Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4b

Cleora melihat kendaraan Drex keluar dari halaman. Ia tersenyum tanpa sadar. Berarti laki-laki kejam itu sedang tidak ada di rumah. Ia memutar otak, menyusun rencana untuk keluar dari rumah ini. Ia tahu tidak akan mudah untuk menyelinap keluar, tapi paling tidak sekarang kesempatannya untuk mengamati keadaan. Ia harus bersikap baik, dan berpenampilan seperti gadis penurut. Mengganti pakaiannya dengan minidress hitam yang ditemukan dalam lemari, Cleora memanggil Baron, dan bertanya pada laki-laki itu apakah boleh keluar dari kamar. Ia sudah bosan terus berada di dalam, ingin menghirup udara segar. Baron menyetujui tanpa kata.

"Miss bisa berjalan-jalan di teras belakang ditemani Mateo."

"Siapa Mateo?"

"Salah satu anak buah Tuan Drex."

Ia sudah menduga akan ada pengawal untuknya tapi tidak masalah. Ia hanya ingin melihat-lihat, bukan untuk kabur. Setidaknya tidak sekarang. Ia perlu menyusun rencana yang matang.

"Baiklah, aku akan jalan-jalan dengan Mateo."

Cleora ternganga saat Baron membuka pintu kamarnya. Ada lorong yang menghubungkan langsung ke sebuah ruang kaca. Dari tempatnya berdiri, Cleora bisa melihat kalau ruangan itu memperlihatkan langsung pemandangan hutan.

"Mari, Miss. Kita turun!"

Cleora menyusuri tangga melingkar, mengagumi susuran tangga yang terbuat dari tembaga berkualitas tinggi. Ia tiba di lantai dasar di mana ada sebuah ruangan luas dengan sofa empuk serta perapian di dekat jendela. Ada lampu kristal besar tergantung di langit-langit, Cleora tanpa sadar mengagumi kemegahan dan kemewahan rumah Drex. Bahkan rumah orang tuanya yang kata orang-orang sangat mewah, tidak mendekati setitikpun kemegahan di sini.

"Miss, Mateo sudah menunggu."

Cleora menatap pada anak laki-laki bertubuh ramping dengan bola mata besar dan rambut ikal. Umur anak itu tak lebih dari 14 tahun dan saat melihatnya, Mateo membungkuk.

"Mari, Miss. Saya antar jalan-jalan."

Cleora merasa kalau Mateo bukan ancaman. Ia mengikuti langkah anak itu menuju teras belakang. Matea membuka pintu kaca dan menunjukkan padanya kolam luas dengan air biru. Kolam dengan halaman luas yang penuh tanaman bunga. Ada tembok beton kurang lebih dua meter yang membatasi rumah dengan hutan.

Cleora melangkah di sepanjang pinggiran kolam, mengamati bagaimana tembok itu berdiri bahkan tanpa kawat berduri.

"Sudah lama kamu kerja di sini, Mateo?" tanyanya mencoba basa-basi.

Mateo mengangguk. "Sudah tiga tahun, Miss."

"Hei, itu melanggar hukum. Bisa-bisanya Drex Camaro memperkerjakan anak di bawah umur?"

Mateo tersenyum. "Saya sekolah, Miss. Sesekali ada guru yang datang untuk mengajar membaca dan menulis. Tuan Drex memungut saya di jalanan sewaktu rumah orang tua saya kebakaran dan mereka meninggal. Saya kelaparan, kedinginan, dan kalau tidak ditolong Tuan Drex, mungkin saya sudah mati."

Cleora tercekat mendengar cerita Mateo. Ia menatap bocah yang sekarang melangkah di belakangnya.

"Kamu suka di sini?"

Mateoa mengangguk. "Sangat, Miss."

Cleora mengedarkan pandangan, melihat beberapa laki-laki membersihkan jendela dan pintu kaca. "Kenapa yang ada di sini semuanya laki-laki? Nggak ada satu pun perempuan?"

"Soal itu, saya kurang tahu, Miss."

Cleora kembali melanjutkan pengamatannya. Ia berpura-pura tertarik dengan tanaman merambat, padahal yang ingin diketahuinya adalah tebalnya tembok dan juga mengukur tinggi. Ia tetap mengobrol dengan Mateo, sementara matanya mengawasi pintu, jendela, dan apa pun yang bisa membantunya keluar dari sini. Ia tahu, tidak mungkin bisa pergi secara baik-baik. Satu-satunya cara adalah kabur.

Udara sore cukup terik, membuat Cleora keringatan. Baron muncul dengan dua gelas berisi sirup dingin dan meletakkannya ke meja kayu di dekat kursi malas.

Cleora mengajak Mateo minum. Ia duduk di kursi malas dan menyelonjorkan kaki. Tenggorokannya terasa nyaman setelah minum sirup. Ia memejam, untuk mengindari teriknya matahari sore. Angin bertiup malas, membelai tubuhnya. Tanpa sadar Cleora terlena. Selama beberapa malam ia tidak dapat memicingkan mata karena merasa takut di kamar itu, bisa berbaring di kursi malas dengan belaian angin adalah sesuatu yang membuat nyaman.

Kendaraan Drex memasuki halaman. Ia memanggil beberap pelayan untuk membuka bagasi.

"Taruh laki-laki itu di rumah belakang. Buat dia tetap pingsan, tapi jangan sampai mati. Aku akan menemuinya saat matahari sudah tenggelam."

Para pelayan itu mengangguk tanpa kata dan menggotong tubuh Felix yang berlumuran darah ke rumah belakang. Drex masuk diiringi oleh Jenggal dan Janitra.

"Tuan, mau membersihkan tubuh dulu? Makan malam sudah siap."

Drex mengangguk dan siap untuk ke atas saat melihat sesosok tubuh berbaring di kursi malas.

"Kenapa dia tidur di situ?"

Baron tersenyum. "Katanya bosan di kamar dan ingin jalan-jalan. Ada Mateo yang menemani."

Drex mengurungkan niat untuk naik, membuka pintu kaca dan memberi tanda pada Mateo untuk pergi. Ia menghampiri kursi malas, di mana ada Cleora yang terbaring dengan mata tertuutup. Mulut gadis itu sedikit terbuka, menandakan sedang tertidur pulas.

Drex membungkus di atas kursi, mengusap lembut anak-anak rambut yang menutupi wajah Cleora. Mendesah lirih hanya untuk didengar dirinya sendiri.

"Cleora, semoga saja kamu tidak kehilangan nyawa karena terjebak di kekacauan ini."

**

Extra

Jenggala mengusap tangan dan kakinya yang berdarah. "Sepertinya aku menghabisi dua puluh orang hari ini."

Janitra mencopot kaos dan memeriksa dadanya. "Bagus, hanya goresan kecil."

Jenggala melakukan hal yang sama, bukan hanya mencopot kaos tapi juga celana panjang dan memeriksa tubuhnya. "Aku juga hanya luka kecil," ucapnya puas.

Baron muncul dan menatap keduanya dengan terbelalak. "Apa apaan kalian? Ada Miss Cleora di halaman belakang dan kalian telanjang di sini? Masuk kamar!"
.
.
.
.
.Di Karyakarsa sudah bab 20

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro