Bab 7a
Setelah percobaan pertama untuk membuat Drex mengamuk, gagal. Cleora memikirkan cara lain. Ia tidak akan menyerah sampai bisa keluar dari rumah ini. Hari-hari yang dijalaninya bagai dalam neraka karena terkurung di rumah besar ini tanpa pernah keluar. Ia menghitung hari ke hari dengan bosan, terjebak dalam rutinitas yang sama setiap hari.
Pagi bangun tidur, sarapan di teras. Di lanjut dengan mengelilingi rumah, tentu saja ia tidak sendiri melakukannya, ada Mateo yang selalu mendampingi. Dari observasinya, ia tahu kalau kamar besar dengan dinding kaca menghadap ke belakang adalah kamar Drex. Sedangkan si kembar dan Baron berada di lantai satu. Untuk para pelayan lain, mereka punya tempat tinggal sendiri di belakang.
Cleora penasaran dengan rumah kecil yang letaknya agak jauh dari rumah utama. Ia tahu itu bukan rumah pelayan karena dijaga ketat. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan di dalam sana. Cleora tidak bisa mencari tahu apa isinya, karena ketatnya penjagaan. Orang-orang berpakaian hitam akan menghalaunya kalau dirasa sudah sangat dekat jarak antara dirinya dan rumah itu.
"Mateo, rumah itu isinya apa?" tanyanya coba-coba pada Mateo yang setia mendampinginya.
Bocah kecil itu menggeleng. "Nggak tahu, Miss. Saya nggak boleh ke sana."
"Ehm, nggak pernah ketemu juga sama orang-orang yang menghuni rumah itu?"
"Nggak, Miss. Dilarang sama Tuan Drex."
Jawaban Mateo makin membuat Cleora penasaran. Ia akan terus mencari tahu, tentang apa yang tersembunyi di rumah itu. Barangkali, bisa membantunya keluar dari rumah ini.
Makin hari kerinduannya pada Lukas dan keluarganya makin mencengkeram dada. Setiap saat ia teringat kebersamaan dengan Lukas. Saat mereka berkencan, bermesraan, atau pun mengobrol. Waktu-waktu yang dihabiskannya bersama Lukas cukup menyenangkan.
Lukas, untuk beberapa hal memang sangat penuntut. Tidak suka dibantah, dan cenderung emosian. Tapi, secara umum perlakukan sang tunangan padanya sangat baik. Cleora nyaris tidak menemukan keburukan Lukas. Tampan, pintar, terpelajar, dan datang dari keluarga terpandang, Lukas adalah mimpi bagi setiap gadis di kota. Cleora merasa beruntung bisa menjadi istrinya, meskipun pada awalnya ragu-ragu saat menerima lamaran. Bujukan dari kekasih dan keluarga akhirnya meluluhkan hati Cleora. Mimpi-mimpi tentang keluarga kecil terbentuk dalam benaknya dan kini semua hancur karena Drex.
Sering kali saat berjalan-jalan, ia akan memperhatikan sekitar rumah. Gerbang tidak ada yang menjaga dimulai pukul tujuh malam. Baron akan sibuk dengan dapur dan tidak pernah mempehatikan siapa saja yang keluar masuk. Mateo berdiam diri di kamarnya untuk membaca atau menulis. Waktu yang tepat untuk melarikan diri kalau Drex dan dua pengawalnya tidak ada. Yang diperlukannya adalah kesempatan dan ia sedang mencari kesempatan itu.
Cleora mengalihkan pandangan dari gerbang dan berniat masuk ke kamar saat bertemu dengan salah satu si kembar, Jenggala. Mereka saling menatap dan laki-laki beramput pirang itu menyeringai.
"Jangan bilang sedang menyelidiki rumah kami."
Cleora mendengkus. "Bukan urusanmu!"
"Ah, benarkah? Setahuku, rumah ini adalah tanggung jawab kami, Miss. Ngomong-ngomong, aku tertarik satu hal sama kamu."
"Sama aku? Soal apa?"
"Tunanganmu."
Perkataan Jenggala tentang Lukas membuat Cleora mengernyit. "Apa urusannya Lukas sama kamu!"
"Nah, itu dia yang mau aku tanya sama kamu. Tidak ada urusannya dia sama aku. Hanya saja, aku sedikit penasaran, apa yang bikin kamu suka sama dia." Jenggal mengamati Cleora dari atas ke bawah dengan intens. "Kamu cukup cantik, sexy, dan sepertinya pintar. Bisa-bisanya kamu bertunangan dengan orang licik seperti dia."
Cleora mengepalka tangan, menatap Jenggala dengan penuh kemarahan. "Siapa kamu? Berani mengkritik tunanganku. Kalau bukan karena kalian, aku sudah menikah dengan Lukas."
Jenggala tertawa terbahak-bahak, seolah makian Cleora adalah hal yang lucu baginya. "Aduh, kamu buta karena cinta rupanya. Semoga saja, mata batinmu terbuka biar kamu tahu siapa sebenarnya tunanganmu." Menghentikan tawa, Jenggala kali ini berujar serius. "Perlu kamu tahu, tuanku tidak akan pernah melakukan suatu hal tanpa imbalan yang besar. Menurutmu, apa imbalan untuknya saat menculikmu? Dari siapa dan kenapa? Apa kamu pernah memikirkan itu?"
Cleora menghela napas panjang, menyipitkan mata ke arah Jenggala. Ia tidak mengerti apa maksud perkaaan dari laki-laki pirang di depannya. Tapi, sepertinya Jenggala tahu sesuatu dan sengaja memancingnya untuk bicara.
"Semua orang tahu, apa dan bagaimana Drex Camaro. Yang diingikan pasti tidak jauh dari uang. Apalagi?" ucapnya ketus.
Jenggala berdecak keras sambil menggeleng. "Miss Cleora, hargamu tidak lebih tinggi dari keluarga presiden. Kalau kami bisa menculik mereka untuk mendapatkan tebusan yang banyak, kenapa harus kamu?"
"Apaa?"
"Pikirkan sendiri? Kamu perempuan pintar. Pasti mengerti."
"Kamu mengada-ada!"
"Terserah!"
Mereka berdebat sampai tidak mendengar langkah kaki mendekat. Jenggala yang lebih dulu menyadari kedatangan Drex. Laki-lai pirang itu menyunggingkan senyum seketika.
"Tuan, mau kemana?"
Drex terdiam, mengamati bergantian pada pengawalnya lalu pada Cleora yang berdiri dengan tubuh kaku.
"Apa yang kalian bicarakan?"
Jenggala mengangkat bahu. "Tidak ada, Tuan. Hanya mengingatkan Miss Cleora, untuk hati-hati karena di hutan banyak binatang buas." Membungkuk kecil, Jenggal meninggalkan Cleora bersama Drex. Keduanya hanya saling pandang tanpa bicara.
"Apa kamu berniat melarikan diri dengan menerobos hutan?"
Pertanyaan Drex membuat Cleora tidak dapat menahan kekagetannya. Laki-laki bermata abu-abu itu bisa membaca pikirannya dengan tepat.
"Siapa pun yang jadi tawananmu, akan berpikiran yang sama. Melarikan dari sebelum kamu bunuh!"
Drex tersenyum tipis. "Kalau aku berniat membunuhmu, sudah aku lakukan dari pertama menculikmu. Aku yakin, satu peluru di jantungmu, sudah cukup untuk mencabut nyawamu."
Bulu kuduk Cleora merinding, saat mendengar perkataan Drex. Laki-laki itu mengucapkan tentang pembunuhan seolah-olah itu hal biasa. Tidak pernah ia temui sebelumnya, orang yang menganggap kalau membunuh adalah hal biasa. Apakah Drex masih punya hati nurani? Siapa orang tua dari laki-laki itu? Apakah mereka tahu kalau anak yang dilahirkannya menjadi pembunuh berdarah dingin?
Meneguk ludah untuk membasahi tenggorokannya yang kering, Cleora mencoba bersikap tenang. Terakhir kali laki-laki itu mengancamnya di kolam renang, kali ini demi menjalankan rencannya, ia harus bersikap baik dan tidak menarik perhatian.
"Kamu nggak mau nyawaku, berarti apa yang kamu inginkan selama menahanku di sini? Uang bukan?"
"Mungkin." Drex menjawab acuh tak acuh.
"Bagaimana kalau aku membantumu untuk mendapatkan uang atau apa pun yang kamu mau. Asalkan lepaskan aku."
Drex melirik sekilas lalu meninggalkan Cleora.
"Tuan Drex, aku rasa ini kesepakatan yang bagus untuk kita. Dengan begitu aku bisa bebas dan kamu mendapatkan apa yang kamu mau. Aku ... aduuh!"
Dalam ketergesaan untuk menyusul Drex, Cleora tidak memperhatikan ada pot bunga kecil yang menghalangi jalan. Ia terantuk dan nyaris terjatuh kalau saja Drex tidak membalikkan tubuh dan menahannya.
Drex memeluknya, Cleora terkesiap. "Te-terima kasih." Ia berusaha meneggakn tubuh tapi Drex menahan pinggangnya.
"Kemarin kamu memakai bikini sialan itu untuk menggoda. Hari ini, kamu sengaja menjatuhkan diri dalam pelukanku."
Wajah Cleora memanas. "Sengaja? Aku tidak sengaja!"
"Benarkah? Mungkin kamu ingin merasakan bagaimana rasanya berada dalam pelukanku?" Drex menyentakkan pinggang Cleora dan tubuh mereka menempel dengan erat. "Yakinlah, suatu saat nanti kalau kita punya kesempatan untuk bergumul di ranjang. Aku pastikan kamu berteriak meminta ampun. Bukan kesakita tapi nikmat."
Diucapkan dengan nada penuh kemesuman, Cleora nyaris memukul wajah Drex. Tapi, laki-laki itu melepaskan tubuhnya dengan cepat dan meninggalkan Cleora yang mamatung menahan rasa kesal.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro