Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15b

Tiba di bawah, Drex dan yang lain belum muncul. Ia berinisitif membantu Baron tapi laki-laki itu menolaknya.

"Sebaiknya, Miss duduk saja di sofa, menunggu Tuan Drex turun. Nanti saya buatkan cemilan yang enak."

Cleora terbelalak. "Aku sudah makan. Tadi juga makan es krim. Kenyang."

"Tenang saja, Miss. Cemilan ini enak dan tidak akan terlalu membuat kenyang."

Cleora menghela napas panjang, menuruti perkataan Baron. Ia mengenyakkan diri di atas sofa dan berpikir kalau selama tinggal di sini, tak ubahnya seperti anak bungsu. Baron adalahnya ayahnya dalam arti kata yang lain. Laki-laki itu merawatnya, memberinya makan, dan selalu memastikan dirinya senang. Ia menatap jendela yang gelap, membayangkan sosok papa dalam ingatannya. Haman adalah papa yang baik, memberikan semua yang ia butuhkan, hanya saja tidak pernah ada kedekatan emosional antara mereka. Haman selalu sibuk bekerja, dan jarang sekali di rumah apalagi untuk bercengkrama.

Cleora mengingat bagaimana dulu melewati hari. Pagi kerja, sore pulang, malam berkencan dengan Lukas. Hari libur ia gunakan untuk menjadi pekerja sosial di panti asuhan atau panti jompo. Sang mama sangat sibuk dengan pekerjaan sebagai nyonya dewan. Menghadir banyak acara, pertemuan, dan belum lagi arisan. Mereka hanya bertemu saat makan malam, dan hanya sekali atau dua kali akan dilewati dengan makan bersama. Selebihnya, mereka menjalani hidup sendiri-sendiri.

Ingatan Cleora tertuju pada kakak perempuannya. Carolina yang cantik, dambaan semua laki-laki bujangan di kota. Mempunyai usaha garmen dengan merek fashion sendiri. Glamour, sexy, dan menawan, tidak heran kalau Carolina dianggap perempuan paling cantik di kota. Ia tidak heran kalau akhirnya Lukas jatuh cinta padanya.

"Hei, kamu melamun?"

Jenggala muncul dan mengaggetkannya. Cleora mengangguk. "Iya, sedang berpikir."

Laki-laki pirang itu duduk di sampingnya. "Tentang keluargamu?"

"Hah, kok tahu."

Jenggala mengangkat bahu. "Beritanya ada di mana-mana. Mereka menginginkanmu kembali dan menikah dengan laki-laki licik dan kurang ajar itu!"

"Jenggala! Tutup mulut!"

Drex muncul dengan celana panjang dan kemeja hitam. Terlihat gagah seperti laki-laki malaikat dalam film romatis. Cleora menahan napas saat melihatnya. Drex menghampiri Cleora, mengamati gadis itu. Jenggala menyingkir diam-diam ke meja makan.

"Kamu sudah tahu tentang Dario?" tanya Drex.

Cleora mengangguk. "Sudah."

"Bagaimana menurutmu?"

Pertanyaan yang ambigu dari Drex membuat Cleora kebingungan. Ia berpikir sesaat sebelum menjawab. "Bukannya aku menjadi tawanan di rumah ini?"

Drex memasukkan kedua tangan dalam saku. "Sebenarnya, aku sudah mendapatkan barang-barangku kembali. Secara garis besar, perjanjianku dengan laki-laki itu juga selesai. Aku tidak akan melarang kalau kamu ingin pergi dari sini."

Cleora tidak menjawab, menunduk menekuri lantai. Akhirnya tiba waktu di mana dirinya dibebaskan. Entah kenapa, ia sama sekali tidak senang. Ia hanya menggeleng saat Drex menarinya mengobrol di meja makan. Dadanya terasa sesak, merasa sengsara tak ubahnya anak kecil yang diusir dari rumah. Ia menatap ke arah ruang makan, di mana Drex duduk menghadap ke arahnya dengan Jenggal dan Janitra bicara cepat tentang bisnis.

Pandangan mereka bertemu, untuk kali ini Cleora tidak memalingkan wajah. Ia ingin mengatakan pada Drex melalui pandangan mereka yang bertemu, kalau dirinya tidak ingin pergi dari sini. Sayangnya, bukan haknya untuk memutuskan itu.

Baron datang membawa segelas kecil puding susu. Yang dikatakan laki-laki itu benar, puding ini enak dan sama sekali tidak membuat eneg. Ia makan dengan cepat dan tidak menyadari ada sisa puding di ujung bibir, sampai Drex datang. Laki-laki itu berjongkok di hadapannya, mengusap bibirnya dengan selembar tisu.

"Ada kotoran."

Cleora tidak mengelak, membiarkan Drex mengusap ujung bibirnya. Ingin rasanya ia menggigit jari laki-laki itu tapi kemudian memaki diri sendiri karena sudah berani berpikir sangat liar tentang Drex. Selesai membersihkan bibirnya, Drex duduk di samping Cleora dan mulai merokok. Mereka berdampingan, dengan bahu nyaris bersentuhan. Duduk diam tanpa kata, menikmati kedekatan yang tidak setiap hari bisa didapatkan.

**

Seorang laki-laki pincang dengan wajah penuh bekas luka, melangkah tertatih di jalanan yang sepi. Sepanjang pertokoan yang dilewatinya, belum ada yang buka. Kedai yang membuka pintu adalah penjual sarapan yang ramai oleh pengunjung. Aroma roti bakar, telur goreng, dan susu kedelai, bercampur di udara.

Laki-laki itu melewati dua kedai sarapan, satu kedai kopi, sebelum akhirnya tiba di depan kios penjual buku-buku bekas. Ia tertegun, saat di samping bangunan, berdiri tiga laki-laki yang sangat mencolok dengan penampilan mereka. Satu laki-laki paling tinggi dengan mata abu-abu menghampirnya.

"Drex Camaro, sepagi ini sudah datang menemuiku?" Suara laki-laki itu terdengar parau seperti orang terkena flu.

Drex mengangguk, menunjuk bungkusan yang dibawa Janitra. "Ingin mengajakmu sarapan."

Laki-laki itu terkekeh. "Masuklah kalau begitu. Hebat sekali kamu, bisa tahu aku sedang kelaparan."

Jenggala dan Janitra membantu laki-laki itu membuka pintu teralis, meletakkan sarapan di meja sebelum keduanya menghilang. Meninggalkan Drex hanya berdua dengan laki-laki itu.

Drex membuka termos berisi kopi panas dan menuangnya ke dalam gelas kecil yang sudah dipersiapkan. Ia mengeluarkan roti lapis dan burger daging. Laki-laki itu mengambil roti lapis dan melahapnya.

"Enak, isian wagyu selalu enak dari dulu," ucapnya dengan mulut penuh.

Drex meneguk kopinya. "Aku sudah mendapatkan barang-barangku kembali."

Si laki-laki mengangguk. "Bagus. Nggak ada yang kurang bukan?"

"Semua pas."

"Berarti, kamu sekarang percaya kalau semua yang aku katakan benar?"

Drex mengangguk. "Harus aku akui, kamu hebat dalam mencari informasi."

"Itu sudah tugasku, Drex. Informasi sekecil apa pun bisa aku dapatkan. Apa pun itu."

Laki-laki itu terus makan dengan lahap, roti lapis pertama habis dan diganti dengan burger daging. Sedangkan Drex hanya minum kopi. Ia merasa kenyang hanya karena melihat laki-laki itu makan.

"Barang memang sudah aku dapatkan. Hanya saja, aku belum tahu alasan mereka membajak barangku."

Laki-laki itu mengangguk, meraih kopi dan meneguknya. "Ada dua prediksi. Satu, mereka sengaja menantangmu dan untuk mendapatkan pengakuan darimu. Seolah ingin berkata, kalau ternyata Drex Camro tidak sehebat yang mereka pikir. Yang keduua adalah, kamu dengar perang di wilayah Utara?"

Drex mengangguk. "Iya."

"Mereka ingin menjual senjata ke sana dan akses untuk itu hanya bisa didapat melalui kamu!"

Drex mendengkus kasar. "Tidak akan aku biarkan mereka melakukan itu!"

"Sudah aku duga. Kamu pasti punya rencana sendiri dengan senjata dan obat-obatan itu bukan?"

"Memang, dan tidak akan aku diskusikan denganmu." Drex mengelap kopi yang tumpah dari gelas laki-laki itu sebelum bicara. "Bagaimana dengan Cleora? Bukankah perjanjian kita selesai?"

Laki-laki itu mengedip lalu mengangkat bahu. "Benar, perjanjian kita tentang Cleora memang selesai. Kamu berhasil menculik dan menawannya."

"Lalu? Bagaimana sekarang."

Hening sesaat, laki-laki itu merogoh kantong celana untuk mencari rokok dan menyulutnya. "Aku ingin menawarkan kesepakatan yang lain. Dengan imbalan, perlindungan bagi Cleora. Apa kamu bisa Drex?"

**

Extra

Jenggala dan Janitra berdiri di bawah pohon, dengan masing-masing membawa botol berisi minuman bersoda.

"Apakah kita akan lama di kota?" tanya Jenggala.

Janitra menggeleng. "Entah."

"Semoga nggak lama. Aku ada janji dengan Cleora untuk main catur."

"Kapan kalian janjian?"

"Tadi malam, sebelum dia naik."

Janitra menatap saudara kembarnya tajam. "Sebaiknya, jangan terlalu dekat dengan Cleora."

"Kenapa?" tanya Jenggala heran. "Setelah kami kenal, ternyata dia perempuan yang lucu dan menyenangkan."

"Dilarang juga memujinya seperti itu."

"Kenapa?"

"Kamu banyak tanya!"

"Karena aku nggak ngerti!"

Entah kenapa, Janitra merasa kesal dengan kebodohan dan ketidakpekaan adik kembarnya.
.
.
.
.Di Karyakarsa sudah mau tamat

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro