Iya, Pa. Pengen coba becak di Amerika," ucapku dengan gembira.

Kak Joe menuntunku pada salah satu becak. Kali ini, seorang pemuda pemuda berambut pirang yang akan menjadi sang pengayuh. Aku dan Kak Joe duduk di boncengan berupa tempat duduk yang hampir mirip di Indonesia, hanya saja ini terletak di belakang si tukang becak.

Saat sang Abang becak hendak mengayuh, ia terlihat sekuat tenaga untuk menggerakkan pedal sepedanya. Aku dan Kak Joe saling tatap saat melihat pemandangan tragis tersebut. Ini pasti karena tubuh Kak Joe, tubuh Kak Joe itu beban berat untuk becak ini. Tak mungkin ada ceritanya Kelinci akan membonceng Beruang. Itu mustahil.

Kak Joe pun sadar diri. Ia sedikit tersenyum melihat pemandangan ini, dimana becak kami hampir tak bergerak sama sekali.

"You can sit down, i will ride it," ucap Kak Joe pada pemuda itu.

Pemuda itu menggeleng. Ia menolak untuk duduk. Pemuda itu abang becaknya, ia pasti sungkan apabila penumpangnya yang malah membonceng. Takut tidak dibayar mungkin. Pada akhirnya, pemuda itu menyerah. Ya! Tidak ada yang betah untuk berdebat dengan Kak Joe.

Pemuda itu duduk di sampingku, tersenyum sungkan ke arahku. Aku juga membalas senyumnya.

"Are you ready?" tanya Kak Joe.

"Yesss!" teriakku seperti anak TK.

Kak Joe tanpa perlu bersusah payah segera mengayuh becak ini. Pemuda di sampingku tampak tertegun menatap Kak Joe. Ia pasti takjub dengan kekuatan manusia hijau. Becak ini berjalan menyusuri jalanan Central Park yang tak begitu ramai, dedaunan berwarna jingga berterbangan tertiup angin, menerbangkan setiap kisah yang terjadi pada musim sebelumnya.

Aku begitu senang, tersenyum sepanjang perjalanan. Namun, pertanyaan dari pemuda becak tadi membuatku seketika menoleh ke arahnya.

"May i know, what's your name?" tanyanya padaku.

"Sure, my name is Malvin. How about you?" balasku bertanya.

"I am William. Nice to meet you," salam William dengan ramah.

"Nice to meet you too," salamku balik dengan ramah.

"How about him?" tunjuk William pada Kak Joe, "Is he your friend?"

Aku menggeleng. "No, He is my husband," jawabku tanpa ragu.

William tertegun di tempatnya. Mata biru miliknya mengerjap tak percaya, bahkan bibirnya sudah melongo. "Really? Wow, He is so handsome and you are so cute. I mean you both have deserved to be a couple," puji William pada kami.

"Oh, yeah. Thanks for the compliment," seru Kak Joe di sela-sela kayuhannya yang kini mulai memasuki ruas jalan raya. Kami tetawa bersamaan saat mendengar Kak Joe yang turut menimbrung.

Perjalanan itu semakin seru saja, siapa sangka William telah berusia 21 tahun? Maksudku, kami lebih muda darinya. William begitu mudah berbaur, ia berceloteh banyak tentang Manhattan dan wisata lainnya di sini padaku. Hingga tak terasa perjalanan kami harus berakhir, kami sampai di depan gedung kondominium Kak Joe. Saat aku turun, dan Kak Joe berniat untuk membayar. William menolaknya.

"Tidak, aku bahkan yang harusnya berterima kasih karena telah mengajakku berkeliling. Kalian orang baik," ucapnya pada kami dengan bahasa Inggris.

"Oh jangan terlalu dipikirkan, ambil saja. anggap aku menyewa becakmu ini." Kak Joe memaksa William untuk menerima uang darinya. Siapa yang mampu berdebat lama dengan Kak Joe? Om Hendra saja biasanya langsung mengalah.

William menerima uang dari Kak Joe. "Terima kasih banyak, tapi ini terlalu banyak. Kau tak perlu membayar 50 dollar. 30 dollar saja sudah cukup," jawab William seraya mengembalikan 20 dollar.

"Apa masih kurang?" tanya Kak Joe, membuat William menggeleng seketika, "sudahlah, ambil saja," lanjut Kak Joe.

"Kalau ada waktu silahkan datang kemari, tempat kami ada di lantai paling atas," ujarku pada William.

"Itu pun kalau kalian sudi tempat kalian dikunjungi oleh orang biasa sepertiku," kata William merendah. Rambut pirang lurus miliknya bergerak tertiup angin.

Aku melihat ketulusan di matanya. Siapa tahu saja, kami bisa jadi teman. "Kenapa tidak? Rumah kami selalu terbuka lebar, jika kamu ingin kemari," jawabku.

Kak Joe menyenggol lenganku. Matanya memancarkan sorot peringatan. Dia memang tidak begitu suka dengan orang asing. Ditambah lagi kejadian pemerkosaanku waktu itu, ia seolah menjaga jarak dari warga lain. Aku tersenyum ke arah Kak Joe, aku meyakinkan ia untuk memercayaiku.

"Kalian begitu baik, terima kasih telah mengundangku, tapi aku tetap tidak bisa," kata William dengan gelengan kepala. Tanda penolakan.

Aku menghela napas. "Baiklah, begini saja, bagaimana kalau aku meminta nomor hapemu? Becakmu ini selalu siap, kan? Kalau aku ingin berkeliling, bisakah aku menelponmu?" tanyaku pada William. Ia mendongakkan kepala begitu mendengarnya, senyumnya mengembang dengan senang.

"Tentu, aku akan selalu siap," ujarnya antusias.

Aku mengulurkan telepon genggamku, membiarkan ia mengetikkan nomornya di sana.

"Ini, sudah." William mengembalikan telepon genggamku.

Setelah itu, ia pun berlalu dari hadapan kami, melanjutkan kembali mata pencahariannya. Aku dan Kak Joe mulai memasuki kediaman kami pula. Saat baru saja kami memasuki ambang pintu, Kak Joe tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku terkejut saat mendapati tubuhku terlilit lengan raksasa. Namun, nyatanya aku juga tidak meronta sama sekali.

"Ma, jangan pernah bosan ya untuk hidup bersamaku," desis Kak Joe lirih di telingaku. Aku mendongak ke belakang, menatap wajahnya yang begitu sendu.

"Kenapa tiba-tiba bilang gitu?" tanyaku seraya menggiring langkah kami pada sofa. Kami duduk bersama dimana tubuhku di atas pangkuan Kak Joe.

"Aku takut kamu nggak bahagia, aku ini nggak tahu apa-apa tentang cinta sebelumnya," jelas Kak Joe.

"Kalau kamu nggak tahu cinta, apa artinya kita menikah?"

"Kan, aku udah bilang sebelumnya, sebelum ketemu kamu. Setelah bertemu kamu, ada rasa aneh di dalam diriku, ingin ketemu kamu, ingin lihat senyum kamu, ingin kamu pokoknya," ujar Kak Joe seraya mengeratkan pelukannya pada tubuhku.

"Aku nggak tahu apa yang Papa sedang pikirkan, tapi satu hal yang Papa perlu tahu, aku bahagia kok. Mengingat semua kerja keras kamu untuk pernikahan kita, itu buat aku merasa dicintai, semua yang kamu lakukan ... aku nggak akan sanggup membalas, Pa." Ya! Semua hal yang telah terjadi hingga hari ini, semua berkat Kak Joe yang selalu mendampingiku. Entah butuh berapa banyak terima kasih, aku akan ucapkan itu hingga akhir hayatku bila perlu.

"Membalas apa maksud kamu? Ini sudah kewajiban aku, kan? Bukannya ini juga janji aku dulu? Aku akan bangunkan rumah untuk keluarga kecil kita, membangun pula perlahan usaha dengan jerih payahku, agar saat anak kita lahir nanti, dia bangga dengan papanya." Tubuh Kak Joe begitu hangat mendekapku. Aku hanya mampu terjerat mendengar untaian kata yang sungguh membuai akal sehatku. Siapa sangka seorang yang egois kini mampu menjadi dewasa? Aku takkan ragu lagi mengatakan pada anakku nanti, betapa hebatnya papa yang ia miliki.

Aku tersentuh. Hatiku selalu tersentuh saat mendengar ucapannya yang begitu syahdu. Ada rasa yang membuncah, melesak ke permukaan, menyirami setiap kisah dengan tetasan hangat air mata bahagia. Ah, beruntungnya aku saat aku memikirkan suamiku sendiri, suami yang kumiliki begitu sempurna. Siapa sangka perjuangan Kak Joe dulu kini membuahkan hasil? Mulai dari mendapatan aku, hingga saat ini. ia tiada pernah berhenti berusaha.

"Aku ... aku minta maaf. Mungkin aku pernah buat Papa sakit hati. Aku dulu juga sering bohong. Aku selalu bersama orang lain, dulu aku mengejar seseorang yang bahkan saat ini keberadaannya tak aku ketahui. Aku memang bodoh sedari awal. Aku merasa bersalah setiap Papa begini, kamu terlalu baik, Pa," rutukku sendu. Aku benci untuk mengatakan namanya, seseorang yang pernah membuatku patah hati, tapi berkatnya pula aku bisa bersama lelaki di depanku. Aku pun benci untuk mengatakan lagi bahwa dialah yang juga turut andil mempersatukanku dan Kak Joe.

Saat memikirkan wajahnya yang seolah hilang dalam angan, membuatkuku terlalu melankolis, hingga menciptakan tangis.

"Itu sudah dulu, Ma. Untuk apa diingat? Dulu aku terlalu berambisi untuk dapetin kamu, hahaha aku juga ingat kebodohanku dulu saat meminta dan memaksamu ini itu. Jangan menangis, kita juga pernah menjadi bodoh. Dengan menjadi bodoh, kita tahu betapa nikmatnya menjadi pandai." Kak Joe kembali berucap, menenangkanku bagai semilir angin musim gugur, Menerbangkan setiap masalahku ke angkasa.

Aku mulai sedikit tenang. Tangisku mulai reda. Kak Joe masih setia mengusap punggungku dan menenggelamkan tubuhku di pelukannya. Kini, kami tengah duduk di sofa. Ya! Dengan aku di pangkuannya.

"Duduk dulu disini sampai tenang," ujar Kak Joe padaku untuk tetap di pangkuannya hingga sisa air mataku mereda.

"Tapi, Papa nggak capek emang? Pahanya aku dudukin gini?" Kebiasaanku dari dulu. Saat aku menangis, aku akan sulit untuk kembali tenang. Kak Joe sangat tahu itu. Jadi, dia tetap memangku tubuhku, karena napasku masih terasa sesak akibat tangis tadi.

"Enggak sama sekali. Aku ini kuat," ujar Kak Joe seraya memamerkan ototnya. Aku hanya membalas dengan memutar bola, malas saat dia mulai memamerkan dirinya dengan begitu narsis.

"Iya, tahu." Aku hanya menanggapinya dengan malas.

"Ma, kamu tahu nggak? Aku pernah nyipatin lagu buat kamu." Kak Joe membisikkan kalimat itu pada telingaku, membuatku tersentak akan pernyataannya. Lagu untukku? Aku seketika menoleh ke arahnya, menatap senyum di wajahnya yang begitu naif. Aku belum tahu ada lagu yang ia ciptakan untukku.

"Aku nggak tahu, boleh aku denger?" pintaku.

Kak Joe mengangguk dengan antusias. Lengannya menggiringku menuju ruang keluarga. Tepat di dekat jendela yang menampilkan pemandangan indah kota New York, berdiri seonggok piano yang masih baru dengan cat yang masih mengkilap.

"Kamu duduk sini, dengerin lagu ciptaanku," titah Kak Joe padaku.

Aku tersenyum, mengangguk mengiyakan. Aku pun duduk di sampingnya, melihat jemari besarnya di atas tuts piano.

Ting ....

Denting melodi pertama piano itu merasuki sanubariku. Mencoba menyentuh kalbu yang terdalam, dengan sentuhan penuh makna. Melodi itu mulai bermain dengan kumpulan melodi lainnya, bergumul menjadi kesatuan yang begitu menenagkan jiwa.

Angan terdalam dari diriku yang mendamba cinta

Terjerat oleh kilau paras milikmu laksana permata

Setiap saat dimabuk bayangmu yang seolah nyata

Memikatku hingga tiada lagi selain dirimu di mata


Kekasih hati, Akankah kau sudi dengan cintaku?

Setiap waktu aku terpaku dipenuhi rasa rindu

Mengharapkan sebuah balasan atas perasaanku

Kemarilah kasih, dekap aku selama yang kau mau


Tiada habis lagi masaku untuk meminta pada tuhan

Kumohon, tuliskan namaku dan namanya berdampingan

Kuminta, Hentikan waktu sejenak bila ia dalam pelukan

Supaya dapat aku sentuh sedikit hatinya


Kekasih hati, dengarkan ratapan hatiku malam ini

Cinta sejati mana lagi yang mampu menandingi aku?

Menjadi penggemar rahasiamu pun tiada sangsi bagiku

Karena mencintaimu adalah intuisi hati


Aku masih berharap kepada tuhan

Luluhkan hatinya agar sudi menerimaku

Mimpi terindah yang menghiasi malamku

Mendekap tubuhmu dalam pelukanku


Dan membagi semua perasaan yang aku miliki

Menyatakan cinta terdalam dari lubuk hati

Aku terdiam di tempatku. Syair yang begitu mengiris. Melodi yang begitu menyayat. Aku terusik, tercibir oleh tulusnya lagu yang dibuat Kak Joe. Kenapa ia terlalu melankolis? Kenapa pula aku ini begitu jahat? Ya, lagu itu berisi tentangku, memberikan sindiran kepadaku yang tak peka.

Tanganku bertepuk tangan. Ekspresiku masih kalut, terbawa oleh suasana lagu yang membuat siapapun seakan ikut terhanyut, menyadari betapa melodramatis hidup ini, saat kita diharuskan untuk mencintai, tapi sebatas penggemar rahasia. Aku bukan manusia berhati keras, lagu itu meluluhkanku dalam sejenak. Aku merasakan cinta, hangat cinta dari lagu itu.

Kak Joe berdiri, menatapku yang tengah menitikkan air mata. Ah, perasaanku memang begitu lunak. Jemari Kak Joe menyentuh pipiku yang sudah becek oleh air yang keluar dari mataku. Aku menunduk, tak berani menatap wajahnya yang melankolis itu.

"Kenapa Mama nangis?" tanya Kak Joe padaku. Aku segera tersadar saat mendengarnya, buru-buru aku menghapus air mataku. Namun, sebelum tanganku mengusapnya, jemari Kak Joe telah lebih dulu mengusap pipiku yang telah basah oleh air mata.

"Ah, nggak apa-apa. Aku terlalu menghayati aja," jawabku yang masih terdengar parau.

Kak Joe tersenyum saat mendengar jawabanku. "Ini nih, Mama keseringan nonton sinetron," ujar Kak Joe menghakimi. Nah, padahal bukan sinetron penyebab tangisku. Namun, kata-kata dalam lagu itu yang seolah menyiratkan luka masa lalunya, harapan dan doa, membuatku seolah tak lagi kuasa untuk tidak menangis.

"Ih, aku udah lama nggak nonton sinetron, 'kan? Jadi, bukan itu alasannya," sanggahku tak terima. Memang betul, sejak sinetron india berjudul 'ular-an' yang memiliki tokoh utama Ichi dan Tasya itu tamat, aku sudah lama tidak menonton sinetron indonesia maupun luar negeri. Bahkan dialog dalam sinetron itu sempat booming, 'Demi Dewi'.

"Terus kenapa nangis?" tanya Kak Joe yang masih ingin tahu. Aku bingung, dia itu sebenarnya sudah tahu atau hanya ingin menggodaku? Aku benci digoda seperti ini.

"Udah ah, aku mau masak," Aku malas menjawab pertanyaan Kak Joe. Sepertinya ia hanya ingin menggodaku. Aku malu jika harus jujur bahwa aku menangis karena terlalu hanyut terseret arus perasaanku sendiri, tentu saja dalang utamanya adalah lagu Kak Joe.

"Baiklah kalau nggak mau ngomong, aku mau nyanyiin lagu itu lagi, Ah." Kak Joe kembali beranjak menuju piano miliknya itu. Namun, langkahnya terhenti saat aku berteriak dari tempatku.

"Jangan coba-coba nyanyiin lagu itu lagi! Nyanyi yang lain aja." Aku memperingatkannya. Aku tak ingin terbawa perasaan lagi.

Kakiku mulai menapaki lantai dapur yang begitu berwarna putih cerah. Ya! Kondominium ini begitu didominasi oleh warna putih. Hal itu membuatku seolah selalu merasa tenang saat melihat tembok dan hampir semua perabotan berwarna putih. Entah mengapa bisa demikian, apa sebenarnya yang Kak Joe inginkan dengan warna putih? setahuku warna favorit Kak Joe adalah jingga.

Saat tanganku mulai bertempur melawan bawang-bawangan, telingaku mendengar sebuah lagu yang mendayu, membuat jiwa sinetronku tergugah seketika. Kak Joe tengah menyanyikan lagu 'Dealova'. Aku seakan ingin menjerit rasanya, kenapa kenangan tiada habis-habisnya menyerangku! Ah, ini adalah lagu yang pertama kali aku dengar dari bibir Kak Joe. Suaranya yang melankolis itu begitu cocok untuk menyanyikan lagu yang sedih-sedih begini.

Bawang merah itu menggempur mataku. Pedih hati dan juga mata. Aku tersiksa sekali, oh Tuhan! Apa sih yang Kak Joe mau? Ia seolah ingin melihatku menangis dengan menjejali hati dan juga pikiranku dengan lagu yang begitu mengusik palung terdalam hatiku.

Aku mencoba sebisa mungkin untuk menghiraukannya, suaranya, melodi kelamnya yang begitu menghanyutkan. Aku juga masih harus berjuang melawan bumbu masakan. Kenapa seolah dunia ini tengah berperang untuk menghakimi air mataku?

Pada akhirnya, aku berhasil menyelesaikan acara masak-masak yang membuatku seolah ingin lari dari kenyataan hidupku sendiri. Kak Joe mulai duduk bersamaku di kursi yang tersedia di meja makan, aku pun ikut duduk di sana.

"Kamu sakit? Kenapa mata kamu kayak habis digigit semut gitu, Ma?" tanya Kak Joe seraya mengelus kulit pada mataku. Aku menunduk saja, enggan untuk menjawabnya. Aku tak akan mungkin mengatakan bahwa dialah penyebabnya, ini salahnya! Ah, tidak juga, bawang merah tadi juga ikut andil dalam hal ini.

"Iya nih, Pa. Tadi digigit semut," jawabku menyetujui ucapan Kak Joe tadi. Aku yang enggan menjawab memilih untuk menikmati makanan saja tanpa menghiraukan Kak Joe.

"Oh, gitu. Ngomong-ngomong lagu ciptaanku tadi gimana, Ma? Bagus nggak? Aku udah upload di youtibe lho. Viewers-nya sekitar sepuluh juta." Aku tersedak seketika saat mendengar jumlah viewersnya. Apa Kak Joe bercanda? Lagu itu bahkan telah mengalahkan viewers beberapa single artis dunia.

"Mama pelan-pelan dong makannya," nasihat kak Joe sambil mengelus pundakku. Ada apa dengan lelaki ini? dia mungkin saja bisa menjadi artis. Wajahnya, bakatnya, semua itu sudah cukup untuk modal keartisan Kak Joe nantinya.

"Yang bener aja, masak bisa sampai segitu?" tanyaku kembali seolah apa yang aku dengar adalah bualan.

"Iya, Ma. Cek aja di youtibe. Jonathan – Penggemar Rahasia," ujar Kak Joe. Tak menunggu waktu lama, aku segera mengecek youtibe. Dan ucapan Kak Joe memang bukanlah dusta! Video itu benar-benar ada. bahkan jumlah penontnya telah menembus 15 juta sekarang ini. Aku gemas seketika saat melihat jumlah penonton yang begitu banyak itu.

Video itu menampilkan Kak Joe yang tengah bermain piano. Aku dapat mengenali piano yang dimainkan kak Joe dalam video itu. Itu merupakan Grand Piano yang terdapat di rumah Om Hendra—Rumah lama Kak Joe—yang berada di Indonesia. Kak Joe meletakkan kamera itu dari sisi samping piano, menampilkan dirinya yang memainkan piano serta menampilkan vokalnya yang begitu serak bass.

Aku melihat tanggal pengunggahannya, dan benar saja. Video itu telah diunggah sekitar 3 tahun yang lalu, pertama kalinya Kak Joe bertemu denganku. Entah kapan Kak Joe mengecek jumlah penonton video miliknya. Namun faktanya, video itu benar-benar bagus. Tak khayal bila kini jumlahnya telah mencapai 15 juta.

***

Ketika malam mulai mengusik. Matahari telah lebih dulu menenggelamkan diri dalam dekap peraduan. Tak ada suara jangkrik yang mengerik seperti di Jakarta. Hanya ada lampu-lampu yang berpijar di luar sana dari gedung-gedung lain yang menjulang. Mobil dan kendaraan lainnya pun masih sibuk berlalu lalang, menambah cahaya dari bumi, mencibir bintang yang tak sanggup menandingi.

Kak Joe dan aku mulai mematikan semua lampu, kemudian kami mulai menuju ranjang kami untuk mulai menggapai mimpi. Aku sudah mengantuk, apalagi waktu juga telah menunjukkan telah pukul 9 malam.

"Mama," panggil Kak Joe padaku. Seperti kebiasaan Kak Joe sejak dulu, ia selalu tidur hanya mengenakan boxer. Aku bahkan telah mewanti-wantinya untuk mengenakan kaos apabila tidak nyaman dengan piyama. Namun, Kak Joe tetap memilih tidur dengan hanya menggunakan celana pendek yang lebih terlihat seperti celana dalam.

"Ada apa, Pa?" jawabku seraya memeluk guling di antara kami. Mataku telah terpejam, aku merasa tidak sanggup untuk membuka mataku.

"Mama capek?" Kak Joe kembali bertanya. Aku membuka sediki mataku. Namun, seketika aku terkejut saat melihat wajah Kak Joe yang begitu dekat dengan wajahku. Aku menelan ludah melihat kumis yang dicukurnya beberapa hari lalu, kini mulai tumbuh lagi.

"A-aku ... itu ... mmm nggak juga," jawabku terbata-bata. Kak Joe tersenyum mendengarnya, sedangkan mataku terlalu fokus terhadap bibirnya yang menyungging, menampilkan sederet gigi putih yang tampak, meski kamar kami yang cukup gelap.

"Aku nggak sabar nunggu minggu depan, kita harus segera ke dokter kenalan papaku. Kita akan berusaha bersama untuk punya anak," ujar Kak Joe dengan raut bahagia dari wajahnya. Aku yang mendengarnya bahkan turut bahagia.

"Iya, aku akan selalu berdoa untuk itu. Keluarga kecil kita ini, akan terasa lengkap dengan adanya anak, aku merasa demikian, Pa."

"Tentu saja, tapi kabar baiknya bukan hanya tentang anak. Masih ada kejutan lagi." Kak Joe mulai berteka-teki, membuatku penasaran setengah mati.

"Ada kabar baik apa lagi, Pa?" selidikku ingin tahu.

"Minggu depan, kita juga akan pindah. Kita akan pindah ke rumah yang Papa udah beli sebelumnya, karena semua surat akan selesai minggu depan. Gimana? Kamu senang, Ma?" tanya Kak Joe dengan raut bahagia.

Aku tak pernah mempermasalahkan dimana kami tinggal. Baik itu di sini, ataupun di rumah kami nantinya. Aku merasa senang, ada Kak Joe di sampingku. Keberadaanku tak akan lengkap tanpanya. "Iya, aku ikut senang dengernya. Terima kasih, Pa."

"Ah, aku senang banget. Akhirnya aku bisa beli rumah untuk keluarga kecil kita ini, semoga kamu bahagia nanti di sana, dan pelengkap kita nantinya, anak kita." Kak Joe begitu bahagia, tampak dari semangatnya yang mengebu saat bercerita ini dan itu.

"Iya, seorang anak," imbuhku setuju.

"Tapi, sebelum kita punya anak. Aku udah nggak tahan nih, Ma," ucap Kak Joe tersenyum aneh.

"Nggak tahan apa?" Entah apa yang terjadi dengan otakku, aku sendiri tidak mengerti maksudnya.

"Kita bikin ... bikinn ... anak."

Seketika aku langsung mengerti arah pembicaraan ini. "Mau berapa kali pun kamu nusuk aku, aku nggak akan hamil," ucapku sarkas.

"Nggak peduli, pokoknya malam ini, aku ingin bercinta sama kamu, Ma." Kak Joe menarik tubuhku mendekat ke arahnya. Membuat bibir kami menempel seketika. Dengan percikan api itu, terbakarlah nafsu yang memang telah menyala dalam diri manusia.

Malam itu, bulan bersaksi, "Cinta itu tumbuh dari keikhlasan, sikap saling mengerti, dan barulah kesetiaan hadir."

Bersambung

Ah, bakalan jarang update nih. flashdisku ilang. aku harus pinjam punya Kakakku dulu. tapi, dia jarang di rumah. maaf ya, setelah ini updatenya lama. nggak tahu kapan. memory cardku juga rusak, beberapa apps jadi nggak kebuka, termasuk wattpad. maaf lagi ya, untuk sementara waktu nggak bisa balas-balasan komentar.

oh ya part sebelumnya banyak yang nggak di spasi. itu keyboardnya error, harus kayang dulu buat ngasih space. wkwkwk.

Selamat membaca. dan selamat untuk yang baru selesai SBMPTN :v

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro