Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 12a

Cleora berdiri di dekat jendela, membuka gorden dan menatap malam yang pekat. Lampu-lampu berpendar dari sekitar balai kota dan juga jalanan. Tepat di depan jendela ada deretan pepohonan yang ditata rapi, berfungsi sebagai penghijaun dan juga menghalangi pandangan dari dalam keluar, begitu pula sebaliknya.

Cleora tetap diam, memunggungi orang-orang yang ada di belakangnya. Mereka adalah keluarganya sendiri tapi entah kenapa seperti ada jarak yang memisahkan mereka. Berapa lama ia pergi? Sekitar emapt bulan mungkin. Dalam waktu yang begitu singkat, seolah dirinya terenggut dari kehidupan keluarga dan juga Lukas.

"Sayang, kenapa kamu diam saja?"

Suara sang mama terdengar lirih. Cleora tetap terdiam.

"Mama senang kamu baik-baik saja."

Kiyoko mengulangi perkataannya. Entah berapa kali perempuan itu berucap hal yang sama, seolah ingin menunjukkan pada Cleora kalau dirinya paling kehilangan. Tangannya terulur ingin memeluk Cleora tapi anak gadisnya itu berdiri kaku.

"Clora, mamamu mengajakmu bicara!" Haman membentak keras. "Kenapa sikapmu kurang ajar sekali?"

Cleora menoleh, menatap papanya sekilas lalu kembali menatap jendela. "Cleora sudah mati. Yang kalian lihat di sini hanya sisa-sisa jiwanya."

Suara desahan terdengar keras, Lukas bertukar pandanga dengan Carolina sebelum maju dua langkah mendekati Cleora. "Aku senang kamu kembali."

Cleora meliriknya. "Benarkah? Apa aku menganggu hubunganmu dengan kakakku?"

"Bukan begitu. Kamu harus dengan penjelasan kami."

Carolina memberi tanda pada Lukas untuk diam. Menatap adiknya yang sedari tadi bersikap penuh permusuhan dengan mereka. Perasaan bersalah menyelimutinya, mengira kalau kemarahan Cleora pasti karena kesalahannya. Ia menggigit bibir sesaat sebelum bicara.

"Kamu pernah marah kalau memang merasa terkhianati, tapi dengarkan aku sebentar. Hubunganku dengan Lukas, terjalin saat kamu nggak ada. Kami berduka saat kamu dinyatakan mati, saling menghibur, dan akhirnya begini."

"Berapa lama kalian bersama?" tanya Cleora.

"Baru-baru ini."

"Benarkah? Karena dari yang aku dengar, kalian sudah bersama dari tiga minggu aku pergi. Kenapa Carolina? Nggak sabar untuk bersama Lukas?" Cleora mengarahkan pandangannya pada sang kakak, berucap tanpa tersenyum.

Carolina menelan ludah. "Itu ka-karena kami mendengar kamu meninggal. Ja-jadi—"

"Jadi kalian nggak perlu waktu lama untuk lengket satu sama lain?" Cleora memutar tubuh, kali ini benar-benar menghadapi keluarganya. Menatap satu per satu wajah-wajah yang seolah asing di depannya. "Papa, tidak sabar menggunakan berita kematianku untuk menarik simpati publik. Mama memang berduka, tapi tidak menghalanginya untuk mendukung Carolina dan Lukas. Dua lainnya? Nggak usah disebutkan."

"Lancang mulutmu, Cleora!" Haman maju, menunding dengan keras. "Kamu anak kami, bisa-bisanya bersikap begitu."

"Aku sudah mati, Pa. Apa kamu lupa? Mana bisa diakui anak?"

Haman ternganga dan Cleora meneruskan argumennya. "Pada suatu waktu, aku benar-benar merindukan kalian. Tuan Drex membawaku ke kota dan melihat deretan papan bunga di depan rumah. Bisakah kalian bayangkan? Bagaimana hancurnya perasaanku? Itu adalah papan bunga kematianku. Dari Tuan Drex juga aku tahu, kalian hanya mencariku selama satu minggu, setelah itu melepasku begitu saja."

Kiyoko menggeleng. "Itu karena yang menculikmu Drex Camaro. Siapa yang bisa melawan bajingan itu!"

Makian Kiyoko pada Drex membuat Janitra yang sedari tadi berdiri di sudut ruangan bergerak pelan. Laki-laki berambut perak itu kini berada tidak jauh dari Cleora, menatap setiap orang dengan pandangan dingin.

Cleora tersenyum. "Tuan Drex memang sangat hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Kepolisian satu kota, kalah oleh satu orang. Hebat!"

"Cleora, masalah ini sudah berlalu. Kalau kamu marah pada Carolina dan Lukas, kita bisa diskusikan lagi nanti. Yang terpenting sekarang adalah, kamu kembali ke rumah."

Perintah Haman membuat Cleora menaikkan sebelah alis. "Pulang ke rumah? Rumah yang mana, Papa? Rumah di mana aku sudah dianggap mati?"

"Cleora, ini aku, Lukas. Kamu bisa tinggal bersamaku kalau mau, Carolina nggak ada keberatan." Lukas menatap kekasihnya dan lega saat melihat Carolina mengangguk. "Lihat'kan? Kakakmu sangat baik."

Cleora menatap Lukas dan Carolina bersamaan lalu tertawa terbahak-bahak. Entah bagaimana air matanya ikut mengalir bersama tawa yang menyembur dari bibirnya. Ia tidak percaya kalau orang-orang yang paling dekat dengan hidupnya, ternyata menusuknya dari belakang.

Janitra maju, mengulurkan sapu tangan pada Cleora dan gadis itu menerima tanpa kata, mengapus air mata di pelupuk.

"Kita pergi, Miss?" tanya Janitra.

Cleora mengangguk. "Iya, aku ingin pergi."

Janitra mengulurkan lengan dan Cleora meraihnya.

Lukas menghalangi langkah mereka dan berteriak keras. "Tidaak! Kalian tidak diijinkan kemana-mana. Cleora, kamu harus kembali ke rumah. Ayo, biar aku antar kamu."

Cleora menggeleng. "Aku harus kembali ke rumah Tuan Drex."

"Tidaaak! Dengarkan mama, Sayang. Ayo, kita pulang." Kiyoko merengek.

Haman mengepalkan tangan, merogoh ponsel dan melakukan panggilan singkat. Tak lama pintu dibuka dan masuk empat laki-laki bertubuh tegap.

"Kamu memang harus dipaksa Cleora! Yang lain mundur. Tangkap anakku hidup-hdup. Jangan lukai dia. Yang laki-laki, terserah mau kalian apakan."

Janitra menaikkan celana dan meriah sebuah pisau pendek. Ia menoleh pada Cleora. "Miss, pegang ini."

"Itu pisaumu." Cleora menggeleng. "Kamu lebih butuh."

Janitra tersenyum tipis, hal yang sangat jarang terjadi. "Dengan mereka, tidak perlu senjata tajam. Hubungi Tuan, biar dia tahu apa yang terjadi."

Cleora mengangguk, merogoh ponsel dan baru memecet tombol saat dua laki-laki bergerak bersamaan untuk menyerang Janitra. Cleora menjerit, begitu pula Kiyoko dan Carolina, saat Janitra dengan mudah melupuhkan mereka. Laki-laki itu bahkan tidak berhenti untuk menarik napas saat melumpuhkan dua lainnya. Empat laki-laki terkapar di lantai dalam keadaan pingsan setelah dihajar tidak sampai 10 menit oleh Janitra.Carolina ternganga, begitu pula Lukas dan yang lainnya, saat melihat tubuh-tubuh berdarah di lantai. Cleora menghela napas panjang dan menurut saat Janitra membimbingnya keluar.

"Cleoraa! Kembali ke sini."

"Cleoraaa, pulang!"

Percuma mereka berteriak, Cleora melangkah lurus seakan tidak mendengar. Hatinya sudah membatu dan tidak ingin terlibat dengan keluarganya lagi. Entah kemana langkahnya di mana depan, yang terpenting sekarang tidak berada di kota ini. Cleora ingin pergi jauh, menghilang, dan tidak ingin ditemukan oleh orang-orang yang sudah menganggapnya mati.

Kiyoko terisak, berpelukan dengan Carolina. Air mata tidak berhenti menetes, melihat anak gadisnya pergi bersama orang asing. Lukas bersandar pada dinding, menyugar rambut, dan tubuhnya melorot ke lantai. Wajahnya pucat dengan tubuh gemetar.

"Drex sudah mempengaruhi pikiran Cleora. Tidak mungkin dia menolak dan membenci kita, kalau bukan karena dihasut Drex. Entah apa yang dijejalkan Drex pada Cleora dan membuatnya menjadi pemberontak." Haman menghela napas panjang. Merasa kesal pada para pengawalnya yang tidak berguna. Menghadapi satu orang saja, mereka terkapar begitu cepat. "Aku akan mendapatkan anakku kembali. Itu pasti.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro