Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

🦋 | Bab Delapan

Bab Delapan
~~~🦋~~~


Raiden kini sedang duduk di salah satu ruangan khusus berkumpulnya pada dokter Obgyn dan nakes lainnya di Stase Obgyn. Ia baru saja kembali dari ruang VK atau ruang bersalin setelah menolong lima ibu-ibu. Sekarang memang tengah musim melahirkan. Bahkan ruangan VK terisi penuh sejak tadi malam.

“Dokter ada yang mau dititip?” tawar salah satu koas yang Raiden kenal dengan nama Dimas. Ia juga baru saja kembali dari ruangan VK.

Dimas anaknya tekun belajar, jika dilihat sangat berambisi dibandingkan kawan-kawan lainnya. Tidak hanya itu, koas cowok itu pun tidak pelit ilmu, hal itu yang disuka Raiden darinya. Pastinya Dimas anak yang sangat pekerja keras. Padahal anak itu baru tiga Minggu di Stase Obgyn namun sudah sangat terlihat jelas karakternya. Bisa Raiden ingat, bahkan pagi-pagi sekali ia melihat anak itu sudah terjaga di ruangan ini atau nurse station bersama catatan-catatannya.

Biasanya para koas akan menjalani tugas di beberapa stase di rumah sakit Kasih dengan kurung waktu lima sampai sepuluh Minggu—sepuluh minggu untuk stase Obgyn, penyakit dalam, bedah, dan anak. Sedangkan lima Minggu maksimal di Stase THT, saraf, mata, kulit, forensik dan lainnya.

[By pinterest]

“Saya titip air mineral saja, Dimas. Nanti saya ganti uangmu pas balik. Saya nggak bawa dompet soalnya,” titip Raiden.

Dimas menggeleng pelan kepalanya. “Nggak papa, Dokter. Biar saya belikan sekalian,” tolak laki-laki itu.

“Nggak usah. Nggak tega saya porotin koas.” Dimas mengangguk paham, lalu berjalan ke arah pintu keluar Stase tersebut.

🦋🌞🦋

“Nisa, kalian ngapain?”

Nisa menoleh ke arah samping. Melihat ke arah si pemanggil. Betapa terkejutnya wanita itu sampai-sampai gugup hendak menjawab pertanyaan pria itu. Masalahnya bukan karena takut, melainkan terpesona dengan ketampanan Raiden yang bertambah sempurna saat pulang dari tempat kerjanya.

“Anu, Mas. Bantuin Mas Johny.” Nisa melirik ke arah Johny dengan senyuman kikuk.

Kepala Raiden begerak naik turun, lalu melemparkan seutas senyum ramah kepada pria yang memiliki rambut sedikit kecoklatan itu. Ia kemudian menatap Daniel, lalu menggendong anaknya.

“Daniel abis nolongin om Johny? Anak ayah pinter banget,” puji Raiden sambil mencium pipi anaknya.

“Kami permisi masuk duluan, yah, Mas.” Raiden menatap Johny dengan ramah, lalu berbalik dan berjalan masuk ke apartemen.

Perasaan Nisa jadi tidak enak karena tidak bisa menolong pria itu. Namun mau bagaimana lagi? Tugasnya memang harus menuruti orang tua Daniel itu kan?

“Pindahan Nis?” tanya Raiden saat mereka sudah masuk kembali ke apartemen.

Nisa mengernyit bingung. “Nggak tau juga, Mas. Saya kan orang baru juga di sini.”

Raiden mengangguk kecil. Ah, kenapa juga ia bertanya kepada Nisa yang baru saja datang ke sini. Tapi sepertinya memang orang baru.

Raiden teringat sesuatu, tadi, saat ia keluar dari lift. Ia bisa dengan jelas melihat tatapan pria itu yang mengarah kepada Nisa dengan tatapan ... Intens?

“Jangan terlalu cepat akrab dengan orang baru, Nisa,” petuah Raiden sambil membawa Daniel ke ruangan bermain di apartemen itu.

Mendengar wejangan pria itu membuat Nisa sedikit bingung. Apakah Raiden sedang peduli kepada wanita itu atau takut anaknya dijaga sama orang sepertinya yang mudah sekali bergaul dengan orang lain?

“Nisa? Bisa tolong buatkan saya teh hangat?” pinta Raiden dari ruangan itu.

“Iya Mas,” seru Nisa sambil berjalan ke arah dapur.

Diambilnya gelas yang berada di dalam lemari khusus mugh dan gelas, ia pun mulai menaruh gula sesuai dengan takaran yang pernah diberitahu pria itu. Setelah selesai ia hendak menaruh teh di atas meja makan, di saat itu tiba-tiba saja ponselnya berdering dari saku bajunya.

Tertera dengan jelas nama Dimas di sana. Tumben sekali adiknya itu menelpon di jam-jam seperti ini.

“Hallo dek?” sapa Nisa.

[ “Ini kakaknya sih mas ini yah?” seru seseorang di sebrang sana. ]

Kening Nisa bertautan, bingung karena bukan adiknya yang menjawab sapaannya itu. Seketika firasat wanita itu menjadi tidak enak. Jantungnya pun mulai berdetak cepat di dalam sana. Ada apa ini?

“Iya, Pak. Ini ponsel adik saya,” jawab Nisa dengan nada penuh kekhawatiran.

[ Terdengar suara motor lalu lalang dengan jelas di seberang sana, bahkan ada beberapa orang yang mengobrol. “Iya. Ini hape masnya ketinggalan pas pesan makanan di warung saya,” jelas bapak-bapak itu. ]

Tanpa sadar wanita berambut panjang itu membuang napas lega. “Bapak di mana sekarang?”

Setelah si bapak-bapak itu menjelaskan lokasi keberadaannya. Nisa langsung mematikan sambungan telponnya, tentu saja ia tidak lupa berterima kasih kepada si bapak yang mau berbaik hati mengembalikan ponsel Dimas. Di mana lagi ia bisa menemukan orang-orang baik seperti itu? Sekarang sudah sedikit jarang ia temukan, apalagi di kota-kota besar. Hidup terlalu susah sehingga tindakan yang tidak benar pun dibenarkan agar bisa bertahan hidup.

Sepertinya lebih baik sekarang Nisa meminta izin kepada Raiden untuk pergi mengambil ponsel adiknya itu dengan cepat, selagi mereka sedang bermain di ruangan itu.

Untung saja jarak warung yang dimaksud bapak tadi cukup dekat dengan indekosnya dan Dimas sehingga tidak perlu repot-repot terlalu lama di luar.

“Permisi Mas Raiden. Saya boleh izin keluar cepat-cepat? Ponsel adik saya ketinggalan di warung terus si pemilik warungnya nelpon ke saya buat ambil ponselnya,” jelas Nisa dengan rinci dan jujur.

Raiden memeluk Daniel. “Saya dan Daniel antar?” Bapak dan anak itu berjalan ke arah ruang makan.

“Nggak usah, Mas. Nanti saya pesan ojek saja,” tolak Nisa tidak enak sekaligus tidak mau merepotkan pria itu.

Raiden menyeruput tehnya. Lalu meletakkannya kembali di atas meja. “Sekalian saya mau ke toko sebentar. Mau beli susu untuk Raiden beberapa barang lainnya,” jelasnya.

Mau bagaimana lagi jawaban Nisa selain menyetujui saja ucapan Raiden itu.

Mereka bertiga pun berjalan keluar apartmen. Nisa melirik ke sebelah kanan, di mana apartmen Johny yang sudah kosong, tidak ada peralatan apapun lagi, bahkan di samping lift.

“Auniii! Auniii,” seru Daniel meronta meminta dipeluk oleh Nisa di dalam lift.

Nisa melirik Raiden, yang bernyata sedang menatapnya juga dari bayangan diri mereka yang tampak di besi lift.

“Mas? Boleh saya pegang Daniel?” seru Nisa.

“Ah. Boleh-boleh. Ini.” Raiden memberikan Daniel dari pelukannya kepada wanita di sebelahnya itu.

Daniel langsung membaringkan kepalanya di ruas leher Nisa dan kedua tangannya memeluknya dengan erat. Hal itu tentu saja tidak lepas dari pengamatan Raiden.

“Daniel cepat nyaman yah sama kamu?” seru Raiden saat pintu lift terbuka.

“Syukur mas. Daniel anaknya nggak rewel, pinter,” akuh Nisa sambil mengusap punggung Daniel dengan lembut.

Terlihat senyum manis yang telah tertarik dengan sempurna di wajah pria itu. “Makasih, yah, Nis.” Nisa menjawabnya dengan anggukan kepala.

Setibanya basmen mobil, Raiden langsung membuka pintu untuk Nisa dan Daniel yang berada di pelukannya.

“Makasih, Mas,” seru Nisa sambil memasuki mobil.

Setelah itu, Raiden masuk ke dalam mobilnya. Pria berusia 30 tahun itu melirik ke arah Daniel yang tidak mau lepas dari Nisa.

“Nanti di toko Daniel jalan aja, yah. Aunty Nisa capek digendong terus. Kan Daniel udah besar, kasian aunti kurus gini ntar tulangnya sakit semua,” jelas sang ayah sambil membelai kepala Daniel.

Nisa menatap Raiden dengan tatapan mata yang sangat menggemaskan. Di pikirannya kini sedang menganalisis kesimpulan apa yang bisa dirinya ambil dari perkataan Raiden barusan. Jadi dirinya harus senang atau bersedih?

“Alamat?” tanya Raiden setelah keluar dari basmen apartemen.

“Huh?”

“Alamat tempat ponsel adikmu tadi ketinggalannya di mana?” Perjelas Raiden.

To be Continued

A.n:
Terima kasih sudah mampir ke ceritaku ini yang masih banyak kekurangannya.
Jangan lupa untuk vote komen dan share cerita ini ke teman-teman kalian ya. Terima kasih. 🦋
P.s: ingat senyum itu ibadah. 🌞 Kiseu. -3-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro