Bab 19a
Cleora duduk di meja bundar bersama keluarganya. Ia makan dengan anggun, tidak peduli pada tatapan kecewa dan marah yang diarahkan padanya. Drex sedang bicara dengan beberapa orang yang diundang mereka, termasuk kepala polisi dan walikota. Ia diberi kebebasan oleh Drex tidak perlu menyapa mereka. Di antara semua orang yang menatapnya, ada satu yang paling tajam yaitu Lukas. Laki-laki itu bahkan tanpa tahu malu menggeser duduk Kiyoko agar bisa berada di samping Cleora. Tidak peduli juga dengan tatapan sakit hati Carolina. Dalam hati Cleora merasa tidak habis pikir, bagaimana hubungan kakaknya dan mantan kekasihnya bisa berakhir tragis. Ia kasihan dengan Carolina, dipinggirkan setelah tidak lagi dibutuhkan.
"Cleora, bagaimana kamu bisa menikahi Drex?" bisik Lukas.
"Cinta," jawab Cleora sambil mengiris daging di atas piring. "Ehm, aku suka steaknya. Menurutmu gimana, Lukas?"
"Aku nggak bicara soal steak. Aku bicara soal kamu."
"Nggak ada yang menarik soal aku. Lagipula, ini hari pernikahku. Untuk apa kamu setegang itu. Santai aja, Lukas."
Lukas meremas serbet, menatap Cleora dengan geram. Mau tidak mau ia mengakui kalau mantan kekasihnya memang cantik dalam balutan gaun pengantin. Ia membayangkan beberapa bulan lalu saat Cleora hendak menikah dengannya. Apakah secantik sekarang? Bisa jadi jauh lebih cantik karena menikah tanpa tekanan. Ia tahu, meskipun terlihat tenang dengan wajah berseri-seri, Cleora pasti tertekan karena pernikahan ini.
"Kamu tahu siapa Drex, bukan?"
"Iya, suamiku," jawab Cleora.
"Aku nggak bicara soal itu."
"Kalau begitu tutup mulutmu!" Cleora menatap Lukas dengan tidak sabaran. "Sebaiknya berhenti mencampuri urusanku, Lukas. Aku adalah perempuan bersuami."
Lukas hendak membuka mulut untuk mendebat dan terdiam saat Haman mengusap punggungnya. Laki-laki tua itu menggeleng dan memberi tanda agar dirinya bergeser. Dengan enggan ia kembali ke kursinya dan membiarkan Haman menggantikannya.
Cleora tetap makan dengan tenang, tidak terpengaruh dengan bergantinya orang di sampingnya. Haman berdehem, menatap anak perempuannya.
"Cleora, kamu berani menentang kami. Keluargamu sendiri?"
Cleora meraih gelas dan meminum wine di dalamnya. Sedikit mengernyit, dan berjanji untuk tidak minum terlalu banyak.
"Kenapa selalu mengulang perkataan yang sama, Papa?" ucapnya sambil lalu.
"Karena kamu kurang ajar!"
"Iya, iya, aku akui itu. Papa, sudah cukup ceramahnya. Aku sudah menikah, mandiri sekarang!"
"Kamu mempermalukan aku!"
Cleora mendengkus. "Dan kalian mengancam nyawaku! Bom itu, Papa. Tentu kalian nggak akan luoa bukan?"
Haman terdiam, begitu pula Lukas dan yang lainnya. Sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa yang memasang bom di mobil Cleora. Mereka sudah menyelidiki dan tidak mendapatkan hasil apa pun.
"Bukan kami yang melakukan itu. Mana mungkin kamu mencelakaimu!" desis Haman. "Kamu anakku. Orang tua mana yang ingin membunuh anak gadisnya sendiri?"
Cleora tersenyum simpul, menganggap perkataan papanya seperti sebuah hiburan yang indah di telinganya. "Papa, mana kado untukku? Anak gadismu ini sudah menikah."
"Kadoo? Kamu berani menginginkan kado?"
Cleora memasukkan sepotong daging ke mulut dan mengunyahnya. Mengedarkan senyuman ke sekeliling meja.
"Wajar bukan? Kalau aku minta kado. Aku anakmu, Papa."
Haman menggebrak meja perlahan. "Anak kurang ajar! Yang berani mempermalukan orang tuanya."
"Kamu salah, Pa. Aku hanya ingin menyelamatkan nyawaku. Melindungi diriku. Kenapa menikah dengan Drex. Karena kita semua tahu, dia yang paling bisa melindungiku. Sepakat bukan, Pa?"
Haman menggeram marah. Ingin rasanya membalikkan meja dan menyeret Cleora pulang. Namun, tidak bisa melakukan itu karena ada banyak pengawal Drex di sini. Bisa-bisa nyawanya akan melakang lebih dulu bahkan sebelum sempat menyentuh Cleora.
Ia menatap Drex yang sedang bicara dengan walikota. Entah apa yang mereka bicarakan, keduanya berdiri berhadapan di dekat jendela. Tidak ada yang berani mendekat, tidak pula Dario serta Vikar yang memandang tak jauh dari sana. Sepertinya, di hadapan Drex semua orang sama derajatnya.
"Laki-laki kurang ajar! Tidak tahu diuntung!" geram Haman. "Dia bertingkah begitu karena penjahat. Kejahatannya menguasai kota ini. Entah kenapa walikota dan kepala polisi tidak berani menindaknya."
Cleo mengikuti arah pandang papanya dan tersenyum. "Barangkali, mereka takut. Sama seperti Papa yang takut akan Drex."
"Kurang ajar kamu, Cleora! Aku tidak takut!"
Cleora meneguk winenya sekali lagi, bahkan nyaris menandaskannya. Emosi yang menggelegak di dada, membuatnya lupa kalau harus bersikap manis. Drex sudah mengingatkannya untuk menjauhi wine dan sepertinya ia lupa.
"Papa tidak takut sama Drex. Tapi, saat aku diculik Papa sama sekali tidak mencariku. Padahal, mudah saja menemukanku kalau mau, Papa. Kalau bukan takut, apa namanya? Memang nggak mau cari aku bukan?"
Haman mengalihkan pandangan dari Drex pada Cleora. Kehabisan kata-kata untuk menyampaikan niatnya. Makin hari ia merasa, anak perempuannya makin pandai bicara. Siapa yang mengajari Cleora? Apakah Drex? Kenapa hanya dalam waktu beberapa bulan semuanya berubah?
Setelah Haman bicara dan tidak diindahkan Cleora, kini berganti Kiyoko. Perempuan itu berusaha menasehati dengan suara yang lembut dan lirih. Cleora sama sekali tidak membantah ucapan sang mama. Mendengarkan sambil mengangguk-angguk kecil. Ia meminta pelayan menuang wine ke dalam gelasnya dan menenggaknya sekali lagi.
"Istriku, bukankah kamu minum terlalu banyak?"
Drex datang, mengusap bahu Cleora dan mengernyit saat istrinya itu tersenyum dengan wajah kemerahan.
"Tuan Drex, aku duduk sama keluargaku."
Drex mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Bagus bukan? Keluarga yang harmonis."
"Iyaa, mereka menasehatiku."
"Soal apa?"
"Menikah denganmu itu hal buruk."
Suasana meja menegang saat Drex menegakkan tubuh. Santai seakan sedang bicara dengan teman-teman akrab, Drex mengambil gelas istrinya dan mengangkat di udara.
"Untuk kedua mertuaku, dan juga saudara-saudaraku. Terima kasih sudah datang ke pesta kami. Silakan nikmati pestanya." Drex meneguk wine dan kembali menunduk. "Sayang, ayo, dansa."
Cleora menatap Drex berbinar. "Dansa?"
"Iya, ayo!"
Drex menuntun istrinya meninggalkan meja dan membimbingnya ke lantai dansa. Ia mengayun tubuh istrinya dengan lembut di bawah tatapan banyak orang.
Carolina yang sedari tadi terdiam, berusaha menyembunyikan rasa marah dan juga irinya. Entah mulai kapan ia iri dengan semua yang dimiliki Cleora. Padahal, dulu tidak pernah merasakan itu. Kenapa dulu ia tidak iris ama sekali? Karena Cleora terlalu sederhana, terlalu biasa untuk menjadi saingannya. Sedangkan dirinya butuh lawan yang seimbang.
Seluruh penduduk kota menjulukinya sebagai perempuan yang paling cantik dan paling diidamkan. Banyak laki-laki tergila-gila padanya. Semua orang bisa ia dapatkan. Lukas pun dulu pernah mengejarnya sebelum akhirnya mendekati Cleora. Ia merasa bangga dengan dirinya sendiri. Banyak yang mengatakan kalau Cleora tertutup oleh bayangannya. Adiknya itu jarang sekali dipandang orang. Tidak ada yang benar-benar mengenalnya, sampai akhirnya berpacaran dan ingin menikah dengan Lukas.
Kenapa semua berubah? Mulai kapan Cleora terlihat begitu menonjol dan bersinar? Apakah ia yang tidak memperhatikan atau memang adiknya berubah menjadi begitu istimewa setelah kenal Drex?
Carolina memutar gelas di tangan, menatap Drex yang sedang memeluk Cleora. Ia mengedip, menyadari kalau laki-laki itu ternyata sangat tampan. Lukas yang selama ini terlihat tampan, bahkan dikatakan kalah tampan dengan Drex. Rupanya, ia buta selama ini. Kenapa ia baru mengenal Drex sekarang?
"Apa yang kamu lihat?" bisik Lukas. "Pasangan pengantin sialan itu?"
Carolina tersenyum kecil. "Kamu cemburu, Sayang?"
Lukas mendengkus. "Tidak ada kata cemburu dalam hatiku."
"Benarkah? Bukankah baru saja kamu merengek pada Cleora untuk kembali bersama dan meninggalkan Drex?
Lukas menunduk, Carolina meremas gelasnya. Ia memaki dalam hati karena sikap Lukas yang lembek dan tidak tegas. Laki-laki ini, tanpa tahu malu merayu perempuan yang sudah sah menjadi istri orang. Tapi, bukan itu yang membuatnya marah. Sepertinya ia mulai bisa menerima kalau memang Lukas masih mencintai Cleora, asal tidak merengek di depannya.
"Kamu pikir, Cleora akan melepaskan Drex hanya demi kamu? Orang yang normal tidak akan melakukan itu!"
Satu kalimat Carolina memukul perasaan Lukas. Ia meneguk ludah. "Kenapa? Kami sama-sama laki-laki?"
Carolina tersenyum. "Tidak salah memang. Sayangnya, yang satu adalah anak orang tua yang manja, sedangkan satu lagi laki-laki matang dan sexy. Aku pun akan memilih Drex dari pada kamu."
Lukas tercengang, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia meneguk ludah, menyadari kalau Carolina sedang membalas perlakuannya. Perempuan itu benar, dirinya memang hanya anak manja. Tapi, ia tidak akan terima disebut pecundang, oleh siapa pun itu.
Ia menatap Drex dan Cleora yang sedang bermesraan di lantai dansa. Ibu jarinya mengepal, dan dadanya meluap dalam rasa kesal. Ia akan membalas perlakuan mereka, itu pasti.
***
Cerita ini akan PO tanggal 25, bundling dengan Cinderella Pulang Pagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro