Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4a

Ruangan seketika sunyi, orang-orang yang semula meremehkan mendadak duduk tegak di kursi mereka. Tidak sedikit pula bola mata menyorot ketakutan dan mereka berusaha menyembunyikannya. Drex masih mengisap rokok dengan tenang, menjentikkan abu ke lantai keramik coklat yang memang sudah kotor oleh debu dan bekas telapak kaki.

Orang-orang tidak ada yang berani bangkit dari kursi, terlebih untuk menentang laki-laki yang baru saja datang. Berdiri paling depan adalah bajingan paling kejam di kota. Ada desas desus kalau Drex yang mengendalikan kota. Gubernur yang sekarang menjabat adalah bonekanya. Drex yang memiliki tinggi 190 sentimeter, dengan alis lebat, rahang kokoh dan bekas luka di atas alis bagian kanan, berdiri menjulang menatap laki-laki bercelemek di depannya.

"Jangan tersinggung Drex, kabar yang beredar sekarang memang begitu. Kamu menculik pengantin orang," ucap Felix.

Drex membuang putung ke lantai dan menginjaknya. "Aku datang tidak untuk mendiskusikan itu. Sekarang aku tanya, di mana kamu sembunyikan barang-barangku."

Felix mendengkus. "Barang-barang apa yang kamu maksud? Jangan mengada-ada."

Drex menatap tajam. "Jangan menguji kesabaranku, Felix."

"Kenyataannya memang begitu, Drex. Kamu mengirim dua kontainer minuman beserta beberapa pucuk senjata ke negara bagian Barat. Dua container itu hilang? Kenapa kamu menuduhku?"

Drex mengangkat sebelah alis. "Aku tidak memberitahumu isi dari container itu? Kenapa kamu bisa menyebutkannya dengan lengkap?"

Felix ternganga lalu tertawa lirih. "Hanya mendengar desas-desus."

"Itu itu akurat. Mencurigakan sekali."

"Drex, kita sudah lama saling mengenal dan kamu masih menuduhku?"

"Tidak ada bedanya, Felix. Kita kenal berapa lama. Sekarang, kamu akan menunjukkan barang itu secara sukarela, atau aku harus memaksa?"

"Jangan memandang dirimu terlalu tinggi, Drex! Ingat, di sini kamu bukan siapa-siapa!"

Suara Felix meninggi, dan membuat orang-orang bangkit dari meja. Mereka menatap garang saat Drex melangkah ke depan diikuti oleh dua pengawalnya.

"Aku heran," ucap Jenggal dengan cukup lantang untuk didengar di seluruh ruangan.

"Kenapa?" Janitra yang menjawab.

"Kenapa mereka terpukau saat melihat kita?" ucap Jenggala sambil menyeringai/

Janitra menjawab pelan. "Karena kita tampan."

"Benar katamu. Kita terlalu tampan dan memesona."

Selagi si kembar bercakap, tidak ada satu orang pun yang berani menyahut. Kecuali tentu saja Felix, laki-laki itu tersenyum dan mundur dengan cepat ke arah pintu.

"Selamat datang di pestaku Drex Camaro! Senang rasanya bisa menjamu!" ujarnya sambil bertepuk tangan.

"Begitu? Tapi, sikapmu sama sekali tidak menunjukkan kamu senang, Felix?"

"Jangan berprasangka kawan."

Drex mengedarkan pandangan ke sekeliling, memasukkan kedua tangan ke dalam saku.

"Aku hanya ingin bicara baik-baik, tapi kamu tidak mengerti Felix. Kamu mengatakan senang melihatku, tapi kenapa ada banyak senjata teracung di belakangku?"

Selesai Drex berucap, bunyi senjata dikokang terdengar nyaring di ruangan. Tak lama terdengar tawa dari mulut Felix. Laki-laki bercelemek itu memberi tanda pada orang-orang untuk bersiap.

"Ini semua untuk kamu Drex!" seru Felix.

Drex menggeram. "Sambutan bagus." Ia menoleh pada dua pengawalnya. "Jenggala, Janitra, kalian siap bersenang-senang?"

Si rambut pirang mengangguk. "My pleasure, Tuan."

"Ah, jangan terlalu cepat. Kita main tangan kosong, Drex. Sudah lama kamu tidak menunjukkan bakat berkelahimu!" Felix bersuit lalu berseru. "Seraang!"

Drex tetap berdiri tenang saat orang-orang menyerbu dengan senjata teracung. Ia membiarkan dua pengawalnya melayani mereka. Jenggal dengan pedang panjang di tangan kanan, menebas dan menusuk siapa pun yang mendekat. Sementara Janitra, tidak segan segan menggores leher orang-orang itu dengan parangnyu yang bergerigi.

Bunyi senjata beradu, disertai pukulan, dan teriakan terdengar nyaring di seluruh ruangan. Tubuh-tubuh terkapar dengan luka-luka dan darah membanjiri lantai kotor. Drex menghunus pisau dari pinggang. Merengsek maju ke arah dapur dan tidak segan menusuk siapa pun yang menghalangi langkahnya. Ia setengah berlari menuju dapur, membuka pintu dan mendapati tidak ada felix di sana. Ia bergegas membuka pintu belakang, dan melihat sekelebatan tubuh Felix yang berusaha melompati pagar.

Drex berlari mengejar, terguling di tanah saat terdengar berondongan peluru. Ia mencabut pistol yang terselip di betis, dan membidik ke arah tanaman perdu. Dua orang penembak berhasil ia lumpuhkan, terus berlari ke arah pagar dan melompatinya, tidak peduli dengan peluru yang berdesing di telinga.

Ia mengeja Felix, di pertigaan jalan berhasil meraih leher laki-laki itu dan memitingnya. Tanpa ampu membantingnya ke jalan dan sebelum Felix menegakkan diri, ia menacapkan pisau di telapak kaki laki-laki itu. Jeritan nyaring penuh kesakitan terdengar dari mulut Felix.

"Drex! Ampuni aku. Kakiku, kamu gilaaa!"

Felix meraung saat Drex mencabut piasu dari telapak kakinya. Kali ini meraih telapak tangannya dan sebelum ia menolak, Drex meletakkan telapak tangannya di atas aspal dan kembali menancapkan pisau di sana. Jeritan menyayat kembali terdengar seiring dengan darah yang mengalir di sela jari jemari dan membasahi aspal yang keras.

Drex meninggalkan Felix yang meraung, menuju kendaraan yang terparkir di pinggir jalan. Tidak tahu kendaraan itu milik siapa. Ia membuka pintu dengan paksa, mencabut kabel dan menghidupkan mesin dengan paksa. Setelah itu menghampiri Felix, mencabut pisau dan menghantam kepala laki-laki itu sampai pinsan. Tanpa kelembutan, ia menyeret Felix ke mobil dan menjejalkan tubuhnya ke bagasi.

Menjalankan kendaraan curian, Drex memutari komplek dan kembali ke rumah berpilar tinggi. Suara tembakan terdengar nyaring. Ia menghentikan kendaraan di belakang mobilnya sendiri. Keluar untuk mengambil senjata laras panjang dari dalam bagasi dan membidik ke aras tanaman perdu. Satu per satu ia lumpuhkan dan terus beradu peluru dengan mereka hingga melihat Jenggal dan Janitra berlari keluar.

"Biar aku saja, Tuan!" seru Janitra di antara deru peluru. Tangannya membuka bagasi, mengeluarkan bazoka. Ia menunduk, tepat di depan pagar dan dalam sekali bidik, puluru roket meluncur. Menghantam pilar, menembus dinding dan meledakkan bangunan.

"Kita pergi!"

Drex menunjuk kendaraan curian, membiarkan mobilnya terparkir di tempat. Janitra menyimpan Bazoka di jok belakang, bersama Jenggal yang duduk di sana. Drex membiarkan memberi tanda dan Janitra menyalakan kendaraan, meluncur pergi meninggalkan rumah yang sudah mereka ledakkan.

"Kita kemana, Tuan?" tanya Janitra.

"Hotel Luxury, kontak orang kita di sana."

Janitra mengangguk, melakukan panggilan singkat sebelum menjalankan kendaraan. Di jok belakang, Jenggala sibuk mengelap pedangnya yang berlumuran darah dengan secarik kain yang dibawanya. Mereka tidak bicara hingga kendaraan berhenti di depan hotel bintang lima.

"Masuk!" perintah Drex saat melihat seorang petugas valet memberi tanda pada mereka di depan gerbang hotel.

Mobil terparkir di area privat yang berada tepat di halaman hotel. Petugas parkir mendatangi mereka, menunduk di jendela kaca yang sedikit terbuka. Drex mengulurkan sebuah ponsel pada laki-laki itu dan ada foto di layarnya.

"Namanya Geomar. Kemungkinan menginap di hotel ini atau bisa jadi hotel lain. Fotonya akan aku kirim ke kalian segera. Temukan dalam keadaan hidup dan kirimkan padaku."

Laki-laki itu mengangguk. "Baik, Tuan."

"Lihat! Siapa itu?" seru Jenggala.

Dari dalam hotel, keluar seorang laki-laki tampan dengan kemeja biru dan berdasi hitam. Laki-laki itu tidak melihat sekeliling, melangkah lurus ke arah mobil. Tidak jauh di belakangnya, seorang perempuan amat cantik melangkah gemulai menuju mobil yang terparkir di dekat gerbang.

"Wah-wah, aku mencium adanya konspirasi," decak Jenggala.

"Dia mungkin hanya datang untuk makan," ucap Janitra.

Drex mengamati laki-laki yang sekarang keluar dari halaman hotel mengendarai mobilnya.

"Tidak Tuan. Lukas memang menginap di hotel ini dari semalam. Perempuan tadi juga."

Jenggal terbelalak lalu tertawa. "Ahai, kasihan tuan puteri yang sedang meraung di lantai dua. Tidak tahu kalau calon suaminya berkhianat!"

"Baru seminggu Cleora pergi, dan dia meniduri perempuan lain?" Jenggala melanjutkan ucapannya.

Drex memberi tanda pada Janitra untuk meninggalkan hotel. Sepanjang jalan menuju rumah, ia merenungi kenyataan yang terjadi. Lukas meniduri perempuan lain, bukankah ini berarti mengubah keadaan. Seharusnya, bukan begini permainannya saat ia setuju untuk menculik Cleora. Orang-orang itu, tidak mengerti bagaimana harus mentaati permainan.

**

Di Karyakarsa sudah update bab 15-16

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro