Part 14
Senyap antara kebahagiaan dan kehilangan ini begitu kurasakan.
Hari ini adalah wisuda untuk Kak Joe, dan hari ini pula orang tua Kak Reno akan berangkat menuju Amerika. Sesak bila aku harus bernapas dalam terpaan rasa kehilangan. Aku tak mampu lagi menahan mereka yang perlahan memutuskan pergi, aku tak mampu lagi menatap walau hanya untuk hari esok.
"Om sungguh akan pergi?" tanyaku pada Om Alfi yang sudah berpakaian rapi, bersama Tante Dewi di depan rumah mereka.
"Entahlah Malvin, Om sendiri tidak begitu yakin sebenarnya, tapi disini terlalu lama hanya membuat Om semakin larut dengan kenangan masa lalu," ujar beliau seraya tersenyum padaku. Dua buah koper besar telah berdiri di samping kami.
"Malvin pasti kesepian ...," sesalku. Aku menunduk sendu di hadapan orang tua Kak Reno, aku berharap mereka mengurungkan niatnya.
Tante Dewi berjalan ke arahku, dipeluk aku dengan lembut seolah aku ini begitu rapuh. "Tante nggak akan pernah lupain kamu, Vin. Kamu udah tante anggap seperti anak tante sendiri. jangan sedih dan terlalu dipikirkan, kalau ada waktu, kita bisa bertemu lagi," ucap Tante Dewi yang juga tengah mengusap mata sembabnya dengan selembar tisu. Kata-kata Itu hanyalah caranya menghibur, mustahil bagi mereka nanti untuk masih mengingatku.
"Malvin juga nggak akan ngelupain Om dan Tante, Kak Reno dan Kak Ba ... " aku tercekat saat hendak mengucapkan nama itu. Aku mengurungkan niatku untuk mengatakannya, " mm.. Om dan Tante jaga diri baik-baik disana ya, salam buat Kak Reno," lanjutku dengan pembicaraan yang lain.
"Iya, Vin. Selamat tinggal," salam Tante Dewi seraya melepas pelukan kami.
"Jaga diri baik-baik ya, Nak. Om akan rindu mochi buatan kamu," ucap Om Alfi pula, tangannya mengelus rambutku. Aku tersenyum kecil pada beliau.
Tak lama kemudian, sepasang orangtua telah pergi menyusul anaknya. Mobil itu berjalan menjauh dari pandanganku hingga lenyap pada persimpangan jalan. Aku tak kuasa melihat rumah dengan cat putih yang ada di dekatku saat ini. Entah siapa pemilikmu setelah ini, namun kenangan disitu takkan pernah menguap begitu saja.
Aku menatap jam tangan yang berada di lenganku, saat ini masih pukul 8 pagi. Wisuda Kak Joe juga masih jam 10. Jadi, aku putuskan untuk pulang terlebih dahulu.
Namun, saat aku telah sampai di rumah, mataku menangkap sesosok cowok chinese yang tampak ragu untuk menekan tombol bel pada pintu gerbang.
"Deny?" panggilku pada cowok itu. Ia pun menoleh dan benar saja, itu Deny.
"Malvin," sahutnya sembari berlari ke arahku, "kamu ke wisuda nggak?" tanya Deny. Ia pasti akan menghadiri wisuda Wildan.
"Iya, tapi itu masih nanti, kan? Aku mau istirahat dulu," ujarku. Aku sungguh lelah, beberapa hari ini kualitas tidurku sungguh buruk. Aku sering memimpikan Kak Reno, membuat malamku tak pernah dapat terlelap dengan tenang. Aku dihantui kegalauan sendiri, halusinasi saat aku kesepian.
"Boleh aku masuk? Aku nanti bareng kamu aja dari sini," ucap Deny.
"Boleh, masuk aja."
Bukanlah ide yang buruk untuk menerima Deny. Setidaknya, aku bisa mendapat teman agar kesepian tak lagi membayangiku, supaya pikiranku teralihkan dari Kak Reno. Aku segera membawa Deny masuk ke dalam rumahku dan disambut oleh Mama.
"Eh, Malvin bawa temen. Biar Mama siapin makanan ringan," sahut Mama saat melihat Deny masuk bersamaku.
"Nggak perlu repot-repot Tante," ucap Deny sembari tersenyum segan.
"Ah, nggak repot kok," sanggah Mama, seraya berlalu untuk mengambil beberapa kudapan.
"Duduk dulu Den." Aku mempersilahkannya duduk di ruang tamu.
Kami pun duduk dalam suasana canggung. Kenyataan bahwa aku memang tidak pernah akrab dengan Deny sebelumnya. jadi, aku tidak tahu watak dan perilakunya.
Tiba-tiba, telepon genggam pada saku celanaku bergetar. Aku mencoba melihat siapa penelponnya, ternyata Kak Joe. Aku segera meminta izin pada Deny untuk mengangkat telepon sebentar. Saat sudah agak jauh dari ruang tamu,aku mengangkat telepon Kak Joe.
"Halo, ada apa Kak?" tanyaku bingung. Kenapa ia menelponku? Bukankah ini masih pukul 8?
"Vin, aku jemput sekarang aja ya?" suara disebrang sana terdengar.
"Kenapa sekarang? Bukannya jam 10?"
"Papa ngajakin makan di restoran, kamu ikut ya? Papa mau ketemu kamu."
"Di sini ada Deny kak, dia bilang mau bareng aku ke wisuda. Masa iya aku tinggalin dia gitu aja?"
"Terus gimana dong?" tanya Kak Joe terdengar bingung.
"Kak Joe ke rumahku aja, Kita makan disini. Mama masak banyak kok hari ini," tawarku pada Kak Joe.
Kak Joe terdengar tengah berbicara pada Papanya, kemudian menjawab, "Oke, aku sama Papa kesana, ya? Tunggu aku ... bye."
"Bye," balasku.
Aku segera berlari menemui Mama. Ternyata Mama tengah asyik mengobrol bersama Deny di ruang tamu.
"Ma, Om Hendra dan Kak Joe mau kesini. Kita siapin makanannya, yuk!" seruku pada Mama.
"Hendra?" Mama tampak terkejut. "Sebentar ya Nak Deny, tante mau siapin makanan, tante tinggal dulu ya."
"Iya, Tante," balas Deny.
"Malvin, kamu temenin aja Deny disini. Biar Mama yang siapin makanannya," titah Mama padaku, kemudian beliau berlalu menuju dapur.
Aku kembali duduk di ruang tamu ditemani Deny. "Kak Joe hebat ya, dia berani ngenalin kamu ke papanya," ujar Deny padaku.
"Nanti juga Wildan ngenalin kamu ke orang tuanya," celetukku.
Raut wajah Deny tampak gusar mendengar ucapanku, kemudian ia mengumbar sebuah senyuman pahit. "Aku nggak mungkin mengharapkan itu ... orangtua Wildan nggak mungkin menerima hubungan kami," kata Deny penuh keraguan.
Sekarang aku paham, alasan kenapa Deny tak pergi bersama Wildan ke wisuda itu dan memilih bersamaku. "Jadi, bagaimana ke depannya? Apa Wildan sudah membicarakan hal-hal untuk hubungan kalian nantinya?" selidikku penuh rasa ingin tahu, aku membayangkan mereka akan kawin lari dan hidup bahagia.
"Wildan mengajakku kawin lari ...."
Betul saja tebakanku! Seperti sinetron yang pernah aku tonton. "Kamu mau kawin lari?" selidikku lagi.
"Kalau sekarang aku belum mau, tapi kalau hubungan kami semakin kuat ... mungkin ... aku mau," ucap Deny terbata-bata. Keraguan itu tampak jelas.
"Ya, Wildan mungkin saja akan melepaskan seluruh hartanya disini dan memilihmu, itu sungguh romantis," celetukku.
Kami tersenyum bersama membayangkan setiap hal yang terlintas di benak kami. Cinta itu bagai candu yang mencari mangsa. Kami hanya sekumpulan manusia tanpa pilihan. Bila cinta telah menjerat, sulit untuk terlepas.
"Kamu sendiri, bagaimana hubungan kamu bersama Kak Joe?" tanya Deny.
"Biasalah, Kak Joe selalu manja, possesif, romantis juga ... lihat aja deh nanti. Habis ini dia mau kesini sama papanya," jelasku pada Deny. terdapat secercah rasa antusias untuk membicarakan Kak Joe, kegilaannya, keegoisannya, pemikirannya yang alay, semuanya seolah membuatku ingin tertawa.
Deny tersenyum saat mendengarku bercerita tentang Kak Joe, "Kak Joe romantis ya, andai aja Wildan juga punya sisi romantis," ujar Deny sendu. Aku yang melihatnya jadi tidak enak sendiri. Meski sebenarnya tidak baik untuk membandingan pasangan kita dengan pasangan orang lain.
Aku memberanikan diriku untuk bertanya, "Memangnya hubungan kamu seperti apa?"
"Ya seperti yang kamu lihat sebelumnya, dia selalu mencumbuku seperti budaknya." Deny tampak gusar. Mungkin ia merasa bingung perihal hubungan yang ia jalani.
"Deny, setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam mencintai. Ada yang dengan bermanja-manja, dengan bermain seks seperti Kak Wildan, atau ...," ucapanku tercekat "dengan meninggalkan orang yang ia cintai." Sejenak kesedihan mendera perlahan dalam hatiku saat mengucapkannya.
"Ya, kamu benar Vin. Mulai sekarang ... aku akan mencoba menerima cara dia mencintaiku tanpa mengeluh," ujar Deny dengan tersenyum seolah ia telah menemukan jawaban dari teka-teki yang sempat mengacau pikirannya.
Tak berselang lama, suara bel rumahku berbunyi. Kak Joe beserta Om Hendra telah tiba.
"Selamat pagi Om Hendra, Kak Joe," sambutku penuh senyum bahagia.
"Selamat pagi juga Malvin," balas mereka serempak. Kedua ayah dan anak ini begitu tampak gagah pagi ini. Setelah jas beserta kemeja, dengan dasi kupu-kupu yang terkalung pada leher Kak Joe. Rambut yang ia sisir ke belakang, menampilkan wajah yang begitu indah.
Aku mempersilahkan sepasang papa dan anak itu untuk masuk dan bergabung di meja makan. Aku juga tak lupa untuk mengajak Deny makan bersama kami.
"Om udah lama nggak ketemu kamu Vin, bagaimana kabar kamu?" tanya Om Hendra beramah-tamah saat kami tengah duduk di meja makan.
Aku tersenyum dan menjawab, "Baik Om, Om juga bagaimana kabarnya?"
"Om sangat baik hari ini, terlebih lagi bisa makan malam bersama kamu dan keluarga kamu." Om Hendra begitu tampak bahagia. Tiada hentinya beliau memujiku, masakan Mama atau apalah itu.
Pembicaraan di meja makan itu semakin panjang saja, hingga sebuah pertanyaan dari Om Hendra mengusikku.
"Tinggal satu tahun hingga hari kelulusanmu, sudah siap untuk mendampingi Joe?"
Aku tersentak, seketika tersedak ayam goreng yang tengah aku makan. "Saya ...," ucapku ragu, "tergantung Mama dan Papa aja Om, kalau orangtua saya setuju untuk saya menikah dengan Kak Joe, saya juga pasti tak bisa menolak," jawabku mencoba mengelak. Aku tak tahu harus menjawab apa, setelah lulus SMA? Bukankah itu begitu cepat?
"Mama dan Papa udah bicarain ini Vin, dan kami percaya dengan Om Hendra. Beliau adalah sahabat Mama dan Papa, lagipula Joe adalah anak yang baik. Jadi, kami setuju dengan perjodohan kamu," ujar Mama tanpa pernah aku duga.
Mataku terbelalak mendengar pernyataan itu, sedangkan kak Joe terlihat begitu senang mendengar jawaban Mama. Aku dan Kak Joe adalah anak semata wayang. Bagaimana mereka bisa mendapat keturunan dengan pernikahan kami?
"Tapi, kami tidak bisa punya anak. Apa itu tidak apa-apa?" tanyaku ragu.
"Untuk itu, tenang saja. Om memiliki kenalan dokter di Amerika, disana telah ditemukan cara untuk kaum LGBT bisa memiliki anak, lebih tepatnya hanya untuk pasangan sesama cowok," terang Om Hendra penuh keyakinan. Ah! Kata Amerika itu kembali mengusikku.
"Kamu dengar itu Vin? Kita bisa punya anak," seru Kak Joe dengan senyum bahagia terukir di wajahnya. Apa ini sungguhan? Kami bisa punya anak?
"Baiklah kalau seperti itu keputusannya, Malvin nurut aja." Aku pasrah saja, aku akan mengikuti keinginan mereka. Lagi pula rasa cinta dalam hatiku telah lama pupus dan tiada harapan untuk kembali bersemi.
Begitulah makan bersama ini berlangsung dengan pembicaraan yang tak pernah terduga. Belum lama hatiku tercabik, namun wacana pernikahan ini membuat luka itu seolah semakin menganga. Aku hanya mampu menerima. jika Kak Joe adalah jodohku, maka hati ... belajarlah menerima.
Setelah makan bersama itu berakhir, kamipun bersiap untuk menghadiri wisuda Kak Joe. Kak Joe tampak begitu menawan hari ini, apalagi dengan kemeja dan jas yang telihat sangat pas dengan tubuh Kak Joe.
Saat memasuki aula tempat wisuda Kak Joe dilangsungkan. Ia segera menarik tanganku dan megaitkan lengan kami secara paksa. Aku berusaha keras agar ia melepas tanganku yang masih bertaut di lengan Kak Joe, namun itu hanya sia-sia. Pada akhirnya, aku menerima dengan setengah hati saat memasuki aula itu dengan bergandeng tangan.
Semua pasang mata tertuju pada Kak Joe yang begitu rupawan laksana bulan purnama. Sinar lelaki itu pada akhirnya juga membuatku tak luput menjadi pusat perhatian. Setiap bibir tiada hentinya berkusu-kusu tentang kami.
Aku begitu tak nyaman. Namun, Kak Joe malah tersenyum bangga dengan menggandeng tanganku. Bahkan saat tempat duduk antara wisudawan dengan para pengantar terpisah, Kak Joe memaksaku untuk duduk bersamanya.
"Kak Joe duduk di barisan sisi kanan, pengantar duduknya di sisi kiri. Kita gandengan tangannya sampai sini," seruku jengkel pada tingkah laku super manja Kak Joe.
"Aku yang ajak kamu kesini, kamu harus nemenin aku," ujar Kak Joe tak terima.
"Tapi jumlah kursinya pasti sudah pas," sahutku. Kami masih saja berdebat tanpa henti, meski tak sedikit pasang mata yang menatap kami.
"Siapa yang bilang kamu duduk di kursi, kamu duduk di pangkuanku," sahutnya tanpa kompromi lagi. Ia segera menarik lenganku secara paksa pada deret kursi kelas XII IPS 2.
Kak Joe memaksa tubuhku duduk pada pangkuannya, sedangkan aku meronta tak karuan. Sebagian orang masih menatap kami dengan tatapan bingung, ada juga berkelikik geli melihatku yang meronta di pelukan Kak Joe bagai Tari Ular.
"Kak Joe bikin kita diketawain tuh!" rutukku. Aku merengut, tak terima. Aku masih berusaha keras untuk lepas dari pelukannya.
"Kalau nggak mau diketawain, kamu diam makanya," sahut Kak Joe.
"Baiklah, aku akan duduk disini, tapi dengan satu syarat," Aku menduga, Kak Joe ini pasti dengan bahagia akan memamerkan aku di depan publik sebagai kekasihnya setelah wacana pernikahan tadi. Aku menduga, ia pasti juga akan mengajakku naik ke atas panggung nantinya.
"Apa syaratnya?"
"Jangan bawa aku ke atas panggung."
"Kenapa nggak boleh, kamu kan calon istri aku?" Lihat! Tebakanku benar.
"Emang ada gitu yang ngajak calon istri ke atas panggung? Nggak perlu diumbar juga, kan?" tuturku mencoba meyakinkan.
"Tapi, supaya mereka tahu Vin. Kita itu ibarat putik dan benang sari, kita itu ditakdirkan bersama-sama."
"Kalau cuma dikenalin, okelah! Aku akan menolerir itu. Tapi kalau ke atas panggung? Kamu pikir itu panggung pernikahan? Jangan gila Kak Joe!" protesku tak setuju. Mungkin saja nanti semua guru akan mendepak kami, apabila Kak Joe berhasil melancarkan aksinya dengan membawaku ke atas panggung.
"Baiklah, Kak Joe akan menerima syarat kamu Vin, tapi Kak Joe juga punya syarat." Aku mulai curiga, pasti sesuatu yang absurd tengah bersarang di kepalanya.
"A ... apa?" tanyaku ragu.
"Kamu harus panggil aku Papa, dan aku akan panggil kamu Mama," sahutnya polos. Seketika aku merasa ingin muntah mendengar panggilan 'mama dan papa'.
"Najis," ucapku dengan jahat.
"Kalau nggak mau, aku akan gendong kamu ke panggung saat aku ambil ijazah nanti," ancam Kak Joe yang terdengar begitu horror di telingaku.
"Aku mau pulang aja deh kalau gitu." Seketika aku kembali meronta untuk lepas dari jerat tangan Kak Joe.
"Kak Joe lebih kuat daripada kamu, udah kamu terima aja syarat Kak Joe," tawar Kak Joe. Namun, otak logisku terlanjur menolak panggilan aneh bin nyeleneh tersebut.
"Kalian kenapa ribut-ribut sih, diliatin tuh. Nggak malu? Udah duduknya pangku-pangkuan kayak gini," seru Wildan yang sedari tadi tampak terganggu dengan keributan kami yang mendebatkan hal-hal tak penting sama sekali.
"Bilang ke dia Wil, kalau uke itu harus nurut." Kak Joe mencoba mencari sekutu, sedangakan aku seolah mati kutu.
"Udahlah Vin, turutin aja mau Joe. Kamu harusnya udah kenal watak Joe itu seperti apa, kan?" ujar Wildan membela Kak Joe. Aku merengut karena tak ada yang membelaku.
"Baiklah, Kak Joe bisa memanggilku Papa," desisku lemah.
"Kamu yang Mama, aku Papa," sahut Kak Joe tak terima.
"Ya deh, terserah." Aku memang selalu kalah dalam perdebatan apapun dengan Kak Joe.
Tiba-tiba bibir kenyal mencium pipiku dengan lembut. Aku seketika menoleh dan mendapati Kak Joe tersenyum manis tanpa merasa bersalah. Aku merasa malas untuk protes, dan membalas senyuman itu.
Kak Joe melongo melihatku tersenyum ke arahnya. Seketika serangan bibir kenyal kembali mendarat, kali ini pada bibirku.
'Cup'
***
Jam tanganku menunjukkan pukul 3 sore saat Kak Joe mengantarku pulang. Ketika aku mulai membuka pintu mobil, Kak Joe menggenggam tanganku.
"Apa Papa boleh mampir?" tanya Kak Joe dengan senyum yang terkulum di wajahnya. Jangan lupakan panggilan alay itu.
"Boleh aja. Tapi, ada syaratnya ... " ujarku tertahan sebentar, membuat Kak Joe bertanya-tanya.
"Apa syaratnya?" Binar mata itu berkilau, seolah sebuah harapan masih dapat diraih.
"Papa harus pulang dulu, taruh ijazah itu di rumah. Jangan lupa untuk mandi, ganti baju, makan dulu. Baru boleh kesini ... kalau udah cakep," sergahku dengan lembut. Kali ini aku sedikit melunak untuk membiarkan dirinya memasuki hidupku.
Kak Joe menggenggam kedua tanganku. Sorot matanya menuntut, tak terima dengan persyaratan dariku, "Papa bisa lakuin itu semua disini, kan? Harusnya kan Mama bilang, 'anggap aja rumah sendiri', kenapa kamu nggak bolehin Papa melakukan semuanya disini, dengan kamu Ma," seru Kak Joe. Ia menangkup kedua tanganku dan menciumnya lembut penuh dengan kesyahduan.
Om Hendra yang sedari tadi tertawa melihat tingkah anaknya, akhirnya ikut angkat bicara, "Belum saatnya Joe, kalian belum resmi menikah. Sangat tidak baik untuk kamu terus-menerus menemui Malvin, bahkan sampai tinggal di rumahnya. Kamu bisa datang berkunjung, tapi tidak untuk menginap," tuah Om Hendra.
Kak Joe tampak tak suka saat papanya juga ikut bicara, matanya menyipit tak setuju. "Tapi Pa, kalau aku kangen Malvin gimana? Aku kan juga pengen tidur sama dia," sahut Kak Joe pada papanya.
"Kalau kangen temuin aja, jangan pake acara tidur berdua. Kalian belum resmi," jawab Om Hendra.
"Papa takut kangen aku?" tanyaku pada Kak Joe.
"Bukannya takut Ma, Papa hanya ragu buat menahan perasaan ini sendirian. Aku butuh kamu Ma," ujar Kak Joe seraya meremas dadanya.
"Kalau begitu, mana handphone Papa?"
Kak Joe menyerahkan telepon genggam miliknya padaku. Aku segera meraih telepon pintar itu dan membuka koleksi fotonya. Aku ingin memberinya sebuah foto spesial dariku.
"Papa, fotoku banyak banget disini. candid semuanya pula," kataku saat sibuk dengan melihat koleksi foto galerinya. Galeri itu dipenuhi oleh fotoku dengan berbagai pose.
Aku baru ingat, selama menjalani hubungan ini, Aku dan Kak Joe belum pernah berfoto bersama. Kak Joe hanya menyimpan fotoku yang di ambilnya secara diam-diam. Ada fotoku saat tidur, saat menjadi manajer tim basket, saat makan dikantin, dan ada banyak sekali foto paparazi lainnya yang ia simpan.
Hatiku mulai menghangat kembali, sebesar itukah kekagumannya padaku? Aku bahkan juga menemukan fotoku saat MOS dulu, itu adalah saat pertama kali aku bertemu Kak Joe.
"Maaf, Aku jadi paparazi illegal," ujar Kak Joe.
"Kalau gitu aku akan beri foto yang legal," ucapku. Aku segera membuka ikon kamera pada telepon seluler itu, dan membidik wajahku sendiri. "Sini, kita foto bareng," ujarku lagi sembari menarik lengannya mendekat. Kak Joe sempat menutup mata, tak percaya, saat kulit kami bersentuhan. Ia tersenyum bahagia.
'Ckrek', 'ckrek'.
Beberapa foto telah terambil. Kak Joe menatap foto di layar telepon itu dengan gembira. Mungkin foto itu sungguh berharga bagi dirinya yang hanya bisa mengambil fotoku secara diam-diam.
"Sekarang, Kalau Papa kangen sama aku, aku selalu ada di handphone papa. Itu foto berdua pertama kita, kan? Aku harap dengan itu ... rasa kangen Papa dapat ditahan, kalau bisa hingga kita menikah."
Kak Joe menatapku tak percaya. Matanya hampir saja menangis terharu sebelum aku mendekap tubuhnya.
"te-terima ... kasih," ucapnya terbata. Tubuhnya gemetar menahan tangisnya sendiri, "Aku nggak pernah bermimpi untuk dapat foto kamu secara langsung, tapi pada kenyataannya ...," ucapannya kembali tercekat, "Papa terlalu bahagia bisa dapat ini, terima kasih." Kak Joe merentangkan tangannya, aku segera menghambur pada pelukannya. Memeluk tubuhnya agar ia dapat tenang dengan memelukku.
"Sama-sama, aku juga banyak berhutang sama Papa. Aku selalu mengira Kamu kekanakan, tapi aku salah. Papa jauh lebih dewasa dalam perasaan daripada aku. Aku minta maaf," ucapku dalam pelukannya. Kak Joe semakin mengeratkan pelukan kami.
"Nggak Ma, Papa ikhlas untuk semuanya. Asal pada akhirnya kamu bisa untuk Papa, nggak ada penyesalan, jadi berjanjilah! Untuk selalu bersamaku Ma," pinta Kak Joe dengan terisak.
Air mata itu bagai peluru yang menghunjam hatiku. Kenapa selama ini aku begitu menyia-nyiakan pria bodoh ini? Aku tak pernah menyadari betapa besar cinta yang ia hadirkan. Mencoba merengkuh diriku dengan foto paparazi itu, mengangumi diriku yang malah memiliki perasaan pada pria lain. Ia bahkan masih rela menungguku dengan hubungan kami yang tak pernah jelas.
"Iya, aku janji," sumpahku.
Kak Joe semakin bahagia. Ia kembali memelukku makin erat, otot lengannya mengembang seolah tengah melakukan flexing. Aku tak lagi takut dengan lengan ini, karena lengan ini begitu nyaman dalam hal mendekap tubuhku.
"Papa akan berusaha keras hingga tahun depan. Papa akan buatkan sebuah rumah untukmu dan keluarga kecil kita nanti. tunggu aku, sampai aku berhasil Ma," Terdapat kesungguhan dari intonasi bicara Kak Joe. Sebuah perasaan aneh muncul, menjalar pada tiap nadiku. Hatiku kembali menghangat.
"Iya, aku akan tunggu hari itu tiba. Aku juga yakin kalau Papa pasti bisa," dukungku pada tujuannya.
Setelah itu, aku pamit untuk pulang. Sedari tadi Om Hendra manatap kami dari seat depan dengan mata sembab dipenuhi air mata haru, dengan seulas senyuman bangga pada bibirnya. Anak semata wayangnya telah memilih.
Kak Joe masih tak rela melepaskan aku. Namun, pada akhirnya ia menurut juga padaku.
"Jangan lupa satu hal, aku cinta kamu," serunya dari dalam mobil. Senyum yang tiada henti itu menggambarkan hatinya yang tengah bercahaya.
Aku hanya membalas dengan sebuah senyuman pula. Kak Joe melambaikan tangannya saat mobil itu mulai bergerak untuk berlalu dari hadapanku. Aku menatap mobil itu hingga tak terlihat pada persimpangan jalan.
Tepat di saat yang sama, hujan mulai turun. Aku segera masuk ke dalam rumahku. Ketika sampai di kamarku, aku merasa tubuhku begitu lengket, bau asam juga. Entah kenapa Kak Joe begitu betah menempeli tubuh ini? Aku pun segera memutuskan untuk mandi.
Seusai mandi, aku termenung sendiri di kamarku. Resonasi dari suara air hujan yang menabrak jendela dan atap rumahku menjadi sebuah alunan simfoniku saat ini. Terdapat banyak hal yang kuputar dalam benakku. Hujan ini seolah mengantarku pada banyak kenangan.
'Kak Reno ... aku akan belajar mencintainya mulai saat ini. Entah seberapa sulit itu, namun perasaan hangat di hatiku sulit tuk jadi munafik, aku merasa nyaman. Meski kenyataannya, apakah perasaan nyaman dapat menjadi sebuah rasa yang aku sebut cinta? Aku merasa itu adalah misteri,' batinku. Mungkinkah rasa cinta yang telah pudar, akan kembali terlukis di hatiku?
Rintik hujan itu menghiasi jendela kamarku dengan bulir-bulir yang tampak pada kaca. Aku mendapat tiga permintaan terakhir di saat hujan seperti ini, kenangan itu terasa sangat jelas. Padahal, sedari tadi pagi aku merasa telah lupa akan kesedihanku.
Baru aku sadari, sendiri dan kehilangan adalah dua hal yang tak jauh berbeda.
Aku masih melamun dan menatap jendela hingga tak terasa hari telah gelap. Aku bahkan mengabaikan panggilan Mama untuk makan malam. Aku sedang tak berselera untuk itu, aku hanya butuh waktu untuk sendiri. Aku ingin menyelami lubuk yang belum terjamah dari dalam hatiku sendiri yang belum kukenali asam garamnya.
Tanpa aku sadari, sebuah lengan sekonyong-konyong melingkar pada pinggangku tanpa permisi.
"Kenapa melamun?" tanya Kak Joe. Aku terperanjat saat melihat wajahnya yang telah berada pada bahuku tanpa aku tahu. "Hehehe, kamu melamun sampai tidak tahu ada yang masuk, kamu keterlaluan."
Aku nyengir saja saat ucapan itu memang fakta adanya.
"Kamu nggak lapar? Kata Mama kamu, kamu belum makan malam," Kak Joe kembali bertanya.
"Sejak kapan Kak Joe panggil mamaku dengan sebutan 'Mama'?" selidikku.
"Kenapa? Kan beliau juga calon mertua aku? Mulai sekarang, aku akan panggil Tante Tiara dengan sebutan Mama juga."Kak Joe kembali tersenyum bahagia.
"Oh gitu, baguslah," balasku dengan malas. Aku sekarang ini sedang tidak mood untuk berbicara. Jadi, aku menyenderkan tubuhku pada dada Kak Joe yang berada tepat di belakangku. Aku menarik kedua lengannya untuk mendekapku dengan erat.
LUAR BIASA!
Aku merasa begitu nyaman seperti ini.
"Kamu belum makan, ayo makan dulu," titah Kak Joe penuh perhatian.
Aku yang terlanjur nyaman seolah tak mendengar perkataannya, "Aku nggak nafsu makan," ujarku malas.
"Kalau begitu ikut aku,"
Tanpa persetujuan dariku, Kak Joe menarik lenganku dan membawaku entah kemana dengan mobilnya.
"Kita mau kemana?" tanyaku pada Kak Joe saat kami dalam perjalanan.
"Nanti kamu juga tahu," jawab Kak Joe. Wajahnya begitu antusias., membuatku bingung, apa rencana yang tengah mendekam di kepala Kak Joe.
Aku tak bertanya lagi, Kak Joe pun hanya diam. Sebetulnya tidak benar-benar diam, ia sibuk tersenyum sendiri dan membuatku semakin curiga.
Tak berselang lama, mobil itu berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang sangat aku kenali.
'Orchid Bakery!' pekikku dalam hati. Terlihat bangunan bercat putih dengan gaya bangunan eropa berdiri gagah di pusat kota. Ini merupakan toko roti favorit keluargaku.
"Yuk masuk," ujar Kak Joe dengan menggenggam jemariku layaknya sepasang kekasih. Aku patuh saja, saat kami berjalan menuju meja resepsionis.
"Selamat malam, ada yang bisa dibantu?" ucap resepsionis itu dengan ramah.
"Saya memesan balkon untuk digunakan malam ini, siang tadi," Aku sedikit terkejut mendengarnya, ia memesan seluruh balkon disini? Entah berapa lembar uang yang telah dihamburkan.
Terlihat resepionis itu mengecek sesuatu pada komputernya, "Dengan Saudara Jonathan Achiviera Hendra?" tanya resepsion itu.
"Betul," jawab Kak Joe.
Setelah menunggu beberapa saat, kami dipersilahkan untuk naik ke balkon. Kak Joe masih saja mengeratkan genggamannya, ia tersenyum penuh raut bahagia.
Saat aku sampai di balkon, aku melihat sebuah meja dengan tempat duduk disinari lilin yang temaram. Aku hanya dapat terpukau melihat pemandangan dari balkon ini. Kota Jakarta yang padat itu seolah bagai hiasan nyata disini. Bunga mawar pada vas juga menambah keindahan malam ini. Diluar masih saja hujan, untung sekali balkon disini terdapat penutup yang sama sekali tak mengurangi keindahan.
"Kamu suka Ma?" tanya Kak Joe.
Aku hanya mampu melihat terpukau pada bebagai macam roti dan kue kesukaanku yang telah terhidang pada meja kami. "Ini sangat luar biasa, terima kasih sekali lagi Pa."
Kak Joe mendekap tubuhku lagi, "Papa bahagia melihat Mama yang puas dengan usaha Papa ini, Mama ... ada hal penting yang harus kita bicarakan," ujar Kak Joe.
Aku melepas pelukan Kak Joe dan mendongak ke arah wajahnya yang jauh lebih tinggi dariku, menatap wajahnya yang disinari lampu-lampu balkon yang bersinar cukup redup. " Apa? Aku harap aku mendengar sesuatu yang baik. Kalau buruk ... lebih baik kapan-kapan aja bilangnya," jawabku. Aku sedang tak ingin bersedih lagi, aku curiga dengan ucapan seperti itu. Seperti yang sudah-sudah, aku takut ditinggalkan.
Kak Joe menggeleng, "Apa kamu pikir calon suamimu ini tega membuatmu sedih? Tentu saja tidak!" seru Kak Joe.
Aku menatap wajahnya yang kotak itu dengan seksama, aku ingin mendengar sesuatu yang membahagiakan saat ini.
Kak Joe menggenggam tanganku dengan yakin. Ia menarik napas dalam-dalam, matanya sibuk berpendar untuk tak tertangkap pandanganku. Bibirnya gemetar untuk mulai berbicara.
Rintikan hujan berbunyi gemericik pada telingaku, mengalun bagai dawai asmara yang membuat siapapun ikut hanyut. Dedaunan bergerak-gerak tertiup angin seolah memaksa Kak Joe untuk segera bicara.
Hingga tatapan kami bertemu. Sepersekian detik, sinar mata itu mampu membuatku seolah hanyut dalam pancarannya.
"Ma ...," Kak Joe mulai bersuara.
"Iya?" jawabku.
Kak Joe kembali menarik napasnya, mengembuskannya perlahan-lahan.
"Maukah kamu menerima Papa untuk menjadi pacar, dan sudikah tahun depan untuk menikah denganku Ma?" tanya Kak Joe. Matanya tertutup rapat seolah tak mampu melihat rautku saat ini.
Aku sedang ditembak?
"Aku ... mau," jawabku dengan sangat yakin. Aku sudah mengira ini semua akan terjadi ketika Kak Joe membawaku ke tempat yang romantis seperti ini. Jadi, aku telah menyiapkan jawabannya sedari tadi.
Mata Kak Joe kembali terbuka. Ia menatapku dengan raut tak percaya, ia segera memelukku dan memutar-mutar tubuh kami. "Malvin jadi milikku, terima kasih tuhan!" teriak Kak Joe seperti orang kesetanan. Ia tersenyum dan tertawa tiada henti seperti orang gila. Meski sejujurnya aku tak jauh berbeda, hanya saja aku menyembunyikan raut antusiasku dalam hati dan memilih jaim.
Kak Joe berhenti. Tubuhnya yang lebih tinggi sedikit membungkuk saat wajah kami begitu dekat. Kedua tangan Kak Joe menangkup pipi gembilku. Sorot matanya memancarkan kebahagiaan yang abadi. Aku begitu tersihir, aku tak berdaya.
'Cup'
Orang menyebut benda kenyal itu dengan bibir. Benda itu menempel pada sesamanya, memberikan kedamaian bila keduanya dipersatukan. Rasa dalam hati membuncah bila bibir itu kembali menghisap, melumat dengan dahsyat, bergulat, hingga keduanya tak sadar telah terjerat.
"Aku cinta kamu," desis Kak Joe lirih.
Wajahku terasa menghangat, sepertinya wajahku saat ini merona diperlakukan seperti ini. Napas Kak Joe perlahan menyapu setiap jengkal kulit wajahku, aku begitu menikmati setiap detik yang membuatku terbuai sendiri. Aku telah ingat cara untuk jatuh cinta.
"Aku cinta kamu juga," jawabku tanpa keraguan.
Lilin-lilin bergoyang padu saat angin mulai berembus, menjadi saksi bisu dimana cinta mulai tumbuh. Lantai membisu menyaksikan kami yang tak berdaya di hadapan cinta. Karena saat cinta mulai mengalun, memikat siapapun dan tak sudi untuk melepaskan.
Perasaan kami terperangkap dalam melodi kasih-sayang. Perasaan itu menari mengikuti simfoni cinta yang seakan tiada pernah berhenti.
Malam yang panjang akan kembali terulang, saat dimana aku jatuh cinta.
Bersambung
Jijay! Papa dan Mama panggilannya Joe ama Malvin... alay lu thor!
Lah, situ baru tahu kalau saya alay? tapi, bukan alay yang jadi masalah. ini hanya semacam penokohan, saya cuma ingin mempertajam karakter Joe. udah paham?
Saya ucapkan terima kasih untuk dukungan readers yang sudah berbaik hati mendukung saya. terima kasih untuk yang sudi meninggalkan jejak dengan vote kalian. saya begitu terharu hingga tiada henti mengecek notifikasi tentang siapa yang sudah vote dan komentar, terlebih yang udah follow. *cium*
Nggak suka dengan part ini? aku bisa apa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro