Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8a

"Bagaimana?"

"Belum siuman, Tuan. Tapi, demamnya sudah mulai reda."

"Bahaya untuk nyawanya?"

"Saya kira, dia sudah melewati masa kritisnya. Semoga bisa secepatnya sadar."

Selama beberapa hari, Cleora dilanda demam dan hanya terbaring di ranjang. Drex membawa seorang dokter dan suster untuk merawatnya. Ada gigitan anjing di tangan dan kakinya, serta tubuhnya luka-luka karena cakaran. Dengan tubuh yang penuh luka dan kulit lebam, Cleora pingsan selama berhari-hari.

Tidak ada yang tahu, kapan gadis itu akan siuman. Dokter sudah mengupayakan yang terbaik. Drex menawarkan diri untuk membawa ke rumah sakit yang lebih besar dan lengkap tapi ditolak oleh sang dokter.

"Yang sakit bukan hanya tubuhnya, tapi juga jiwanya. Dia harus punya semangat hidup. Sepertinya, pasien ini tidak ingin sadar kembali."

Perkataan sang dokter membuat Drex tertegun. Ia menatap Cleora yang berbaring dengan perban membalut tubuh. Terlihat kecil dan pucat di atas ranjang besar. Sebenarnya, gadis ini mati atau hidup, tidak ada urusan denganya. Ia hanya perlu mengubur di tanah kalau memang Cleora tidak selamat, tapi nuraninya menolak untuk bersikap kejam. Apa yang baru saja didengar dari dokter membuatnya berpikir.

Setelah semua orang meninggalkan kamar dan hanya tersisa dirinya bersama gadis yang sedang tak sadarkan diri, Drex mendekat. Meraih tangan Cleora dan meremasnya. Jari jemari gadis itu terlihat mungil dalam genggamannya. Ia mengusap wajah Cleora yang pucat, mengingat saat pertama kali membawanya ke rumah ini. Sangat cantik dalam balutan gaun pengantin. Hari ini, kecantikan itu disingkirkan rasa sakit.

Ia menyelusuri tubuh Cleora, menyadari kalau terlihat sangat kurus. Apakah Cleora tidak pernah makan selama di rumah ini, ataukah gizi makanan tidak ada yang masuk ke tubuh karena terlalu tertekan? Drex tidak tahu. Cleora bergerak dan Drex menarik genggamannya tapi jemari gadis itu mencengkeram kuat.

"Mama, Mama, sakiiit. Maaa!"

Drex menghela napas panjang, mendengar gadis itu mengigau. Sepertinya, Cleora memang merindukan keluarganya. Entah dorongan apa yang membuat Drex mengusap kening Cleora dan berbisik lirih. "Kalau memang kamu ingin bertemu keluargamu, cepatlah sadar."

Cleora terus merintih dalam tidur. Drex bangkit dengan salah tingkah. Ia ingin menarik tangannya tapi Cleora terus menggenggam kuat. Akhirnya, ia hanya bisa duduk dan menunggu gadis itu kembali pulas.

Di lantai bawah, Baron menatap Mateo yang menunduk. Semenjak insiden Cleora di hutan, bocah itu tidak berhenti menyalahkan diri sendiri.

"Kamu nggak mau makan juga?" tegur Baron.

Mateo menggeleng. "Miss masih sakit."

"Memang. Kamu berencana mau mati kelaparan kalau Miss Cleora nggak siuamn?"

Lagi-lagi Mateo menggeleng. "Aku salah, ha-harusnya awasi Miss." Air mata bocah itu menetes dan membasahi pipi.

Baron menghela napas panjang, dari kesal menjadi kasihan sekarang. Ia mengerti Mateo tertekan, meskipun tidak ada yang menyalahkan dirinya, anak itu tetap bersedih. Terlebih saat melihat kondisi Cleora yang belum stabil. Mateo menganggap, dirinya lalai menjaga Cleora.

"Tuan Drex tidak menyalahkanmu. Kenapa kamu menangis?"

"Ta-tapi, Miss belum siuman."

"Dia akan siuman sebentar lagi." Jenggal muncul, menatap makanan di dalam piring yang masih utuh dan bocah yang sedang duduk dengan air mata berderai. Mendengar ucapannya, Mateo mendongak penuh harap.

"Be-benarkah, Tuan?"

Jenggal mengangguk. "Mana pernah aku bohong padamu. Tuan Drex sedang merawatnya dan aku yakin, paling lambat besok dia akan siuman. Sebaiknya kamu makan yang banyak, karena begitu Miss Cleora bangun, kamu harus menjaganya."

Mateo ternganga, meneguk ludah. "Saya masih boleh menjaga Misss?"

Jenggala mengacak-acak rambutnya. "Tentu saja. Kamu adalah teman terbaik Miss Cleora. Dia akan sedih kalau melihatmu kurus karena kurang makan. Ayo, habiskan makananmu."

Mateo mengangguk dan mulai menyantap makanan yang disajikan Baron. Bocah itu tidak menyadari pandangan suram yang diarahkan Jenggala pada Baron. Sebenarnya, tanpa perlu dikatakan Baron tahu kalau Jenggala hanya menghibur Mateo. Bisa dikatakan, keadaan Cleora masih sangat kritis. Tapi, mereka tidak pernah berhenti berharap kalau gadis itu akan segera siuman.

"Tuan bilang, makan malam diantar ke atas," bisik Jenggala di luar jangkauan pendengaran Mateo.

Baron mengangguk. "Aku siapkan."

Seperti itulah, Drex yang menemani Cleora selama gadis itu berbaring. Sesekali keluar hanya untuk mandi dan berganti pakaian, atau bicara dengan para pengawalnya. Baron mengantarkan makanan ke kamar dan ruang makan yang biasanya selalu ramai kini sunyi. Di hari ketujuh, Cleora mulai menunjukkan tanda-tanda membaik. Drex merasa lega karena masa kritis terlewati.

"Kamu harus sadar kalau ingin pulang." Hanya itu yang dibisikan Drex di telinga Cleora yang terbaring di atas ranjang.

Hari-hari berlalu dalam gelap. Cleora seolah sedang bermimpi, berjalan tak tentu arah di jalanan panjang dan berdebu. Ia merasa haus, ingin minum tapi tak seorang pun ditemui di jalan. Ia sudah merasa lelah, ingin menyerah, tapi sebuah suara selalu membujuknya untuk terus.

"Kalau kamu ingin bertemu keluargamu, jangan menyerah."

Suara itu terus berdengung di telinganya. Ia menggeleng, mencoba menepiskan suara itu dan mengatakan ingin minun, tapi seolah ada tangan yang selalu terulur di depannya.

"Jangan menyerah. Sebentar lagi kamu sampai."

Cleora merintih, merengek, dan terjatuh di tanah yang keras. Bersiap untuk tertidur panjang hingga sebuah cahaya membuatnya silau. Ia mengerjap, membuka mata lebar-lebar dan merasa tubuhnya tersedot ke dalam cahaya itu.

Ia membuka mata dengan perlahan. Sedikit silau karena cahaya matahari yang menyorot terang di kamarnya. Cleora mendesah, merasakan sesuatu yang berat menahan tubuhnya. Pandangannya jatuh pada sosok laki-laki yang tertidur di sampingnya. Drex, terlelap di atas kursi dengan lengan melingkupi tubuhnya. Cleora menghela napas panjang, dan berdehem.

"Tuan Drex," panggilnya lirih.

Tidak ada jawaban. Ia mencoba menggerakkan tubuh tapi sia-sia, berat Drex menahannya.

"Tuan ...."

Kali ini sedikit lebih nyaring dan berhasil. Drex mengangkat kepalanya dari atas ranjang, menatap Cleora yang sudah tersadar.

"Kamu bangun?"

"Ya."

"Syukurlah."

Tanpa banyak kata, Drex bangkit dari kursi. Sedikit meringis saat merasakan punggungnya sakit. Melangkah ke pintu dan memencet bel. Tak lama Baron datang.

"Tuan."

"Cleora sudah siuman. Panggil dokter!"

Baron mengangguk. "Baik, Tuan."

Cleora menatap punggung Drex yang menjauh. Tangannya teretang, ingin menjangkau laki-laki itu, menginginkannya, dan tidak ingin Drex menjauh. Tapi, laki-laki itu sudah menghilag di balik pintu.

"Syukurlah, Miss Cleora akhirnya siuman," ujar Baron sambil tersenyum.

Cleora menatapnya. "Berapa lama aku tidur?"

"Tujuh hari. Selama itu Tuan Drex yang merawat dan menjaga, Miss. Sekarang, beliau ke bawah mungkin untuk mandi dan tidur. Selama menjaga kamu, Tuan Drex tidak pernah tidur nyenyak."

Sesuatu menyentuh hati Cleora. Ia tidak menyangka kalau pelariannya berakhir di ranjang kamar. Terakhir yang ia ingat adalah binatang buas yang menerkamnya. Rupanya, Drex datang untuk menolongnya. Cleora digerogoti rasa sesal karena sudah bertindak bodoh dan membahayakan nyawa.

Dokter datang bersama seorang suster. Memeriksa seluruh tubuh Cleora dan membantunya berganti pakaian. Dengan gembira sang dokter mengatakan kalau luka-luka Cleora akan membaik.

"Paling penting adalah istirahat cukup dan makan makanan yang bergizi. Makanan Baron akan memulihkan tenaganmu dan perhatian Tuan Drex, akan membuatmu lekas membaik."

Kata-kata sang dokter tanpa sadar membuat Cleora tersenyum. Matanya mencari-cari sosok Drex tapi tidak menemukan. Semenjak ia siuman, sampai sekarang laki-laki itu tidak pernah lagi datang ke kamarnya. Ia mendengar dari Baron kalau Drex pergi untuk mengerjakan sesuatu yang tertunda karena menjaganya. Perasaan Cleora makin tidak enak dibuatnya.

Mateoa datang keesokan harinya. Bocah itu menangis dan menyalahkan diri sendiri karena tidak mampu menjaga Cleora.

"Aku yang salah, Mateo. Kamu nggak salah apa-apa."

"Tapi, Miss. Saya lalai."

"Nggak! Kamu nggak lalai. Aku yang terlalu licik. Sudah, janga menangis. Aku ingin kamu menemaniku di kamar dan membaca buku untukku. Mau?"

Mateo mengangguk antusias, membawa semua bukunya ke atas dan menemani Cleora bercerita. Bocah kecil itu bicara dengan jujur tentang Drex yang tidak pernah turun selama Cleora sakit. Tidak pernah juga keluar rumah. Selama hampir 24 jam terus berada di sisi Cleora.

"Tuan Drex bilang, akan mengajakku berlibur ke pantai kalau Miss sudah siuman. Kata Tuan Drex, Miss juga butuh liburan."

Cleora ingin membantah, dengan mengatakan secara lantang bukan liburan yang dibutuhkannya sekarang tapi kehadiran Drex Camaro. Sudah tiga hari ia siuman, sudah bisa turun dari ranjang dan berjalan keliling kamar tapi Drex tidak juga muncul.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro