Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 22a

Drex menatap beberapa laki-laki yang sedang berjongkok di ruangan, wajah dan tubuh mereka penuh luka cakar. Setelah diancam dengan gigitan anjing, mereka akhirnya mengaku. Orang-orang itu meringkuk takut saat melihat kedatangannya. Sungguh berbeda sikap saat melakukan aksi kejatahannya. Sebenarnya, ia tidak terlalu peduli dengan pengacau kecil macam mereka, tapi sengaja melakukannya di hari pernikannya adalah salah. Mengamati mereka satu per satu, ia menatap Janitra.

"Kamu kirim dua di antara mereka ke kantor polisi. Jangan bilang apa pun."

Janitra mengangguk. "Baik, Tuan."

"Jenggala, sisanya biarkan di sini. Aku ingin memastikan sisa kelompok mereka."

"Iya, Tuan."'

Suara desah kelegaan terdengar saat mereka kembali menutup pintu gudang. Drex mengajak pengawalnya menuju pertokoan di pinggiran kota. Ada banyak kedai dan kantor yang buka. Tidak ingin menarik perhatian, Drex memakai topi hitam dan kacamata. Mereka berdiri di depan kios penjual buku bekas. Drex meraih buku buku yang ditumpuk di depan dan membuka-bukanya. Janitra masuk ke toko di mana beberapa pembeli sedang memilih buku. Jenggal pergi entah kemana. Saat pembeli buku pergi, seorang laki-laki pincang datang dan memberi isyarat pada Janitra untuk menutup toko. Jenggala datang membawa bungkusan kopi dan kue-kue manis.

"Selamat atas pernikahanmu." Laki-laki itu menggigit kue berisi krim vanila, mencecap rasanya yang manis dan membuat bibirnya kotor oleh krim. "Sayang, aku nggak siapin kado."

"Kamu nggak kaget dengan pernikahanku?" tanya Drex.

Laki-laki itu menggeleng. "Untuk apa kaget? Justru itu perlindungan yang terbaik yang bisa kamu berikan pada Cleora. Selama orang-orang tahu kalau dia istrimu, sedikit yang akan berani menyentuhnya. Ingat, sedikit bukan berarti tidak ada."

"Aku pikir kamu menginginkan perlindungan yang lain."

"Nggak, pernikahan adalah hal bagus yang terjadi untukmu. Aku yakin, Cleora adalah perempuan yang baik. Kalau tidak, mana mungkin kamu menikahinya dengan banyaknya perempuan di luar sana yang mengharapkanmu menjadi suami mereka."

Drex tidak mengatakan apa-apa, meneguk kopinya dengan pikiran melayang pada Cleora yang tergolek kelelahan di atas ranjang. Sampai sekarang ia masih tidak mengerti, apa yang membuatnya menikahi perempuan itu. Padahal, dengan menjadi kekasih pun, orang-orang tidak akan berani menyentuh Cleora. Mungkin, ia memang sedikit gila, tapi merasa kalau Cleora layak mendapatkan perlindungan terbaik.

"Apa rencanamu selanjutnya? Tentang orang-orang itu. Kalau tidak salah dengar ada yang mengacau di pernikahanmu?"

Drex menatap orang itu sambil mengangguk. "Anak buah Vikar."

"Kepala polisi? Untuk apa dia melakukan itu?"

"Masih tanda tanya."

"Kalau memang dia ingin mengacaukan pernikahanmu, gunakan polisi. Bukan malah menyewa para begundal!"

"Itu yang aku sedang selidiki."

"Hati-hati juga, mereka mulai bergerak ke Utara dengan senjata api. Menjual dengan harga setinggi mungkin untuk membunuhi masyarakat sipil."

"Senjataku aman."

Laki-laki pincang itu menghabiskan kuenya, mengambil kopi yang disiapkan dan meneguknya. "Drex, apa rencanamu selanjutnya. Kalau kamu ingin menyelidiki rencana orang-orang itu, kamu tidak bisa tinggal di rumah besarmu di tengah hutan itu. Kamu perlu tempat yang strategis untuk mengamati semuanya."

Drex menyembunyikan rasa kagetnya, mendapati laki-laki itu tahu di mana tempat tinggalnya. Masalahnya, tidak banyak orang yang tahu di mana rumahnya. Hanya orang-orang tertentu yang dianggao dekat. Laki-laki di depannya, mereka bahkan baru kenal beberapa bulan tapi banyak tahu tentang dirinya. Memang tidak diragukan lagi cara kerjanya dalam mencari informasi.

"Mereka akan mulai mendekati istrimu, dengan berharap bisa mendekat padamu. Mulai menjila, dan saat itulah kamu menancapkan cakarmu. Pernikahan ini juga bagus untuk menghilangkan citra kejam dari dirimu."

Drex mengangguk. "Aku sudah menyiapkan rumah di sekitar sini."

"Sudah semestinya. Orang yang kamu cari, Geomar. Ada di pinggiran kota, tinggal di gubuk kecil. Entah siapa yang memberinya rumah itu, aku belum tahu. Tapi, Minggu lalu di pindah ke kota. Kurasa, tidak lama lagi dia akan memunculka batang hidungnya. Bertepatan dengan kunjungan wakil presiden."

"Aku mengerti. Kunjungan wakil presiden, apakah aku harus ikut ke pesta mereka?"

"Lebih baik begitu. Gunakan kekuasaanmu untuk mendapatkan undangan. Maka, banyak hal yang bisa kamu ungkap dari mereka."

"Baiklah."

Drex meninggalkan toko buku dengan pikiran berkecamuk. Bicara dengan orang pincang itu makin lama makin terlihat seolah dirinya sedang diajari. Padahal, ia terbiasa melakukan semuanya sendiri. Mengatur rencananya sendiri. Memang yang dikatakannya semua benar, termasuk informasi soal Geomar. Ia akan menelepon Dante, begitu mendapat kabar soal Geomar.

Setelah bicara beberapa rencana dengan si kembar, Drex memutuskan kembali ke hotel. Hari sudah menggelap, ia berharap Cleora tidak bosan karena terkurung di kamar hotel. Saat membuka pintu, ia dibuat tertegun. Terdengar suara nyanyian merdu dari ruang samping, diiringi dentingan piano. Ia melangkah ke samping dan terpesona menatap Cleora yang duduk memainkan piano sambil bernyanyi. Tak jauh darinya, ada Mateo yang sepertinya sedang belajar bernyanyi. Tanpa sadar ia tersenyum. Memutuskan kalau rumah besar mereka harus ada piano untuk dimainkan.

Mateo menyadari kedatangannya dan melambai. "Tuan Drex!"

Cleora menoleh, mengakhiri permainan pianonya dan tersenyum. "Tuan."

Drex agak terganggu dengan penyebutan 'tuan' dari istrinya dan akan mengoreksinya nanti. Drex memanggil Mateo dan berkata. "Tuam Drex ingin bicara dengan Nyonya. Besok kamu bisa datang bermain lagi."

Mateo mengangguk. "Iya, Tuan."

Tanpa diminta dua kali, Mateo melambai pada Cleora dan bergegas menuju pintu. Bocah itu tidur satu kamar dengan Baron yang letaknya tepat di depan kamar mereka.

"Sudah makan malam?" tanya Cleora.

Drex menggeleng. "Belum sempat."

"Kebetulan, aku juga belum makan. Kamu mau makan di kamar atau di restoran?"

"Di kamar saja, aku sedang malas keluar."

"Mau aku pesankan sesuatu yang enak?"

Drex mengangguk. "Boleh. Jangan lupa, suruh pengawalku mencicipi sebelum dibawa ke sini."

Cleora membuka mulut untuk memprotes tapi menutupnya lagi. Mengingat begitu banyak musuk Drex, tidak aneh kalau laki-laki itu sedikit paranoid. Ia melangkah ke arah meja kecil, menelepon bagian dapur dan memesan makanan yang lengkap, berupa hidangan utama daging angsa panggang, sayuran, dan sop. Selesai menelepon. Cleora terkesiap saat merasakan lengan Drex melingkup tubuhnya.

"Ada apa?" tanyanya.

"Berapa lama mereka mempersiapkan makanan?

"Kurang lebih 45 menit."

"Bagus, waktu yang sempurna untuk pemanasan."

"Pemanasan apa?"

"Ini, kita harus coba posisi di sofa."

Cleora berteriak kecil saat tubuhnya diangkat dan dibawa ke sofa. Ia belum sempat mengelak dan tubuhnya ditindih dengan posesif.

"Tuan, bukannya lapar?"

"Memang, taoi kita bisa menggunakan waktu menunggu dengan melakukan kegiatan yang berguna."

"Ta-tapi, baru pulang? Nggak lelah?" tanya Cleora. Berusaha mengelak dari ciuman Drex yang bertubi-tubi di tubuh dan bibirnya.

"Nggak, setiap kali melihatmu. Semangatku ikut bangkit."

Cleora menjerit saat gaunnya dengan cepat dilucuti. Semuanya berjalan cepat saat bibir Drex menguasai bukan hanya bibir tapi juga tubuhnya. Ia sedang mendesah dan tanpa disadari Drex sudah berada di atas tubuhnya. Mereka menyatu dengan alami. Saling mencumbu dan menyentuh, berusaha memberikan kehangatan yang terbaik. Cleora yang awalnya menolak, kini terseret gairah. Cumbuan dan tubuh kokoh suaminya, benar-benar membuatnya mabuk kepayang.

Drex baru saja membalikan tubuh istrinya, berniat berganti posisi saat bel pintu terdengar. Ia memaki keras, merasa sudah terganggu karena bel berbunyi secara terus menerus. Mau tidak mau ia bangkit dari sofa, meraih tubuh istrinya yang telanjang dan membawanya ke ranjang lalu menutupi dengan selimut.

Ia meraih celana dalam dan kemeja, tidak lupa pistol. Mengintip dari celah pintu sebelum membukanya. Dua pelayan hotel mendorong troli makanan. Mereka kaget bukan kepalang saat Drex mengacungkan pistol.

"Letakkan makanan di atas meja!"

Dengan kaki gemetar, mereka menuju meja makan di samping tempat tidur. Meletakkan makanan satu per satu di atas meja dan memberi penjelasan singkat tentang makanan dengan bibir bergetar. Drex meriah dompet, menyodorka dua lembar uang pada mereka yang menerima dengan wajah pucat pasi.

"Se-selamat makan, Tuan."

Drex mengangguk singkat, membuka pintu dan kedua pelayan itu bergerak secepat mungkin keluar dari kamar.

"Kamu menakuti orang, Tuan. Kenapa membuka pintu harus bawa pistol?" tanya Cleora.

Drex terdiam di tempatnya, saat melihat Cleora sudah memakai pakaian. Niatnya untuk kembali ke tempat tidur dan bermain dengan istrinya, musnah karena kedatangan dua pelayan.

"Untuk berjaga-jaga," ucapnya masam.

Cleora menggelung rambutnya dan menggandengn Drex menuju meja makan. "Cucilah tanganmu, Biar aku siapkan makanannya."

Drex menuruti perkataan istrinya, pergi toilet untuk membasuh tangan dengan air dan sabun. Ini adalah makan malam pertama mereka sebagai suami istri. Drex merasa sensasi berbeda saat meneguk anggur merah dari gelas. Biasanya Baron yang melayaninya, tapi kali ini ada Cleora. Istrinya dengan luwes memotong bebek, meletakkan di atas piringnya. Mengambil satu mangkok sup untuknya. Tidak lupa roti bawang dan kentang.

.
.
.
Terima kasih bagi yang sudah PO


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro