Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

awal


Sholat Isya berjamaah telah berakhir, dirinya bangun dari tempat ia sholat lalu pergi kepojokkan masjid untuk mengambil Al-Qur'an yang ada di rak sana.

Setelahnya, Gempa menghampiri ustadznya, mengaji surah yang sama dengan si ustadz.

Gempa, laki-laki single berusia 26 tahun. Kakak dan adiknya sudah pada menikah, hanya dirinya dan adik keduanya; Ice saja yang belum.

Tak jarang mereka berdua mendapat pertanyaan "kapan nikah?" saat kumpul bersama keluarga besar. Oleh sebab itu sekarang Gempa jadi merasa malas kumpul, Ice saja yang dari dulu malas semakin malas kumpul karena pertanyaan itu.

"Gempa, makhraj¹ huruf antum² udah makin bagus, kayak biasa juga, suara anta merdu banget kalo baca Al-Qur'an." Puji ustadznya, ia menutup Al-Qur'an nya, begitu juga dengan Gempa. Setelah selesai mengaji, si ustadz dan Gempa mengobrol sebentar sebelum balik ke rumah.

"Gempa, di kota sebelah ada perempuan yang ditinggal kabur calon suaminya. Seharusnya besok mereka menikah, tapi pengantin pria nya kabur. Undangan sudah disebar dimana-mana."

"Kasian ... Masih ada aja yang kayak begitu."

Si ustadz manggut-manggut, dia menatap anak murid kesayangannya dari atas kebawah. Gempa itu setia menjadi muridnya dari kelas 5 SD hingga sekarang berumur 26 tahun.

"Karena itu, antum mau gak, gantiin posisi si laki-laki itu? Kalo mau, kita berangkat sekarang ke kota sebelah."

Gempa membulatkan matanya kaget, tak ia sangka ia akan mendapatkan tawaran seperti ini. Bukannya apa, namun tawaran seperti ini sangat langka dan jarang.

"Ah ustadz bisa aja bercandanya, hehehe."

"Ana³ serius, akhi⁴."

Tatapan si ustadz sangat serius, membuat Gempa terdiam dan menunduk—tak tahu ingin menjawab seperti apa.

"Antum mau atau tidak?"

"Bukannya ana menolak, ustadz. Tapi ana harus meminta izin kepada orang tua, lalu membelikan mahar untuknya—dan ana, belum pernah bertemu dengan dia, ustadz."

Ustadz itu mengerti, ia tahu jikalau Gempa mengkhawatirkan hal ini, karena si ustadz sudah mengenal Gempa lebih dari 15 tahun.

"Telpon orang tua antum sekarang, Gempa."

"Ana gak bawa handphone ke masjid, ustadz."

Si ustadz diam sebentar, sebelum akhirnya ia merogoh saku kokoh nya dan mengeluarkan benda persegi panjang itu untuk Gempa.

"Pakai handphone ana, hubungi orang tua anta."

Gempa mengangguk, dia mengambil handphone si ustadz dengan hati-hati, lalu memencet kontak ayahnya yang sudah lama ustadznya itu simpan.

Tut... Tut...

"Halo?"

"Assalamu'alaikum Ayah, Gempa mau minta izin dan restu. Tolong panggil Bunda juga."

Amato—sang ayah, mengerutkan keningnya tak mengerti, namun dirinya tetap memanggil sang istri tuk berbicara dengan Gempa.

"Gempa! Bunda kangeen sama Gempa, sama saudara Gempa juga! Kalian udah sibuk urusan masing-masing, sih, Bunda jadi kesepian tauu. Gempa mau pulang ke rumah Ayah Bunda?"

Laki-laki itu bisa mendengar nada antusias yang dikeluarkan oleh bundanya, dari sini pula ia sadar, darimana sifat aktif Taufan, Thorn, dan Blaze.

"Enggak, Bunda. Maaf, ya. Tapi Gempa beneran mau ngomong serius sama Ayah bunda."

"Eh? Apa tuh,"

Gempa menatap ustadznya sebentar, dalam hati sendiri ia masih merasa ragu dengan tawaran sang ustadz—maksudnya, menjaga dan merawat seorang wanita itu tidak mudah, loh. Gempa takut jika ternyata batinnya belum siap dengan yang namanya rumah tangga.

"GemGem mau nikah!"

".... HEH!??"

______________________

"Jadi, maharnya mau apa?"

Saat ini, Gempa dan si ustadz sedang berada di dalam mobil menuju ke kota sebelah. Sebelum berangkat, tentu mereka pulang dulu ke rumah membawa beberapa perlengkapan yang dibutuhkan, baru mereka berangkat. Butuh waktu sekitar 6 jam untuk kesana, jadi sampai sana sekitar jam 4 shubuh.

Acara pernikahannya dimulai jam 1 siang, lumayan Gempa masih ada waktu untuk itu.

Tadi, orang tuanya mengizinkan setelah Gempa menjelaskan semuanya. Bahkan bundanya menangis haru—katanya, pilihan yang Gempa ambil sudah tepat, bundanya merasa Gempa seperti pahlawan untuk keluarga dan perempuan yang akan ia nikahi nanti.

"Tapi ustadz, ana mau bertanya."

"Silahkan,"

"Undangannya sudah disebar dengan nama laki-laki lain, tapi nanti saat ijab qabul kan nama Gempa yang diucapin."

"Tenang, kalo itu, serahin ke ustadz. Sekarang, mending anta pikir, mau beri mahar apa untuk dia."

"Ana sudah pikirin baik-baik, ustadz."

"Oh sudah ternyata, terus, apa maharnya?"

"Emas 500 gram, ustadz. Tabungan ana sudah lebih dari cukup buat itu. Ana main aman ustadz, gak berani milih yang lain karena takut harganya gak sesuai sama tabungan yang ana punya."

Ustadz itu tersenyum bangga pada Gempa, syukurlah ia menjadi guru dari murid berbakti, paham agama, sabar, lemah lembut—aduh ay, beruntung sekali perempuan yang akan menjadi istrinya itu.

"Kalo gitu, sampe sana kita sholat shubuh dan persiapan, ya, Gempa."

"Naam⁵ ustadz."

____________________________

Keduanya telah sampai di rumah sang pengantin wanita esoknya, setelah sholat dan mempersiapkan mahar, mereka langsung pergi ke rumah perempuan itu.

Perihal mandi, nanti saja—lagipula mereka masih wangi, kok! /HEH GAK GAK

Tok, tok.

Krieet

Pintu dibuka oleh si pemilik rumah, ia sedikit terkejut kala melihat si ustadz dan Gempa datang dengan sebuah benda yang ada di tangan mereka berdua.

"Ya ummu⁶, kami kesini untuk menggantikan posisi dia yang kabur di hari penting seperti ini." si ustadz mundur, dia menepuk pelan pundak Gempa yang gugup bukan main,

"Assalamu'alaikum, ummu. Nama ana Boboiboy Gempa Bin Amato, ana datang dari kota sebelah untuk menggantikan posisi pengantin pria yang kabur."

Tiba-tiba tubuh si pemilik rumah itu gemetar hebat, lama kelamaan kakinya tak kuat menopang berat tubuhnya, hingga ia jatuh kebawah dengan suara tangisan yang sudah tak bisa ia tahan lagi.

Gempa paham, dari raut wajahnya, si ibu nampak menangis bahagia, tak lama ibu itu sujud syukur, bersyukur kepada Yang Kuasa.

Setelah merasa sedikit tenang—ah, tidak tenang sendiri namun ia ditenangi oleh anak laki-lakinya yang tiba-tiba datang.

Mereka menyambut Gempa dan ustadz dengan baik, disuruh duduk dan dibuatkan teh oleh si pemilik rumah.

"Jadi, kamu yang bakal jagain adik perempuan saya mulai sekarang?"

Gempa mengangguk kaku, saat ini dirinya benar-benar gugup, tak tahu harus berbicara apa. Ia hanya menjawab apa yang ditanya oleh keluarga si gadis.

"Maaf sebelumnya, ukhti yang akan menikah dengan murid ana dimana ya?"

Laki-laki itu, [Your brother] menunjuk kamar si adik dengan jempolnya, "sebentar lagi dia keluar dari kamarnya, dia pasti lagi bersihin mukanya yang hancur karena nangis terus. Syukur kamu datang, Gempa."

Gempa tetap diam, ia mengerti perasaan sang gadis saat ini, tak heran jikalau nanti matanya terlihat sembab, itu pasti karena laki-laki yang kabur begitu saja, padahal sebentar lagi hari pernikahan mereka.

"Maaf, saya bikin kalian nunggu, hehehe."

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu Gempa keluar juga, sosok perempuan dengan kulit mulusnya yang seputih susu, wajahnya yang rupawan, tatapan dari netra [e/c] nya yang membuat banyak orang pangling—

Astaga, Gempa tak habis pikir, bagaimana bisa ada seorang laki-laki yang meninggalkan perempuan secantik bidadari seperti ini?

Gempa tak menyangka, calon istrinya secantik ini, bahkan, sepertinya dirinya sudah jatuh cinta pada pandangan pertama.

"Kamu ... Kak Gempa, ya? Saya [Fullname], yang bakalan jadi pengantin wanita hari ini."

[Name] tersenyum manis, membuat Gempa menunduk dan berusaha kembali menjaga pandangannya dari yang bukan mahram.

Perempuan itu duduk di depan Gempa, setelahnya, mereka berbincang bersama entah itu tentang latar belakang, keluarga, hobi, atau lainnya.

"Gempa, orang tua kamu sudah tau tentang ini?"

"Sudah, Umm. Orang tua saya mengizinkan, tapi saya belum bilang saudara saya."

"Oh, Gempa punya saudara?"

Gempa mengangguk, "saya kembar tujuh."

UHUK!

Tiba-tiba, gadis yang ada di depan Gempa itu tersedak, membuat yang lain reflek menoleh kearahnya.

"Kamu gapapa?"

"Gapapa, Ma. [Name] cuma kesedak pas denger Kak Gempa kembar tujuh."

Pemuda itu hanya terkekeh, ia menggaruk pipinya yang tidak gatal, sedangkan [Name] masih fokus dengan dirinya yang baru saja selesai tersedak.

"Maaf, ya."

"Enggak apa-apa. [Name] cuma takut nanti salah pegang orang, bukannya Kak Gempa yang [Name] pegang, eh malah kembarannya."

Gempa terkekeh, "gampang kok bedainnya, liat aja warna mata kita nanti. Sifat dan nada bicara kita juga lumayan beda, loh. Itu bisa jadi petunjuk buatmu."

"Oh, warna mata Kak Gempa sama kembaran yang lain itu beda-beda?"

"Iya, dan, maaf ... Tapi kamu bisa gak panggilnya gausah pake 'Kak'? Aku ngerasa malu aja."

[Name] memiringkan kepalanya, sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaan Gempa.

"Tapi, Kak Gempa lebih tua dua tahun daripada [Name]. [Name] ngerasa gak sopan kalo manggilnya gak pake kata kakak."

Aduh duh, Gempa kan gemes sama [Name], padahal mereka berdua baru bertemu—namun, Gempa sudah dibuat tak sabar untuk menghalali perempuan ini.

"Yasudah, senyaman kamu aja, deh."

______________________

1) makhraj huruf = tempat keluarnya huruf

2) antum = kalian laki-laki (tapi dalam percakapan, bablas mengarah ke satu orang)

3) ana = saya

4) akhi = saudara laki-laki (tunggal)

5) naam = iya

6) ummu = ibu

Halooo aku balik lagiii, setelah book Halilintar tamat, aku bawa book baru lagi hahaha! Update 2x tiap sabtu-minggu

Khusus chap 1 aja banyak mufrodat b Arab, tapi nanti chap selanjutnya engga kok. Ini karena ada pak ustadz aja 😔✋

See u di next chap!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro