PENGEN PUTUS
PENGEN PUTUS!
Senin
16.03. Sesuai jadwal acara di koran hari ini adalah jamnya Fairly Odd Parents. Kanaya, yang lebih suka meringkas namanya jadi Naya, sudah mempersiapkan ancang-ancang: sebungkus Taro yang udah dimakan setengah, komik Anastasia Club buat selingan menunggu iklan dan segelas besar air putih. Naya baru aja berniat memindahkan channel televisi, ketika telepon rumah berdering.
“Halo?” Naya melompat dari sofa dan meraih gagang telepon wireless yang kemudian dibawanya ke sofa.
“Aku pengen putus!”
“Boleh-boleh aja,” jawab Naya bingung. “Tapi siapa ini? Memangnya kapan kita jadian?”
“Goblok! Maksudku bukan sama kamu,” umpat suara di seberang yang bisa ditebak pemiliknya: Selvi. Naya dan Selvi awalnya deket gara-gara jadi temen sebangku waktu semester satu di SMP 2. Setelah lulus, dengan berat hati keduanya harus berpisah karena SMU-nya beda-beda. Naya melanjut ke SMA Merdeka, sedangkan Selvi—berkat koneksi tantenya yang juga kepala sekolah disana—masuk SMA 14 yang lebih bergengsi. “Aku pengen putus dari Fredi.”
“Lho kenapa? Kalian berdua lagi ada masalah?” Terus terang, kata-kata Selvi barusan membuatnya prihatin. Mereka kan jadiannya baru-baru ini. Ah, sekarang Naya inget, jadiannya selang dua hari dari hari ulang tahun Friska, sebangkunya. Berarti kurang lebih dua bulanan gitulah.
“Nggak ada kok.”
“Lha terus?”
“Ya, pengen putus aja,” jawabnya santai.
“Kok gitu? Nggak adil dong namanya. Entar kalo Fredi nanya kamu kenapa mutusin dia, kamu bakalan bilang apa?”
“Tau deh. Soal alasan kan bisa belakangan,” kata Selvi santai. “Ato mungkin… Aha! Aku pake alasan yang klasik aja, ‘terlalu banyak perbedaan diantara kita berdua, bla, bla, bla’—sisanya akan kupikirkan nanti. Yang penting aku mo mutusin Fredi dalam waktu dekat ini. Aku udah muak sama dia, tapi aku maunya dia yang mutusin. Tau sendiri kan gimana simpati publik ketimbang pelakunya? Aku mau dia yang jadi bad guy-nya, bukan aku.”
Naya menggeleng cepat, katanya, “Jangan tanya aku. Sori-sori aja nih, aku nggak mau dibilang ikut campur urusan rumah tangga orang.”
“Alah nggak pa-pa. Lagian Fredi ini, nggak penting-penting amat.”
Selasa
Naya baru percaya kalo niat Selvi mo putus dari Fredi ternyata beneran karena malam berikutnya dia nelepon lagi, menceritakan rencana supaya Fredi mau mutusin dia. “Tadi malem aku tiba-tiba ketemu ide yang brilyan,” cetus Selvi dengan suara ceria. “Gimana kalo aku pura-pura deket sama cowok entah siapa. Nanti aku sengaja keliatan mesraaa banget di depan Fredi. Kan dia pasti cemburu tuh, terus putus deh.”
Mulut Naya terngaga mendengarnya. That’s soooo rude! pikirnya. Dan anehnya, bisa-bisanya Selvi nyeritain rencana gilanya itu tanpa beban apa-apa. seolah-olah dia lagi becanda ato gimana.
“Nggak!” jawab Naya ketus. “Aku nggak setuju kalo kamu ngelibatin satu orang lagi dalam masalah ini. Lagian, apa nggak kasian tuh cowok, belakangan tau dia cuma dimanfaatin doang sebagai figuran buat manas-manasin Fredi doang.”
“Ya, Naya… jadi gimana dong?”
“Wah ndak tau ya. Yang pengen putus kan kamu, malah nanya aku…”
Rabu
Siang itu begitu terik, tapi itu bukan alasan buat anak-anak cowok main basket dengan taruhan traktiran teh botol oleh tim yang kalah. Berhubung pacarnya lagi main basket dan merajuk minta ditemenin, maka jadilah Selvi nongkrong sendirian di bangku panjang di depan gudang yang menghadap langsung ke arah lapangan. Selvi nggak peduli sama sekali dengan pertandingan basket mereka. Dia memilih larut dalam fantasinya sebagai Delilah, tokoh novel Does She or Doesn’t She? (diterjemahkan jadi: Benarkah Dia Begitu Atau Tidak?) karya Alisa Kwitney. Novel-novel dewasa macam inilah favoritnya Selvi. Menurutnya, novel macam ini bisa membangkitkan aura kewanitaannya.
Fredi menghampiri Selvi dengan berlari. Time’s out, pertandingan basket ditunda selama beberapa menit karena salah satu pemain dari tim lawan dipanggil ke ruang BP.
“Senin depan nomat yuk, nonton Shutter,” Seandainya saja Selvi mau menurunkan novelnya sedikit, dia pasti bisa melihat wajah Fredi yang sangat antusias dengan rencana nontonnya. “Kata David filmnya lebih seru daripada The Eye.”
“Males ah!” Selvi bahkan nggak melirik Fredi sama sekali. Matanya terus terfokus pada halaman novel yang sedang dibacanya. Baginya, tokoh Ford, agen FBI yang tampan dan misterius di novel itu seratus juta kali lipat lebih menarik ketimbang Fredi. Tentu aja, cukup dua kata untuk mendeskripsikan cowok itu bagi seorang Selvi: sangat memuakkan. Dia bahkan nggak keberatan menambah satu kata lagi, menjadi: sangat memuakkan BANGET.
“Sel, kamu kenapa sih belakangan ini?” protes Fredi pada akhirnya. Dia menarik novel itu menjauh dari pemiliknya. “Aku ngerasa kamu berusaha menghindar—nggak tau kenapa. Kalo ada masalah, cerita aja. Aku janji bakal jadi pendengar yang baik.”
“Nggak pa-pa kok. Biasalah, PMS.”
Fredi menggeleng, katanya, “Selvi, dua minggu yang lalu kamu ngambek gara-gara PMS. Memangnya kalian, Cewek-cewek, dalam sebulan berapa kali sih dateng bulang?”
“Cerewet! Ngapain nanya-nanya siklusku segala hah?! Udah sana, main basket lagi.” Tangan Selvi merampas novel itu dari tangan Fredi. “Jangan ganggu orang yang lagi baca!”
Kamis
Gud news! Aq dpt pinjeman dvd shutter dr temen. Bsk nonton d rmhqu yuk?
Pengirim: Fredi
Males.
Pengirim: Selvi
Jumat
Naya menerima telepon Selvi di tengah seru-serunya Desperate Housewives. Ada tokoh cowok baru yang nggak kalah ganteng dari Jesse Metcalfe, pemeran tukang kebun ganteng merangkap gula-gulanya Gabrielle. Naya seneng banget punya alternatif selain Jesse Metcalfe, apalagi karena belakangan dia jarang muncul.
“Fredi cowok yang paling muka badak yang pernah kutemui,” keluh Selvi lengkap dengan segala intonasi khasnya drama queen. “Padahal, ya ampun, kurang apalagi sih yang kulakuin selama ini? Dijudesin, iya. Dikasarin, udah. Tapi masiiiih aja belum mau mutusin.”
“Udah, kamu putusin aja kenapa sih?” usul Naya gemes. Lama-lama bosan juga dia dilibatin dengan masalah putus-memutuskan ini.
“Naya, apa perlu aku ulangin lagi alasanku tempo hari heh?” Suaranya terdengar tidak sabaran. “Publik lebih bersimpati—“
“Sama korban daripada pelaku,” lanjut Naya dengan menyebalkan, lalu mendengus. “Ya, ya, nggak perlu diulangin, aku masih inget. Tapi apa kamu nggak bosen nungguin dia minta putus duluan? Bisa lama lho…”
“Aku yakin banget sebentar lagi dia pasti menyerah dan ngeluarin ultimatum putus itu pada akhirnya,” Selvi berkata dengan penuh percaya diri. “Lagipula, aku nggak bakal bosen nunggu kok. Kamu kira aku sebodoh itu apa? Beberapa minggu yang lalu aku ketemu sama cowok ini, anu, dia anak SMA St. Agustino gitu.”
Mata Naya menyipit. Cowok baru lagi? Siapa?
“Namanya Yohan,” kata Selvi menambahkan, “Nanti deh aku kenalin, anaknya cute bangeeeet!”
“Ya ampun. Sel, Sel… Kamu tuh ya, nggak pernah berubah.” Naya nyaris menjerit waktu ngeliat Jess Metcalfe muncul, berbarengan si cowok baru itu lagi! Yess! Eh, aduh… gimana nih? Mana Selvi masih nelepon lagi, kan nggak enak kalo disuruh selesai begitu aja? Biarpun bahan obrolannya terbilang nggak penting, tetep aja sebagai temen yang baik harus aku layani dengan ba—
Commercial break. Selvi kecewa berat karena idolanya cuma bisa diliat beberapa detik doang. Gara-gara Selvi nih, gerutunya.
Selasa
Untuk beberapa hari Naya boleh berlega hati karena Selvi nggak nelepon. Tapi bukan berarti Naya nggak sibuk lho! Sebagai gantinya, minggu ini Naya mengambil alih kerjaannya pengasuh Uni Sayang, rubrik curhat di Gadis. Mulanya Naya cuma membalas SMS Fredi, nggak lupa menuliskan kata-kata simpati yang paling enggak bisa sedikit mengobati perasaannya yang dicabik-cabik iblis betina bernama Selvi. Eh, tau-tau Fredi nelepon ke rumah dan coba tebak siapa yang dengerin curhatnya selama satu setengah jam lebih? TEPPPAT SEKALI! Naya.
Fredi menangis tersedu-sedu menceritakan keretakan hubungannya dengan Selvi. Dia bilang nggak tahu menahu alasannya Selvi mendadak dingin sekali padanya. Naya diam aja. Kalo dia cerita-cerita apa aja kata Selvi tentang cowok itu takutnya malah bikin masalah tambah ruwet. Tapi dalam hati Naya kesel banget sama sikap Selvi yang sangat kekanak-kanakan dan nggak bisa diterima akal. Mo sampe kapan Fredi disiksa mentalnya kayak gini? Cowok cuma nangis pada saat-saat tertentu lho, jadi bisa dibayangkan gimana perihnya perasaan Fredi saat itu sampai-sampai dia meneteskan air mata segala. Kasihan…
Kamis
Telepon Selvi kali ini bisa dibilang tepat waktu karena Naya kebetulan memang lagi nggak ada kerjaan. Komik-komik yang baru dibelinya udah habis dibaca semua. Malah, ada yang sampe dibaca ulang saking penganggurannya.
“Nayaaaa, aku udah resmi putus dari si muka badak!” seru Selvi sambil tertawa-tawa. “Hoa ha ha ha, now I’m officially jomblo! Ah, senangnya. Akhirnya aku bisa menghirup udara segar kebebasan. Eh, gimana, Sabtu aku traktir Pizza Hut ya? Itung-itung perayaan putus.”
“Dasar geblek! Putus kok dirayain,” tangan Naya yang satu lagi memencet tombol-tombol remote, menuju saluran O Channel. Jam segini biasanya ada acara O Clip, acara yang menayangkan videoklip-videoklip lama ato baru yang lumayan easy listening.
Suara isak tangis Fredi seperti terngiang kembali di telinga Naya. “Ogah ah! Sebagai temen aku seneng-seneng aja kamu putus dari Fredi, tapi maaf aja, aku nggak mau menari-nari di atas penderitaan orang lain.”
“Yah, Naya…,” Selvi asli kecewa banget.
“Lagian, liat sisi positifnya, kamu kan bisa ngajak budak cintamu—siapa itu?—ah ya, Yohan.” Naya tersenyum geli sendiri waktu tersadar baru aja menyebut Yohan, siapapun dia, budak cintanya Selvi. Ewww, diinget-inget lagi, lumayan norak juga ya?
“Yohan who?” Heran, Selvi malah balik nanya. Efek kebanyakan mengkonsumsi MSG? Entahlah, tapi setelah itu dengan lincah dia menambahkan lagi, “Oh, maksudmu yang anak St. Agustino. Basi ah! Aku udah punya gebetan yang lebih oke. Anak band! Ohhhh, asli yang satu ini dijamin seratus persen tokcer, cer, cer, cer! He’s so charming, dan yang paling penting… dia punya mobil! Jelas nggak bisa disamain sama si muka badak yang setiap ngajak aku jalan selalu naik angkot. Maleeees!”
Naya melotot. “Selvi, you’re sick!”
“Ha ha ha ha, emang bener ya kata orang: sahabatlah yang paling ngertiin kita banget.”
Senin—dua minggu kemudian
Kehidupan Naya kembali ke jalur normal setelah Selvi resmi putus sama Fredi. Berarti, dia bisa menonton kartun sore dengan tenang, dan nggak ada yang bakalan ngeganggu dia selama nonton Desperate Housewives (Ya Tuhan, semoga episode minggu ini ada Jesse Metcalfenya… amiiin!).
Naya yang mulai bosan mengikuti Spongebob Squarepants yang diulang-ulang melulu, lalu mematikan televisinya dan masuk ke kamar, menyalakan radio. Kebetulan banget, lagu favoritnya sedang diputar di Various FM. Bilang Saja-nya Agnes Monica. Naya hapal liriknya. Mudah kok, kebanyakan diulang-ulang jadi mudah ngapalnya.
Bilang saja bila kau mau…bilang saja bila tak mau…
Naya berdehem. Kayaknya suara Naya spasi idol rada serak karena keseringan nerima telepon curhat.
Katakan sejujurnya… kepada dirinya…
Kring! Telepon di ruang tamu berdering nyaring. Dengan malas Naya menyeret langkahnya ke ruang tamu, meraih gagang telepon yang bersembunyi di bawah bantal kursi. Berani taruhan, pasti Selvi, terkanya.
“Halo?”
“Halo? Naya? Nay, aku nggak percaya dengan apa yang kudengar tadi…,” Jeda yang cukup lama untuk memberi efek dramatis bagi pendengarnya bener-bener gaya Selvi. Nggak heran, dia kan tersohor sebagai drama queen nomor wahid di SMP 2—sampe sekarang, malah.
“Fredi udah punya pacar,” Selvi berkata dengan suara parau. Ok, kayaknya serius nih. Ada apa sih?
“Wajar toh. Lagipula kalian kan udah putus, kenapa mesti ditangisi?”
“Naya! Kamu ada di pihakku ato bukan sih? Denger dulu… Pacar baru Fredi itu—coba tebak—Trina!”
“Trina? Trina kita?”
Trina juga alumni SMP 2, sama kayak Naya dan Selvi. Mereka cuma sekali doang ngerasain pengalaman jadi anggota kelas yang sama. Semester tiga dan semester empat.
“Aku nggak sudi nyebut dia ‘Trina kita’—kesannya kita bertiga temenan dekat ato sejenisnya. Najis! Aku bahkan nggak sudi namaku dan namanya dalam satu kalimat.”
Trina adalah musuh bebuyutan buat Selvi. Ibaratnya, Trina itu nenek sihir buat Hansel dan Gretel, Tuan Crocker buat Timmy, Cosmo dan Wanda, Hillary Duff buat Lindsay Lohan—tau kan mereka rebutan Aaron Carter? Menjijikkan! Soalnya, waktu SMP mereka berdua naksir cowok yang sama. Ketua OSIS, namanya Ronin. Nggak Trina, nggak Selvi, mereka berjuang mati-matian demi ngedapetin perhatian Ronin. Sayangnya, pada akhirnya Ronin harus memilih diantara mereka berdua (ato enggak sama sekali) dan dia menjatuhkan pilihan pada Trina. Itulah yang bikin Selvi dendam sedendam-sendamnya sama Trina.
“Terserah deh kamu mo bilang apa juga. Yang aku bingungin sekarang, alasan kamu marah itu apa?”
“Ya, tentu aja aku nggak setuju Trina pacaran sama Fredi,” potong Selvi. “Aku harus ngerebut dia kembali. Harus! Dan aku nggak boleh kalah. Dulu sih dia boleh-boleh aja menang bersaing denganku semasa SMP, tapi sekarang, huh, no way, Jose! Dia harus banyak-banyak latihan sebelum bertanding secara terbuka denganku. Ada ide nggak, Nay?”
Tanda bahaya, Naya, dia memperingatkan dirinya sendiri.
“Aku nggak mau ikutan!”
“Nayaaaaa…” Selvi merajuk.
“Nggak! Sekali enggak tetep enggak!”
Ih, gila aja kalo aku sampe terlibat urusan cinta-cintaannya Selvi lagi, pikirnya. Emoh bangeeeet! Apalagi sekarang dia minta dibantuin buat misahin Fredi sama Trina—ugh, enggak deh. Takut kena karma… iya kan?
“Tapi, Nay, masa kamu tega ngebiarin aku kalah telak sama cewek nggak penting macam Trina? Nay! Naaaaaay!!! Yaaah, ditutup…”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro