Bab 5b
Cleora menggeleng. "Aku nggak tahu. Kamu yang harus menjelaskan padaku. Apa yang kamu inginkan dengan menculik dan menahanku di sini? Kamu ingin uang? Oke, kita bisa kerja sama untuk mendapatkannya. Aku bisa membujuk orang tuaku!"
Terdengar dengkusan keras, Jenggala mengangkat sebelah alis dengan geli. "Maaf, Cleora. Hanya ingin meluruskan sedikit, menurut penilaianmu setelah seminggu tinggal di sini, kira-kira lebih banyak uang siapa, antara tuanku dan orang tuamu?"
Cleora ingin membantah perkataan Jenggala tapi akhirnya terdiam. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah yang besar dengan perabot berkualitas tinggi. Deretan mobil mewah di garasi, dan juga lokasi rumah yang tersembunyi dan privat. Ia menghela napas panjang, menyadari apa yang dikatakan Jenggal benar adanya. Bisa jadi, kekayaan orang tuanya tidak ada seujung kuku Drex. Jadi, apa alasan ia diculik dan dibawa kemari kalau bukan karena uang? Setahunya, sang papa tidak pernah terlibat aktivitas ilegal. Pekerjaan sang papa sebagai anggota dewan sekaligus pengusaha tidak pernah berurusan dengan hal-hal kotor dunia hitam. Ada banyak misteri tersembunyi pada kisah penculikannya.
"Oke, kalau bukan minta uang. Pasti ada sesuatu yang kalian inginkan, bukan maksudku Tuan Drex. Apakah kamu menginginkan papaku mendukung proyek atau pekerjaamu? Menculikku sebagai jaminan?" Sekali lagi Cleora berusaha untuk menebak.
Air muka Drex tetap datar, tidak berubah karena tuduhan Cleora. Meski begitu, sinar matanya menunjukkan rasa geli. Ia tidak tahu apakah Cleora memang polos atau hanya pura-pura polos. Seharusnya, gadis itu sedikit banyak mengerti kalau pekerjaan sang papa tidak sepenuhnya bersih. Lagi pula, di dunia ini mana ada dewan kota yang bersih dari kejahatan? Tidak ada. Kerakusan mereka justru melebihi masyarakat biasa.
"Tuan Drex?"
Drex meletakkan gelas, meninmbang-nimbang perkataan.
"Ada banyak hal yang kamu tidak tahu."
"Kalau gitu, beritahu aku."
"Tidak mungkin."
"Kenapa?"
"Kamu harus mencari tahu sendiri!"
Cleora ternganga, percakapan pendek dengan Drex berakhir begitu saja dengan dirinya ditinggal sendirian di ruang makan. Drex bangkit disusul dengan Jenggal dan Janitra. Cleora masih belum pulih dari kebingungannya saat Mateo datang.
"Miss, mari saya antarkan ke kamar."
Cleora mengangguk, meninggalkan ruang makan dan menaiki tangga. Ia masuk kamar, mendengar bunyik klik pintu yang terkunci dari luar. Sekali lagi terkurung dan tidak bersentuhan dengan dunia luar. Seakan-akan yang baru saja terjadi adalah mimpi yang tidak nyata.
Apa yang sebenarnya terjadi antara Drex dan orang tuanya? Kenapa harus dirinya yang diculik? Kenapa bukan Carolina atau Clavin? Bukankah mereka semua anak-anak dari Haman? Apakah semua ada sangkut pautnya dengan Lukas? Benak Cleora diliputi banyak pertanyaan.
Berdiri di teralis jendela, ia melihat Drex melangkah tergesa ke bagian belakang rumah melalui jalanan setapak di samping rumah. Ada si kembar yang mengikuti. Mereka ibarat satu tubuh dengan dua bayangan. Cleora mendesah, menekan perasaan rindu yang membuncah pada keluarganya dan juga Lukas.
"Apa kamu baik-baik aja, Sayang? Jangan bersedih. Aku pasti mencari cara untuk keluar dari sini secepatnya." Cleora bergumam dengan perasaan tertekan.
Menyusuri jalan setapak yang remang-remang, Drex melangkah cepat diikuti Jenggala dan Janitra. Tiba di rumah yang lebih kecil dengan empat penjaga bersenjata, Jenggala memberi tanda untuk membuka pintu. Mereka memasuki sebuah ruangan yang terang benderang dikeliling diding putih. Seorang laki-laki tergantung di tengah ruangan dengan tangan terikat ke atas dan tubuhnya setengah lunglai di lantai. Drex mendekat, mengangkat dagu si laki-laki dan melihat dengan pandangan jijik.
"Bagaimana Felix? Sakit?"
Felix meringis, ada darah menetes di ujung bibirnya.
"Bedebah!"
Drex mencengkeram dagu laki-laki itu dengan kuat.
"Masih melawan? Hebat juga kamu."
Felix kembali mendesah. "Nggak ada yang harus aku takuti, Drex."
"Benarkah?"
Janitra maju, memutari mereka dan berdiri di belakang Felix. Tanpa kata, ia menarik kaki laki-laki itu, membuatnya setengah berlutut, dengan sepenuh tenaga menghantam bagian belakang paha Felix dengan sepatu butnya. Jerit kesakitan memenuhi ruangan. Felix tersengal, matanya berair.
"Bangsat!" makinya di antara desah kesakitan.
Wajah Drex kaku. "Masih belum sadar rupanya. Kalau nasibmu berada di tanganku. Padahal, kamu hanya perlu mengatakan, di mana barang-barangku. Semua masalah akan selesai Felix."
"Drex! Aku tahu kamu menginginkan barang itu. Itulah kenapa kamu menculik Cleora? Kamu pikir me-mereka akan menukar barangmu dengan gadis itu? Kamu mimpi! Hahaha!"
Felix kembali berteriak saat Janitra menghantam lututnya. Bunyi berderak mengerikan terdengar saat laki-laki itu terjatuh ke lantai. Rambut dan tubuhnya basah oleh keringat dan darah, sementara lebam dan luka-luka ada di setiap sentimeter wajah. Meski begitu, Felix masih tetap tertawa setiap kali Drex bertanya. Seakan tidak takut kalau nyawanya bisa sewaktu-waktu dicabut.
"Ka-kamu bisa membunuhku dan gadis itu, tapi pe-percayalah. Barangmu ti-tidak akan pernah dikembalikan."
Drex bangkit dengan jijik. Menerima selembar sapu tangan yang diulurkan penjaga, ia membersihkan jemarinya dari percikan darah. Ia menatap Felix yang masih tertawa dengan menahan kesakitan. Ia tahu. Laki-laki itu tidak berbohong tentang barangnya.
"Kamu memang tidak akan memberitahu di mana barang-barangku Felix, tapi anakmu," ucap Drex lantang.
Felix melotot. "Kamu gila! Jelas-jelas kamu tahu aku tidak menikah. Mana mungkin—"
Suara Felix terpotong saat Jenggala membuka ponsel dan menyalakan video. Seorang anak perempuan berambut pirang yang dikucir ekor kuda, berlarian di taman. Anak itu setengah tertawa, memainkan gelembung sabun di tangannya dan meniup ke udara. Suara tawanya terdengar nyaring dan menyenangkan.
"Di mana papamu, Anak Cantik?" Sosok Jenggala muncul, memegang es krim dan diberikan pada anak itu.
"Papa kerja." Anak itu berkata riang sambil menjilati es krimnya.
"Wah, papamu pasti baik."
"Memang, dan sayang sekali sama aku."
"Anak baik. Siapa namamu tadi?"
"Orlin."
"Orlin mau nambah es krim atau kentang goreng."
"Mau kentang goreng, uncle."
Felix terbelalak ngeri saat melihat Jenggala menggandeng anak perempuan itu dan mereka makan kentang sambil duduk di bangku taman. Jenggala mematikan ponsel dan tertawa.
"Kamu tahu Orlin memanggilku apa? Uncle yang baik."
Felix menggeleng. "Tidaak! Jangan sentuh dia. Jangan sentuh!"
"Bukannya tadi kamu bilang nggak menikah dan punya anak Felix?" ucap Drex.
"Iya, memang. Orlin itu po-ponakan. Anak kakakku. Drex, jangan sakiti dia. Aku mohoon, jangan sakiti diaaa!" Felix meraung, menunduk di lantai.
Drex menatap tak berkedip. "Tergantung, seberapa besar kejujuranmu. Ingat, Felix. Aku akan tahu kalau kamu membohongiku."
"Ba-baiklah, aku akan jujur. Le-lepaskan aku. Janji akan jujur."
Drex memberi tanda pada Janitra. Laki-laki berambut perak itu melonggarkan ikatan Felix dan membiarkan tubuh laki-laki itu ambruk ke lantai. Saat melihat Felix merangkak mendekati Drex, ia mengayunkan kaki dan kali ini menendang tengkuk Felix. Dalam sekejap, laki-laki itu terkulai pingsan.
"Rawat luka-lukanya, beri makan. Jangan sampai dia keluar dari tempat ini!"
Drex memberi perintah pada para pengawalnya sebelum meninggalkan rumah kecil itu.
**
Extra
Jenggala memastikan Drex sudah di luar jangkauan pendengaran saat berbisik pada saudaranya. "Tuan Drex terlalu lembut pada gadis itu."
Janitra tidak menjawab melainkan mengangguk samar.
"Apa kita akan punya nyonya rumah?"
Janitra mendengkus. "Tutup mulut!"
"Hei, apa masalahmu?"
"Masalah utama ada di otakmu!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro