Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20a

Dari mejanya Cleora menatap samar-samar ke arah kakaknya yang sedang menghampiri Drex. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan mereka dan tapi merasa tidak menyukainya. Bukankah Carolina baru saja berganti gaun? Pakaian yang dikenakan semula sangat anggun dan kini berubah menjadi sexy. Apakah kakaknya sudah merencanakan itu? Ini pesta pernikahannya, dan Carolina beranggapan seolah sedang berada di pesta biasa. Cleora mencengkeram gelasnya dengan kesal.

Apakah Carolina berencana ingin mendekati Drex setelah puas dengan Lukas? Apakah kakaknya berpikir dengan kecantikannya bisa mendapatkan laki-laki mana pun yang disukainya? Apakah Carolina tidak tahu kalau Drex itu suaminya? Kalau memang ingin bicara dengan Drex, bukankah lebih baik melakukannya di depan semua orang? Kenapa harus menghampiri saat suaminya sendirian? Cleora benco dengan pikirannya yang picik.

"Miss, ada apa?" tegur Baron.

Cleora menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Aku ingin muntah. Bisakah kamu membantuku ke kamar mandi?"

Baron mengangguk, mengulurkan lengannya. Cleora meraih dan berjalan tertatih di kamar mandi. Baron menunggu di pintu toilet, sementara Cleora muntah. Setelah perutnya kembali kosong, ia bangkit dengan terhuyung dan melangkah ke arah wetafel. Di depan kaca berdiri seorang perempuan bergaun hitam yang tidak dikenalnya. Perempuan itu menoleh sekilas padanya dan tersenyum.

"Mabuk?"

Cleora meringis dan mengangguk. "Iya."

"Kamu sepertinya bukan tipe orang yang suka minum."

"Memang, toleransiku terhadap alkohol sangat tipis."

"Benarkah?" Perempuan itu membalikkan tubuh, menatap Cleora tajam. Bola matanya bersinar ingin tahu. "Kamu seperti bukan selera Drex. Biasanya, laki-laki itu mengencani perempuan tangguh terhaap alkohol."

Cleora mengedip takjub. "Kamu mengena suamiku"

"Tentu saja, aku di sini sekarang. Bagaimana aku bisa ada di tempat pesta tanpa diundang?"

Cleora tanpa sadar merasa takjub memandang perempuan di sampingnya. Dengan wajah tirus, bibir penuh, dan tubuh yang langsing, ada sesuatu yang tidak mudah untuk dijelaskan. Senyum perempuan itu menarik, dan gerak tubuhnya sangat menggoda. Pakaian yang digunakan cenderung sopan, meski begitu tidak bisa menghilangkan kesan sexy darinya.

"Maaf, aku nggak kenal kamu."

Perempuan itu tersenyum, mengulurkan jemarinya yang berkuku palsu dengan hiasan yang indah dan mengusap lembut pipi Cleora.

"Tentu saja, kita akan saling mengenal mulai sekarang, Sayang. Kamu begitu cantik, lembut, dan terkesan rapuh. Semoga kamu tahu, tipe laki-laki apa yang kamu nikahi. Karena menurutku, kamu dan Drex tidak cocok sama sekali."

Belum hilang rasa heran Cleora, perempuan itu sudah berbalik dan menghilang di balik pintu. Cleora menghela napas, kembali menghadap cermin. Wajahnya cukup pucat meski dirias. Ia membasuh wajah dengan air, mengeringkannya dan berniat untuk merapikan make-upnya nanti. Saat keluar, Baron masih menunggunya.

"Baron, apa kamu melihat perempuan yang baru saja keluar?"

Baron menggeleng. "Tidak, Miss."

"Benarkah? Apakah kamu melewatkannya. Karena perempuan itu baru saja keluar dari sini."

Baron menatap Cleora dengan kuatir. "Terjadi sesuatu, Miss. Apa kita perlu meminta Tuan menggeledah pesta dan menemukan perempuan itu?"

Cleora menggeleng. "Tidak perlu. Bukan sesuatu yang penting." Meski begitu ia tidak bisa bilang, kalau kata-kata perempuan itu mengusiknya. Mungkin sebaiknya ia lupakan saja apa yang baru dilihatnya.

"Mungkin, sewaktu saya di kamar mandi, perempuan itu keluar, Miss," ucap Baron.

"Bisa jadi. Sudahlah, lupakan. Ayo, kita kembali ke meja."

Cleora duduk kembali di kursinya, menerima beberapa sapaan dari para perempuan. Ia mengenal mereka sebagai para perempuan sosialita di kota. Beberapa di antaranya pernah datang ke rumah. Suara mereka terdengar penuh kepalsuan dan juga rayuan.

"Datanglah ke rumah kami, kapan saja, Cleora. Ajaklah suamimu," ucap seorang perempuan dengan rambut disanggul tinggi. Perempuan itu dulu pernah menghina Cleora sebagai anak pengangguran dan beban orang tua.

Seorang perempuan gemuk dengan gaun kuning, ikut bicara. "Jangan lupa ke rumah kami juga. Kami siap menjadi tuan rumah yang baik bagi kalian." Cleora mengingat perempuan itu sebagai istri dari patner bisnis, Dario. Dan pernah mengatakan dirinya adalah pecundang yang beruntung karena berpacaran dengan Lukas.

"Cleora, kamu beruntung mendapatkan Drex sebagai suamimu dan dipastikan kalian menguasai kota." Diucapkan oleh istrinya Vikar, yang selalu menyombongkan jabatan suaminya.

Cleora menjabat tangan mereka dan tersenyum ramah meskipun hatinya merasa kesal. "Terima kasih. Aku akan tanya suamiku, mau tidak datang ke rumah kalian. Karena semua orang tahu, suamiku pemilih!"

Perkataan Cleora membuat para perempuan itu saling pandang lalu berpamitan . Tentu saja, gumaman ketidakpuasan mereka bisa didengar Cleora dengan jelas. Ia tidak peduli, selama orang-orang itu tidak mengusiknya, ia akan menjauhi mereka. Pandangan matanya tertuju di tempat Drex dan kaget saat mendapati suaminya masih mengobrol dengan Carolina. Apa yang mereka bicarakan sampai seserius dan selama itu?

Di dekat dinding yang ditutup kain tule dan dan ada banyak hiasan bunga, Caroline menatap Drex penuh minat. Ia sangat menyukai laki-laki tampan yang menatapnya acuh tak acuh. Drex bersikap seolah bicara dengannya itu membuang-buang waktu, tapi justru itu yang membuatnya tertantang.

"Tuan, Drex. Pesta pernikahan ini sangat luar biasa. Mahal, dan berkelas," pujinya.

Drex tidak bereaksi, mengamati Carolina sekilas. Ia berniat beranjak saat melihat Cleora dituntun Baron tapi Carolina menahan tangannya.

"Apa maumu?" geramnya.

Carolina melepaskan tangannya. "Ups, reflek aja, Tuan. Nggak usah terlalu kuatir sama Cleora. Dia baik-baik saja dan mampu menjaga dirinya. Saya mengenalnya sangat baik dari kami kecil dulu."

Drex menghela napas. "Baiklah, katakan apa maumu. Jangan berbelit-belit."

Carolina tersenyum, bersikap seolah tidak mendengar kata-kata Drex yang tanpa basa-basi.

"Hanya ingin mengenal saudara iparku. Apa itu salah? Cleora adalah adikku. Kalian menikah, bukankah sudah seharusnya aku mencari tahu, laki-laki seperti apa yang menikahi adikku?"

Drex menatap jemari Carolina yang mengusap sekilas punggung tangannya. Gerakan itu membuat kulitnya gatal. Ia bisa saja menyingkirkan perempuan ini, kalau sedang tidak berada di acara pernikahannya. Entah apa yang diinginkan Carolina dengan bersikap manja serta merayu padanya.

"Kamu sudah tahu laki-laki seperti apa aku. Untuk apa lagi bicara," jawabnya.

"Benarkah, Tuan? Karena selama ini yang aku dengar sangat jauh dari kenyataan. Drex Camaro yang dikatakan orang-orang terkenal sangat kejam, tapi aku melihatmu justru sebagai laki-laki yang gentleman

Drex menaikkan sebelah alis. "Aku? gentelman?"

Carolina mengangguk. "Iya, Tuan. Hanya laki-laki gentleman yang bicara dengan perempuan begitu lembut."

Drex menahan diri untuk tidak mendengkus. Carolina bertindak makin berani dengan berdiri lebih dekat padanya. Tidak ingin ada masalah dengan perempuan ini, ia bergerak menjauh. Tidak peduli dengan raut wajah Carolina yang kaget. Ia tidak pernah menyukai tipe perempuan seperti Carolina yang merasa semua laki-laki akan berlutut di kakinya.

"Kalau tidak ada hal penting, sebaiknya aku kembali ke meja istriku."

"Tunggu, Tuan. Ini penting sekali!"

"Katakan cepat, jangan membuang-buang waktuku di sini!"

Kata-kata Drex yang penuh ketegasan membuat Carolina menegang. Baru saja ia menilai Drex sebagai laki-laki yang lembut, ternyata salah. Drex sama sekali tidak menaruh minat padanya, terbukti dari sikapnya yang seakan ingin segera menjauh. Ini memalukan tapi apa yang dilakukannya harus berhasil.

"Tuan, apakah aku boleh main ke rumah kalian? Maksudku adalah kediaman pribadi kalian. Aku dan Cleora adalah saudara. Kami saling dekat sejak kecil. Aku ingin menghiburnya saat sudah menikah dan jauh dari keluarga. Bo-bolehkah?"

"Hanya itu?"

Carolina mengangguk. "Hanya itu, Tuan. Tapi, aku tidak tahu di mana kalian tinggal."

Drex mengedip, menatap Carolina sekali lagi sebelum menjawab. "Tinggalkan saja nomor ponselmu pada asistenku." Ia menunjuk Baron. "Dia akan memberimu alamat kami."

Wajah Carolina berseri-seri seketika. "Terima kasih, Tuan Drex."

Drex meninggalkan perempuan itu menuju meja istrinya. Ia mendengar suara Lukas tapi tidak berniat menghentikan langkah.

"Bicara apa kamu sama dia?"

Lukas meraih tangan Carolina dan perempuan itu menepisnya.

"Bukan urusanmu, Lukas!"

"Tidak biasanya kamu bersikap manis, Carolina. Apa ini? Ganti gaun hanya untuk bicara dengan Drex?" Lukas berdecak, mengamati Carolina dari atas ke bawah dengan tatapan geli.

Carolina berkacak pinggang. "Memangnya kenapa kalau, iya? Dia orang yang sangat berkuasa, sudah semestinya aku berpakaian yang pantas."

..

Open PO mulai hari ini.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro