Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 10

Pagi menyingsing dari ufuk timur. Menelisik pada celah tirai kamarku yang menghalangi sinar itu untuk masuk dan mengusik tidurku.

Pagi itu tak ada seorangpun yang mencoba mengganggu kedamaian yang tercipta dari kamarku. Mama biasanya yang paling heboh tentang hal ini, apalagi jika aku bangun kesiangan. Tapi pagi ini berbeda, karena ini hari minggu.

Seonggok lengan masih juga menindih tubuhku seperti malam-malam sebelumnya. Pemandangan topless adalah hari-hari yang mulai biasa aku jalani. Dada bidang penuh otot itu, dan juga abs yang terukir laksana bukit-bukit, menjadi bagian-bagian yang membuatku panas dingin.

Namun terdapat satu hal yang aku benci. saat dia berpura-pura tidur dan menggesek-gesekan morning erectionnya pada pantatku. Aku seketika saja menjitak kepalanya, dasar hentai!

"Sakit Vin, jangan main jitak-jitak gitu." Keluh kak Joe sembari mengelus kepalanya yang baru saja terkena jitakan dariku.

"Kak Joe sih, geli tau nggak!" Keluhku. Tapi dia tetap tak mau melepaskan tubuhku dari dekapan keduan lengannya. Aku meronta dari pelukannya yang mengunci tubuhku tanpa ampun. Ini laksana lumpur hisap, semakin aku bergerak semakin pelukan ini membuatku menempel erat pada tubuhnya.

"Nyerah aja Malvin. Aku ini calon suami kamu." Sahut kak Joe.

"Maksudnya?" Aku kembali bertanya pada kak Joe. Otakku bahkan masih mencoba menggaris bawahi kata 'Calon Suami'. Entah apa yang ada di dalam benakku saat mendengar kata 'Suami'. Aku hanya membayangkan dimana kak Joe akan mengurungku dalam sebuah rumah dengan menghadiahkan anak-anak yang wajib aku urus. Apa kak Joe fikir menikah semudah itu? Ditambah lagi keadaan dimana kami berdua laki-laki.

"Aku akan nikahin kamu." Bisik kak Joe pada telingaku lembut. demikian pula dengan pelukannya yang menghangat. Wajah kak Joe tersenyum padaku, namun aku tak dapat membalas senyuman itu.

Aku terdiam dengan ribuan bayangan akan pernikahan menghantuiku. Beberapa pertanyaan bahkan bermunculan dalam sekejap, seperti: Apa kak Joe telah memahami apa itu komitmen? Apa kak Joe sudah dapat memahami pengorbanan? Dan apa kak Joe sudah memahami jika hubungan kami saat ini sangat tabu dalam masyarakat dan bangsa ini?

Siapkah? Bersediakah? Meluangkan waktu untuk memikirkan pasangan walau di saat yang sama kita harus memikirkan hal lain, seperti keuangan, pekerjaan, anak, dan sebagainya. Menikah bukan saja datang kepada penghulu dan para saksi berkata "Sah", melainkan ikrar dimana saling bersama dalam suka maupun duka.

"Aku rasa teralalu dini untuk ngomongin pernikahan saat ini kak." Ucapku sedikit ragu. Tentu saja, sifat kak Joe yang egois dan posesif membuatku ragu.

"Mungkin memang terlalu dini, tapi persiapin diri kamu Vin! Sebentar lagi kan kelulusan buat aku, kemudian kamu akan lulus tahun depan. Dalam kurun setahun tersebut, Aku bahkan udah siap untuk memimpin perusahaan Papa aku di Indonesia. Dalam setahun itu pula, aku akan tunggu kamu. Dan saat kamu lulus SMA, aku bahkan mungkin udah punya rumah sendiri buat keluarga kecil kita."

Terdengar sangat mudah dan menyenangkan, ia selalu membuat segalanya terasa sederhana untuk dilakukan dengan uang ayahnya yang banyak itu.

"Masih ada banyak hal yang ingin aku lakukan, aku bahkan masih terlalu muda untuk menikah." Jawabku. Mencoba membuatnya mengerti memang sulit, sifatnya yang sangat kekanakan itu apakah bisa memimpin keluarga? Bukannya aku ragu, namun kak Joe masih perlu belajar banyak tentang hidup dan membina mahligai kasih.

"Kamu bisa lakukan segalanya, kamu mau traveling? Atau melanjutkan kuliah? Kamu tenang aja Vin, kita bisa lakukan semuanya bersama. Atau kamu mau tinggal di luar negeri? Jangan risau Vin, aku bisa melakukan semua itu demi kamu." Iming-iming kak Joe. Aku menatapnya gusar, semakin gusar dengan ucapannya tentang harta. Entah bagaimana om Hendra mendidikmu kak? Tapi ada banyak hal yang tak terbeli oleh uang.

"Iyaaa, tentu saja kamu bisa. Bahkan membeli planet Mars hanya untuk resepsi kita, kamu bisa. Tapi bukan itu maksudku kak, yang aku inginkan hanya menikmati masa muda ku. Aku belum siap untuk membina sebuah hubungan ke jenjang yang lebih serius." Aku menunduk, berfikir ekstra keras untuk menjelaskan padanya, agar kak Joe dapat mengerti.

"Apa bedanya dengan kita yang sekarang Vin? Kamu tidur di sampingku, kamu temani kemanapun aku pergi, kamu selalu ada buat aku. Nggak akan berbeda Vin, kamu akan memenuhi semua kebutuhanmu, aku akan membahagiakan kamu, apalagi yang kurang?" kak Joe masih kokoh pada pendiriannya. Aku pusing sekali dibuatnya, memikirkan pernikahan yang entah seperti apa.

"Baiklah, terserah kak Joe aja. Aku mau mandi dulu." Ucapku seraya melepas pelukan kak Joe yang masih terkait pada pinggangku. Kemudian ku raih handuk yang sudah terlipat dengan rapi di bagian bawah lemariku dan masuk ke kamar mandi.

Mata kak Joe masih menatap semua pergerakanku tanpa berkedip. Entah apa yang tengah ia pikirkan, namun aku juga ingin menetapkan hidupku, menggapai cita-citaku, ada banyak hal yang aku ingin manfaatkan saat ini. Dan bahkan belum terbesit untuk menikah.

Di dalam kamar mandi ini. Aku memikirkan hal-hal berkaitan pernikahan, bayang-bayang itu masih samar dalam benakku. Bagaimana dengan hubungan seksual? Jujur saja, semenjak melihat keadaan Deny kemarin, aku sedikit ragu dengan hubungan ini. Aku juga harus melayani kak Joe setiap malam jika aku menjadi pendamping hidupnya. Tapi kak Joe bukan Wildan! Kak joe nggak akan memperlakukanku seperti itu.

Aku menyalakan shower, sekumpulan air dingin itu menetes dan membasuh tubuhku. Aku basuh pula tubuhku dengan sabun cair beraroma apel.

Cinta? Kasih? Sayang? Dan kekaguman? Apa perbedaan dari semua itu? Apa dengan itu aku dapat beralasan untuk menyakiti hatiku sendiri?

Terbesit pula wajah kak Reno. Jatungku berdetak tak karuan saat membayangkan wajahnya. Namun ia memilih untuk meninggalkanku, meski tidak sepenuhnya ia meninggalkanku. Ia hanya membiarkanku untuk merawat seseorang yang rapuh secara mental, lugu akan warna perasaannya, dan cintanya yang masih belum dapat dikenali dengan baik. Aku harus menerima hubungan dengan kak Joe, tapi menikah?

Hatiku masih terpaut untuk satu hati saja.

***

'Kemana kak Joe?' Tanyaku dalam hati. Saat aku tak menemukannya dikamarku. Aku baru saja selesai mandi dan saat kembali tak lagi terlihat batang hidung nya.

Aku segera turun ke bawah, bersiap untuk sarapan. Tak biasanya kak Joe pergi tanpa mengucap sepatah kata. Aku sendiri bahkan mulai terbiasa untuk sarapan bersamanya. Aku menemui mamaku yang tengah asik menyiapkan sarapan pagi. aku bertanya pada mamaku.

"Kak Joe kok ngilang Ma? Apa dia udah pulang?"

Mama yang mendengar pertanyaanku menoleh. Beliau melihat ke arahku."Dia nggak bilang apa-apa ke kamu Vin? Joe kan udah pulang." Jawab Mama.

'Kenapa kak Joe pulang dengan tidak mengatakan sepatah katapun?' Tanyaku dalam hati. Tapi sudahlah. Mungkin saja kak Joe ada urusan mendadak. Tapi bagaimana jika ia tak suka dengan jawabanku tentang pernikahan? Apa dia kesal? Aku hanya mengatakan apa yang ada di fikiranku. Aku bahkan tak pernah menyangka ia dapat membicarakan hal-hal berbau dewasa semacam itu.

Sarapan sudah siap. Aku berjalan ke arah meja makan dan bersiap untuk sarapan. Kali ini Mama memasak Cream Soup, Roosutokeiniku, dan apa lagi itu? Ramen?

"Ma, tumben bikin Ramen pagi-pagi? Buat siapa?" Ujarku, seraya mengambil makanan yang telah terhidang.

Seharusnya memang bukan hal aneh jika Mama memasak ramen. Namun ia selalu melarangku untuk makan ramen di saat sarapan. Dan lihat sekarang! Mama malah memasak Ramen.

"Itu buat Reno." Jawab Mama. Tumben Mama jadi perhatian ke kak Reno? Emang sih Ramen buatan Mama adalah kesukaan dari kak Reno. Tapi Mama selalu membuatkan Ramen ketika ada kak Reno, ini kak Reno-nya nggak ada malah dibikinin.

"Tumben?" Selidikku ingin tahu.

"Kamu nggak tahu? Ada apa sama Reno?" Cibir Mama.

"Nggak tahu Ma! Ada apa sih emangnya?"

"Haduh, Vin. Kamu itu temen macam apa sih? Masak temen kamu lagi sakit, kamu nggak tahu." Mama menghakimi.

Aku tersentak. Akibatnya cream soup yang aku makan tadi membuatku terbatuk-batuk. "Mama bohong ya? Orang tadi malem aku habis keluar sama kak Reno?" Selorohku tanpa pikir lebih panjang.

"Apa? Jadi kamu keluar sama Reno? Kamu bilang kerja kelompok? Ternyata kamu udah berani bohongin Mama ya Vin?"

Astaga! Apa yang baru saja aku katakan? Ini pertanda buruk. Sangat buruk bahkan. Mama menatapku dengan serius. "Nggak. nggak. maksud Malvin itu, ketemu kak Reno waktu lagi kerja kelompok." Ucapku mencoba berdusta.

"Mama nggak percaya. Kalau kerja kelompok ketemu Reno, itu berarti kamu segaja ketemuan. Bukan kerja kelompok. Mama akan hukum kamu karena udah berani ngebohongin Mama." Ujar Mama. Aku begidik ngeri membayangkan hukuman lamaku, dimana aku harus membersihkan WC atau dihukum memasak bersama mbok Sumi. Mbok selalu saja membicarakan tukang sayur bernama mas Galih yang ganteng, atau tukang kebun tentangga sebelah yang bernama mas Bejo. Itu membuatku tak betah untuk memasak bersama mbok Sumi.

"Ampun Ma, ampun. Janji nggak akan ulangin lagi. Tapi jangan dihukum." Bujukku pada Mama.

"Nggak bisa. Sekali berbuat salah harus dihukum." Jawab Mama dengan tegas.

"Oke, apa hukumannya?" Aku menyerah.  Karena sepertinya sudah tidak mungkin akan mendapatkan ampunan dari Mama.

"Kamu harus gantiin Mama buat masak selama seminggu ini. Kamu paham? Papa juga akan pulang. Tapi Mama juga harus pergi besok. Jadi Mama mau kamu masakin buat papa besok."Ucap Mama. Aku memasak? Sebenarnya tidak masalah.

"Kenapa harus Malvin? Kan ada mbok, ma? Lagian aku kan cowok, masak aku harus masak?" Celotehku tak ingin begitu saja menerima hukuman dari Mama. Cowok? Masak? Ini bukan zaman siti nurbaya! zaman siti nurbaya juga belum tentu ada ceritanya cowok lagi masak.

"Emang kenapa? Yang penting kamu bisa masak, kan? Nggak penting kamu cowok atau cewek. Yang penting cita rasanya. Dan mbok disini tugasnya bukan buat masak. Tapi bantuin urusan rumah tangga, Malvin. Kamu kan udah mama ajarin masak, itu supaya kita nggak terlalu ngrepotin mbok. Kamu nggak boleh manja-manja gitu. Kasihan Mbok nanti." Jawab Mama.

Aku merengut tak terima di meja makan. Aku baru tahu alasan kenapa Mama mengajariku masak sedari kecil. Ternyata ini tujuannya. "Baiklah Ma." Ucapku pasrah.

"Oh ya, nanti anterin makanannya ke rumah Reno. Terus jangan lupa buat masakin Reno makanan kesukaannya sampai dia sembuh. Mama jadi nggak enak sama Tante Dewi. Gara-gara anak Mama, anak tante Dewi jadi sakit gini." Ujar Mama yang rasa-rasanya masih belum cukup memberikan hukuman padaku.

"Kenapa juga gara-gara Malvin? Orang tadi malem kak Reno nggak kenapa-napa kok. Mungkin aja dia masuk angin waktu pulang setelah nganterin Malvin." Sahutku tanpa menyadari apa yang sudah aku katakan.

"Nah itu! Dia nganterin kamu juga? Astaga Malvin! Pokoknya Mama nggak mau tahu ya, kamu harus rawat itu Reno. Biar tante Dewi bisa ikut Mama sama temen-temen yang lain  pergi, kamu harus tanggung jawab." Mama masih saja memojokkanku. Membuatku semakin bingung untuk hendak berucap dan menyanggah perkataan Mama. Tapi yang dikatakan Mama benar adanya. Ini semua salahku.

"Iya Ma, Malvin akan rawat kak Reno sampai sembuh."

Aku segera menyelesaikan sarapanku dan bergegas mengunjungi kediaman seorang pangeran. Ya! Pangeran tanpa mahkota yang tengah terkapar tak berdaya disana. Aku berjalan menyusuri jalanan komplek yang memang tak pernah sibuk. Mungkin karena penghuninya yang tak terlalu senang untuk bersosial satu sama lain.

Aku sampai di depan rumah bercat putih yang cukup indah. Tampak seonggok motor yang kemarin malam berjuang bersama membela keadilan Deny. Ah! Kenapa aku harus mengingat hal itu lagi? Lupakan segala hal tentang cowok tak tahu diri itu. Dia bahkan dengan suka rela menyerahkan tubuhnya pada Wildan.

Aku menggeleng. Mengusir bayangan kemarin malam. Aku kembali menatap panci ramen di tanganku. Apa di jepang orang sakit makan ramen? Mungkin saja. Tapi kali ini berbeda, Mama membuatkan kak Reno Ramen karena makanan ini merupakan makanan kesukaan kak Reno. Setiap kak Reno berkunjung ke rumahku, kak Reno selalu memuji dan menghabiskan Ramen buatan mama. 2 sampai 3 mangkuk ramen pun tak luput, ludes diterjang oleh kak Reno. Aku akui Mama memang ahlinya dalam hal Ramen.

Aku menghela nafas. Kemudian memencet bel pada pintu gerbang kak Reno. Tak berapa lama kemudian seseorang membukakan pintu. Aku membelalakkan mataku. Disana berdiri pria berjas hitam seperti bodyguard. Seingatku dulu, saat aku berkunjung kesini yang membukakan pintu adalah mbok Darmi, pembantu di rumah kak Reno.

"Selamat pagi. Ada perlu apa?" Sapanya dengan formal.

"Selamat pagi juga. Saya hendak bertemu kak Reno." Ucapku.

"Tuan Reno sedang sakit. Dia tidak bisa bertemu siapapun." Sahut pria aneh di depanku. Tiba-tiba saja dia hendak menutup pintu pagar tanpa ijin. Aku segera memegang pagar itu agar tidak ditutup olehnya.

"Apa-apaan ini? Aku mau bertemu kak Reno!" Teriakku kesetanan mencoba mempertahankan pintu gerbang itu agar tetap terbuka.

"Pergi! Tuan Reno tidak ingin bertemu siapapun!" Kami saling beradu dengan pintu gerbang yang menjadi korban kebrutalanku dengan pria aneh itu.

"Buka!"

"Tidak akan!" Pria itu mendorongku ke belakang dengan keras. Hingga tubuhku terpelanting dan menabrak mobil yang baru saja terpakir dengan indahnya di depan pintu gerbang.

'Duggg'

Kepalaku terbentur mobil tadi. Sedangkan panci berisi ramen yang ku bawa tumpah dengan tragis, tergeletak di atas tanah . Pria yang mendorongku tadi bukannya menutup pintu namun malah terbelalak menatap ke belakangku.

"Malvin." Seseorang menyebut namaku. Aku menatap ke belakang dan mendapati seorang om tampan berjalan ke arahku. "Kamu nggak apa-apa?" lanjut beliau. Om ganteng satu ini bernama Om Alfi, beliau ini adalah ayah dari kak Reno. Rambutnya yang rapi ditarik ke belakang, serta hidung mencuat laksana pisau dapur itu membuat ketampanan yang ia miliki mirip dengan kak Reno.

Iyalah, bapaknya.

"Nggak apa-apa om. Tapi..... hwaaaa..." Teriakku histeris. Air mata seketika meleleh saat melihat panci ramen yang terbalik oleh kekejaman pria aneh itu.

"Tenang Vin, tenang. Ada apa?" Tanya om Alfi padaku. Aku seketika menunjuk panci yang telah terguling manja. "Oh itu, tenang aja. Kita bikin lagi aja yuk di dalem. Jangan nangis." Ucap om Alfi menyeka air mataku. Kenapa anak sama bapak kelakuannya sama-sama bikin baper? mereka berdua sama-sama ganteng, sama-sama baik.

Om Alfi menuntunku untuk berdiri dan masuk ke rumah. Namun sebelum itu terjadi. Om Alfi menatap tajam ke arah pria yang sudah menjorokkan tubuhku tanpa belas kasih itu. "Kamu dipecat." Seru om Alfi.

Aku seketika tersenyum dengan bangga dan menghadiahi pria itu dengan juluran lidah (Baca: Mengejek). Sungguh tak disangka, sikap om Alfi yang manis itu juga memiliki sisi yang begitu tegas.

"Kamu tumben main kesini Vin? Ada apa?" Tanya Om Alfi saat kami duduk di ruang tamu.

"Saya mau jenguk kak Reno om. Saya dengar kak Reno sakit. jadi saya kesini." Ucapku apa adanya.

"Sungguh? Om belum tahu kalau Reno sakit. Om baru pulang dari Singapura. Tapi bentar, biar om lihat ke kamar Reno dulu." Om Alfi berdiri dari tempat duduknya. Beranjak dari tempat dimana kami mengobrol saat ini dan berjalan ke lantai atas. Kamar kak Reno memang ada di lantai 2.

Tak berselang lama. Seorang perempuan yang seumuran dengan Mamaku tampak menuruni tangga. Aku tahu itu adalah tante Dewi. Beliau melihatku yang tengah duduk di ruang tamu. Namun sesuatu yang aneh tengah terjadi. Tante Dewi membawa 2 koper? Jangan-jangan.. apa yang dibicarakan Mama tadi?

"Malvin, kamu sudah datang? Hmm mbok Darmi ini gimana kok Malvin nggak dibikinin minum." Ucap tante Dewi yang terlihat repot dengan kopernya dan seketika memanggil mbok Darmi dan meminta mbok Darmi untuk membuatkan aku minum.

"Njeeh, Nyonya." Jawab mbok Darmi dengan logat daerah. Kemudian mbok Darmi berlalu ke Dapur.

"Tante seneng banget, kamu bakal jagain Reno. Kamu pasti udah denger kan dari Mama kamu, kan? kami mau pergi. sebetulnya besok, tapi kami sudah packing dan bersiap untuk ke hotel hari ini." seru tante Dewi. Astaga! Aku mengira mama hanya bercanda soal bepergian bersam teman-temannya itu itu. Tapi...

"Ah, itu. Hehehe." Aku hanya cengengesan dan tak tahu harus menjawab apa. Ide soal merawat kak Reno? Itu sungguhan?

Tiba-tiba saja seseorang berlari dengan tergopoh-gopoh menuruni tangga. "Malvin!" Kak Reno memanggilku. Wajahnya yang pucat itu menampilkan ekspresi terkejut seolah tak percaya melihatku yang tengah duduk di kursi ruang tamu rumahnya.

Aku bangkit dari tempat dudukku. Aku menatap pria yang tengah dirundung sakit itu. Ah, itu juga karena aku. Seandainya saja....

"Kamu sedang apa disini? Ah, maksudku apa kamu menjengukku?" Kak Reno tampak salah tingkah disana.

Sebelum aku menjawab itu, mbok Darmi muncul dari Dapur dan membawakan segelas minuman untukku. "Silahkan di Minum mas." Ujar mbok Darmi ramah.

"Makasih Mbok." Jawabku. Kemudian mbok Darmi berlalu dan aku siap berbicara tentang suatu hal.

"Aku dengar kak Reno sakit. Dan tante Dewi juga ada urusan sama Mama. Jadi kalau diizinkan, Malvin bersedia merawat kak Reno. Lagipula ini kesalahan Malvin. Malvin akan sangat keberatan kalau tante Dewi sampai batal pergi karena kak Reno yang sedang sakit." Selorohku sembari menampilkan senyum terbaikku.

Kak Reno melihat dengan tatapan tak percaya ke arahku. Entah apa yang ada difikirannya, tapi aku akan merawatnya. Ini hukuman dari Mama. Dan aku tak ingin jadi anak yang durhaka.

Tante Dewi berdiri dari tempat duduknya. Ia berjalan ke arahku dan mengelus lembut pundakku. "Tante ucapin makasih banyak ya Vin.Sebenernya Tante juga setengah hati ninggalin Reno. Tapi Tante percaya sama kamu." Tante Dewi memelukku penuh kehangatan. Pelukan hangat seperti mama memelukku. Aku juga membalas pelukan itu.

"Apa kamu yakin, Vin?" Kak Reno mengajukan pertanyaan lagi. Wajahnya seperti menahan senyuman. Raut bahagia terukir. Aku juga senang melihatnya. Lagipula jika dengan kehadiranku dapat mengurangi rasa sakit yang ia alami. Aku tak keberatan untuk hadir mengisi harinya.

"Yakin! Aku sangat yakin." Jawabku dengan mantap dan teguh pendirian.

"Nyonya, mobil sudah siap." Ucap seorang supir yang muncul dan memanggil tante Dewi.

"Ren, Mama tinggal dulu ya. Kamu jangan terlalu nyusahin Malvin. Dan untuk Malvin, kamu jangan terlalu memaksakan diri ya. Kalau ada apa-apa kamu bisa panggil mbok Darmi. Tante berangkat dulu ya." Tante Dewi tersenyum ke arahku. Kemudian ia memeluk kak Reno. Dan kami menatap kepergian tante Dewi hingga tubuhnya yang menghilang dibalik pintu.

"Malvin. Kamu nggak perlu merasa bersalah. Ini bukan salah kamu kok." Kak Reno mendekat ke arahku. Menatapku dengan mata sayunya yang menyiratkan berjuta makna.

"Pasti karena kak Reno keluar malam-malam, kan? Dan alasan kak Reno keluar malam adalah aku." Ucapku mencoba terlihat baik-baik saja didepannya. Namun sesungguhnya, melihatnya yang tak berdaya seperti ini saja sudah cukup untuk menyiksaku.

"Bukan, malam itu aku emang lagi pengen keluar aja. Dan entah kenapa takdir mempertemukan kita malam itu." Tangan kak Reno perlahan mengelus pipiku dengan lembut. Tatapan tak berdaya yang tak ingin aku lihat itu begitu menyayat kalbuku. Membuat air mata yang tengah aku tahan sekuat tenaga itu menjadi sia-sia  saja. aku menangis

Aku seketika menghambur ke arah tubuhnya. Menangis dalam pelukannya. "Aku sama sekali tak memikirkan alasan kak Reno sakit. Asal kak Reno tahu, tak peduli apa penyebab kak Reno sakit. Izinin aku! Izinin aku buat ngerawat kamu kak. Cukup ngeliat kamu sakit kayak gini! Aku sedih." Tangisku pecah. Kak Reno memelukku dengan erat. Ia juga menangis.

Namun kak Reno seketika melepaskan pelukan kami. "Jangan bodoh Vin. Apa yang akan Joe fikirkan kalau dia ngeliat kamu sama aku? Apalagi ide gila dengan merawatku. Jangan egois. Kita hanya sebatas sahabat." Kak Reno membelakangiku. Aku tak rela ia memperlakukanku seperti ini.

"Siapa? Siapa yang bahagia dengan sandiwara ini? Jangan sakiti aku lebih jauh lagi kak Reno. Kita tak perlu mendustai perasaan. Kita hanya perlu jujur dan semua akan baik-baik saja." Sebut saja aku mengemis cinta. Aku akan menelan semua harga diri untuk bisa bersama dia. Tak peduli seberapa menyakitkan hal yang harus aku hadapi. Aku akan menyemai cinta, walau dalam tanah yang tak lagi sudi menerima ketulusan.

Kak Reno tak menjawab apapun. Ia berlari kembali ke kamarnya. Aku menatap kepergiaanya. Menatap punggung tegap yang kian menjauh itu dengan sisi hati yang kian teriris.

*Reno POV*

'Pyarrrr'

Aku membanting vas bunga yang berada di meja. Aku menendang pintu seperti manusia kesetanan. Aku kalut.

"Tuhan, aku tak berdaya melihat air matanya. Aku tak berdaya untuk dihadapannya lebih lama lagi. Aku sudah merelakannya tuhan. Kenapa kau harus mengujiku lebih jauh lagi?" Racauku sendiri di dalam kamar yang bertuankan kesedihan.

Bukan hanya hatinya. Hatiku juga tercabik-cabik. Hatiku bahkan sudah mengeras, dan hanya ia yang mampu menghangatkan dan mencairan hatiku.

Malvin memberiku pilihan yang sulit. Apa karena ia tak bahagia? Apa ia tak bahagia dengan hubungannya bersama Joe? Ia bahkan terlihat tersiksa dengan hubungannya.

Hatiku cukup bahagia mendengar ia mencintaiku. Begitupun aku yang selalu mencintainya tanpa peduli pengorbanan. Aku telah berjanji untuk menjaga Malvin, membahagiakannya. Namun aku benar-benar tak memahami situasi yang terjadi diantara kami saat ini.

Jika Joe tak mampu untuk membahagiakan Malvin, aku dengan kedua tanganku akan menghukumnya. Namun, Joe sepertinya tak mungkin hanya diam saja. Aku sangat mengenal Joe. Dia akan melakukan apapun untuk orang yang ia cintai.

Aku seharusnya tidak berfikir macam-macam. Mungkin saja Malvin hanya tak dapat membendung kesedihan melihat diriku yang tak berdaya seperti ini. Ini salahku, aku tak boleh terlihat sakit di depan Malvin. Aku tak boleh membuat tembok yang ia bangun hancur hanya karena rasa sakitku sendiri. Aku yakin, Joe mampu membahagiakannya.

Bukan berarti aku yang tak mampu membahagiakan Malvin. Namun, Malvin sangat jauh lebih pantas mendapatkan yang jauh lebih baik daripada aku. Aku hanya ....

'Tok.. Tok.. Tok..'

Seeorang mengetuk pintu kamarku. Aku segera bangkit dan kembali berbaring diatas dipan. "Masuk!" Sahutku.

Pintu itu perlahan terbuka. Menampilkan seorang insan rupawan yang sedari tadi berputar dalam fikiran. Malvin berdiri disana dengan nampan yang diatasnya terdapat semangkuk mie. Tunggu! Itu terlihat seperti RAMEN!

"I-ini buat ka-k Reno." Ia terlihat gugup. Dari raut wajahnya dapat terlihat air mata yang belum mengering itu dan juga mata yang sembab itu. Oh tunggu! Bagaimana jika wajahku menampilkan hal yang sama?

Aku segera mengusap kasar wajahku dan tak berani menatapnya. Mangkuk itu melambai-lambai ke arahku. Ramen itu terlihat sangat mirip seperti tante Tiara membuatnya. Hatiku menghangat dengan hanya membayangkan Malvin membuat Ramen spesial untukku. Aku terharu.

"Te-terima kasih Vi-n." Aku mengambil mangkuk itu perlahan tanpa berani mendongak untuk melihat wajah manis Malvin yang membuatkanku semangkuk Ramen.

Disaat aku hendak menikmati ramen itu, sejengkal lagi ramen itu akan tertambat nikmat dalam mulutku. Sebuah suara menginterupsi.

"Coba deh Ren, dijamin enak banget. Habis ini kamu pasti sembuh kalau habis makan Ramen buatan Malvin."Celetuk Papa dari pintu kamarku. Aku dan Malvin seketika menoleh. Namun sebuah pemandangan membuat mataku yang melihatnya tak nyaman. Papa juga memegang semangkuk ramen.

Kenapa Papa juga dapat Ramen? Jadi? Ini tidak spesial hanya untukku? INI TIDAK ADIL!

***

Sudah dari pukul 2 siang tadi malvin pamit padaku untuk pulang ke rumahnya dan meminta izin pada Papa nya untuk menginap dirumahku. Aku bahagia sekali Malvin akan tidur disini. Ia bahkan rela untuk menemaniku dan merawatku. Hati memang tak pernah berbohong tentang cinta.

Entah sudah berapa kali aku menatap jam dinding dan juga arloji yang bertengger khidmat di tanganku. Ini sudah pukul 7 malam dan Malvin tak kunjung datang kemari.

Aku berjalan kesana-kemari dengan gusar. Bahkan rasa pusing di kepalaku tak terasa karenanya. Jika menyangkut tentang cowok manis nan menggemaskan satu itu. Hatiku tak akan pernah tenang.

'Tok.. tok. Tok..'

Suara pintu yang diketuk. Itu pasti Malvin. Aku segera ngacir ke tempat tidurku . "Masuk."

Pintu itu perlahan terbuka. Ini seperti de javu dari kejadian tadi siang dimana Malvin membawakan semangkuk ramen. Apa kali ini Malvin juga akan membawakan ramen untukku?

"Permisi Tuan Reno, ini mbok bawa minuman untuk tuan." Ternyata bukan Malvin. Melainkan mbok Darmi. Ia membawakanku segelas sari jahe yang dicampur dengan madu.

"Taruh sini aja Mbok." Ujarku sembari menepuk meja di sampingku.

Mbok Darmi meletakkan gelas itu. "Mbok doain tuan segera sembuh." Ucap mbok Darmi tersenyum tulus.

"Makasih mbok. Ngomong-ngomong Malvin belum datang kesini ya, mbok?" Aku mencoba bertanya pada mbok Darmi.

"Udah dari tadi Den. Sekarang mas Malvin lagi di dapur sama Tuan Alfi. Tuan Alfi bantuin mas Alvin bikin makanan."

Apa? Kenapa? tumben Papa mau menginjakkan kaki di dapur? Menyentuh penggorengan saja Papa tak suka. Terdapat asap sedikit saja papa sudah ceramah. Bagaimana ceritanya kali ini Papa mau masak di dapur? Ada Malvin juga? Ini tidak boleh dibiarkan.

"Mbok permisi dulu ya Den. Ada yang harus mbok kerjakan." Mbok Darmi kemudian berlalu dari kamarku. Sedangkan aku tak tenang memikirkan Malvin.

Diselimuti oleh atmosfer kedongkolan. Aku bangkit dari dipan ku dan berjalan menuju dapur. Kalau sudah menyangkut Malvin, entah kenapa sakit ini seolah tak terasa. Kakiku menyusuri lorong rumah, menuruni tangga dan sampailah di dapur.

Saat aku sampai di dapur. Pemandangan yang tak mengenakkan merusak suasana hatiku. Di dalam Dapur itu aku dapat melihat dengan jelas dimana Malvin dan Papa bergurau bahagia bersama seraya papa yang menggoreskan adonan di pipi Malvin.

"hahaha. Om cukup, wajah Malvin jadi kotor." Rengek Malvin. Mereka berdua tertawa bahagia.

"Om nggak nyangka ya vin, kamu bisa masak macam-macam makanan. Kamu mirip banget sama Mama kamu." Ucap Papa sembari membulatkan adonan kue mochi yang telah terisi.

"Iyalah Om. Kan saya anaknya." Mereka berdua kembali tergelak.

Entah kenapa hatiku memanas. Jangan bilang aku cemburu pada pada Papaku sendiri! Tapi tak sepatutnya Papa menggoda Malvin seperti itu, kan?

"Gini ya Vin, Om seneng ada kamu disini. Seandainya aja om punya anak kayak kamu. Atau seandainya saja kamu adalah perempuan. Om pasti akan jodohin kamu sama anak om. Tinggal pilih saja, Bara, Reno atau .... Om. Hahaha cowok di rumah ini tampan semua." Canda Papa.

Malvin yang mendengar itu seketika terdiam. Entah apa yang tengah ia bayangkan. Namun Mochi di tangannya seketika terjatuh.

"Hahaha. Om bisa aja." Malvin tersipu. Kemudian diambilnya kembali mochi yang terjatuh tadi. Pipinya menampilkan rona merah yang sangat indah. Sangat... cantik.

Aku segera masuk ke dalam dapur, dan menginterupsi pembicaraan mereka sebelum pembicaraan mereka tak dapat dikendalikan.

"Pa, ada yang mau aku omongin." Aku memanggil Papa yang tengah asyik membentuk adonan Mochi itu . Papa menoleh ke arahku dan mencuci tangannya kemudian menghampiriku. Kemudian kami berjalan keluar meninggalkan dapur.

"Om tinggal dulu ya Vin. Om tunggu mochinya." Pamit papa.

Disaat kami sudah sampai di ruang tamu. Aku mulai berbicara pada Papa.

"Apa sih yang Papa lakuin di dapur? Goda-godain Malvin kayak tadi maksudnya apa?" Aku tak dapat membendung lagi perkataanku. Melihat kejadian tadi sungguh memuakkan bagiku.

"Papa cuma bantuin Malvin masak, nggak lebih."Jawab Papa yang tampak dusta di mataku.

"Aku lihat Papa godain Malvin tadi, apa maksud Papa?" Aku mencoba mencari kebenaran. Namun emosi dan nafsu begitu membelenggu diriku dengan erat. Aku tidak suka siapapun mengusik Malvin, termasuk Papa.

Papa berjalan ke arahku. Kemudian menepuk pundakku dengan gentle. "Papa nggak bermaksud apa-apa Ren. Papa Cuma bercanda. Nggak lebih. Kamu nggak perlu sampai semarah ini."

Ya, sepertinya sifatku kali ini sungguh kekanak-kanakan. Bagaimana bisa aku marah hanya dengan melihat Papa yang dekat dengan Malvin. Apa ini yang disebut cemburu? Aku menepis kata cemburu itu. Tidak mungkin aku cemburu pada Papa.

"Kayaknya kamu masih belum sehat. Mau Papa antar ke kamar?" Tawar Papa.

"Nggak perlu Pa, aku bisa ke kamar sendiri."

"Kalau begitu Papa mau bantuin Malvin bikin kue mochi dulu." Ujar Papa tersenyum sembari berjalan kembali ke arah dapur.

Aku menghembuskan nafasku berat. Mencoba menetralisir pikiranku. Apa keadaanku yang sedang sakit ini membuatku posesif pada Malvin? Aku harus kembali istirahat di kamar dan menghentikan pikiran tidak-tidak di dalam otakku.

Setengah jam kemudian Malvin memasuki kamarku membawakan sepiring mochi. Wajahnya masih saja terlihat canggung sembari berjalan masuk semakin ke dalam kamarku.

"I-ini aku buat mochi. Aku harap kak Reno suka dan juga cepat sembuh." Ucap Malvin mengulurkan piring yang telah berisi mochi-mochi nan imut yang telah dibuatnya bersama Papa.

Aku bangkit dari tidurku dan meminta Malvin untuk duduk di sebelehku. "Duduk sini, temenin aku makan." Pintaku.

Dengan perlahan dan penuh canggung ia duduk tanpa sepatah katapun. Mungkin kejadian tadi siang membuat hubugan kami semakin canggung. Aku tak ingin suasana seperti ini berlalu tanpa adanya solusi. Aku tak suka Malvin menatapku dengan canggung seperti saat ini. Aku lebih suka Malvin menatapku ceria dengan mata berbinar.

Tanpa menunggu lama. Aku mengambil sebuah Mochi dan menyodorkannya pada bibir Malvin. Malvin menatapku bingung.

"Kak Ren..."

"Ayo, kamu pasti belum nyobain Mochi buatan kamu sendiri,kan? Sekarang aku suapin." Ucapku dengan tersenyum lembut. Tanpa bermaksud lain, ini hanya sebuah ekspresi permintaan maaf dariku. Aku bahkan terlalu lemah untuk mengungkapkan kata 'Maaf'.

Perlahan Malvin membuka bibirnya. Ia menggigit mochi itu dari tanganku. Matanya menatap lekat ke arahku tanpa berkedip. Jantungku mulai memainkan genderangnya. Perasaan bahagia meluap bagaikan soda yang baru saja dikocok dan dibuka tutupnya.

Malvin mengambil juga sebuah mochi dari piring yang tengah ia pegang. Dengan senyum tak kalah lembut. Ia menyuapi mochi itu ke dalam mulutku. Mochi itu menari-nari dengan indahnya. Aku bahagia melihat Malvin yang tak sungkan tersenyum lagi ke arahku.

Bersambung.

Kalian baper? Aku senang kalau kalian baper.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro