Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Zea vs Mahes

Mahes amat tahu jika menyakiti hati seorang wanita adalah tindakan tidak terpuji. Mamanya sering menasehati begitu, selain membuat hidup tidak tenang juga menimbulkan efek samping insomnia. Lihat saja, meski berusaha memejamkan mata tetap tidak berhasil untuk tidur, malah semakin gelisah.

Isak Zea sudah berhenti. Mungkin kelelahan, atau gadis itu menyadari bahwa apa yang diucapkannya itu kenyataan?

Zea tidak secantik mantan-mantannya, itu benar. Dibanding Nikita yang seksi, anggun, dan menawan ala princess-princess Eropa, gadis tersebut lebih mirip dayang-dayang bila dijejerkan.

Dada rata, hhmmm, bisa iya-bisa tidak. Mahes belum memastikannya. Hanya saja, selama dua hari kebersamaan mereka bisa dipastikan tidak ada yang menonjol dari tubuh Zea.

Terakhir, mengenai kakinya yang pendek. Ayolah, ketika sesi foto kemarin Mahes amat yakin Zea menggunakan highils hingga bisa menyamai tingginya. Entah berapa senti? Dan tadi ketika mereka bertengkar, gadis itu hanya sepundaknya.

Catat itu!

Jadi apa dia salah? Kecuali kalau berbohong, baru dosa namanya.

.

Karena frustrasi, Mahes memilih bangun. Dia tidak bisa membiarkan rasa bersalah bersemayam dalam hatinya.

Beranjak perlahan menghampiri tubuh mungil Zea yang meringkuk dan kepala menyampir ke ranjang, Mahes sempat berhenti sejenak untuk memastikan sesuatu. Setelah merasa yakin perempuan tersebut benar-benar tidur, maka dengan sangat hati-hati dipindahkan ke atas.

Tidak berat. Mahes tersenyum sendiri. Dia tidak pernah melakukan ini pada siapa pun, termasuk pada mantan-mantannya. Setiap kali akan berbuat yang tidak-tidak, bayangan Wina seolah menjelma dan melotot padanya.

Seharusnya Zea berterima kasih besok pagi, dia telah menyelamatkan gadis itu dari sakit punggung karena posisi tidur yang salah.

Alih-alih kembali ke sofa, Mahes justru menjatuhkan diri di sebelah Zea. Urusan gadis itu ngomel-ngomel, biar besok saja. Seperti yang dia bilang tadi, sejak kemarin dia kurang tidur.

Apa salahnya tidur dengan istri sendiri, sudah sah kan? Atau besok pagi dia bisa bangun lebih awal, menghindari percekcokan. Sekarang terpenting dia tidur dulu.

.

Wina, Cakra, dan Yuda tengah berada di teras samping. Hari ini karena belum mulai aktifitas biasanya, mereka memutuskan untuk bersantai-ria. Masih terlalu pagi juga, jadi sambil menunggu sarapan yang disiapkan para koki, ketiga ibu dan anak tersebut menikmati sinar matahari.

"Mama pinter banget nyari cewek buat Mahes," celetukan Cakra berhasil membuat wanita separuh abad itu menurunkan kacamata, kemudian menatap putra ke duanya lekat-lekat.

Wina menoleh ke sana ke mari seolah takut ada yang mendengar, "maksud kamu?"

"Aku bilang gitu karena semalam denger suara berisik di kamar Mahes. Jarang-jarang dia langsung klop sama cewek, padahalkan biasanya anti banget. Padahal baru kenal." Cakra berusaha membela diri.

"Suara berisik?" Wina mengernyit heran.

"Alah, Mama pasti bisa nebak, mereka-ngapain-ja-berdua-semalaman." ucap Cakra dengan pengejaan. Sementara itu Yuda tersenyum geli. Setuju dengan penuturan kakaknya tersebut, karena dia juga mendengar.

"Kalian berdua mendengar suara berisik?"

Cakra dan Yuda mengangguk bersamaan.

"Mama harus bilang sama kakakmu itu, kalo main jangan berisik, apalagi sampai didengar kamar sebelah." Wina akan beranjak ketika suara pintu dekat mereka berderit, seseorang akan bergabung.

Ketiga orang itu menoleh dan mendapati Zea dengan penampilan luar biasa berantakan. Rambut awut-awutan, make-up semalam yang belum dibersihkan sehingga tampak bercak sana-sini---sepertinya gadis itu punya kebiasaan tidak cuci muka sebelum tidur. 

Yuda melongo, tapi Cakra sigap menutupi mata bocah tujuh belas tahun itu dengan tangannya dan Wina sendiri langsung mendekati Zea yang sepenuhnya belum sadar. Membawa gadis itu kembali lagi ke dalam, menutup pintu.

"Bundaaa!" protes Zea yang belum sadar juga dari tidurnya. Wina segera menutup mulut gadis itu.

"Hei, Sayang, bangun!" Wina kemudian menepuk lembut pipi kanan-kiri Zea, mencoba menyadarkannya.

"Bunda apa-apaan sih? Tumben banget manggil sayang, biasanya juga ...." Zea sempurna berhenti, perlahan menatap wanita di hadapannya yang tengah memasang senyum atau lebih tepatnya ekspresi pemakluman.

Namun bukannya merasa canggung atau malu, Zea malah terisak. Menangis sambil memeluk Wina erat, seolah semua kesedihan ditumpahkan pada wanita paruh baya itu. Meminta perlindungan.

Wina meski tidak tahu dengan apa yang menimpa pada menantu kesayangannya tersebut, memilih untuk balas memeluk. Urusan bertanya bisa nanti-nanti.

.

Begitu masuk rumah, Mahes sudah ditunggu oleh Wina yang kini berkacak-pinggang di depan pintu. Melihat gelagat sang Mama yang tak seperti biasa, membuat laki-laki dua puluh tujuh tahun tersebut menebak-nebak, apakah ada hubungannya dengan Zea. Pasalnya, sejak perempuan itu hadir di tengah keluarga Atmajaya, atmosfir jadi berubah.

Mencoba menghiraukan Wina, Mahes menuju dapur kemudian mengambil gelas kosong. Sang mama mengikuti di belakang, menunggu hingga putranya menghabiskan air putih.

"Mama mau bicara."

Gerakan Mahes yang akan mengambil buah terhenti. Bicara. Artinya ada hal serius hingga seorang Nyonya Wina Atmajaya yang luar biasa sabar itu terganggu. Seumur hidupnya, Mahes selalu melakukan yang terbaik agar orangtuanya tidak kecewa. Termasuk dengan menyetujui perjodohan sialan itu padahal dia bisa memilih pasangannya sendiri.

"Mahes akan dengarkan," ucapnya setengah hati. Ini masih pagi dan dia lelah setelah berkeliling komplek untuk membakar kalori, juga sesuatu yang mengganggunya jika berdekatan dengan Zea.

Pagi tadi contohnya, saat membuka mata yang terlihat pertama kali adalah gadis itu. Mahes terganggu dengan bibirnya. Ya, bibir tipis berwarna merah muda tersebut merekah tidak patut. Mahes tergoda untuk menyentuhnya. Dia penasaran, bibir ini kalau bicara bisa tanpa jeda, tapi jika Zea bangun bagaimana?

Maka pagi-pagi sekali dia memilih berolahraga. Mahes harus bisa mengenyahkan bayangan tersebut.

"Kamu apain Zee sampai nangis kaya' gitu?"

Mahes menoleh pada mamanya tidak mengerti, "enggak aku apa-apain."

"Trus kenapa dia sampai nangis kaya' gitu?" ulang Wina.

"Ya, Mama tanya dia dong."

"Dia bilang kamu jahatin dia."

Kali ini Mahes tersedak. Dia menjahati Zea, bukannya yang ada dia dianiyaya gadis itu? Pukulannya saja masih terasa.

"Fitnah dia, Ma. Jangan percaya!"

"Zee nggak mungkin bohong, Mama kenal dia baik."

"Anaknya Mama itu Zea apa Mahes? Heran. Memangnya Mahes pernah nyakitin cewek apa?" Mahes menggerutu sebal.

Wina berpikir sebentar, yang dikatakan Mahes benar, "Mama minta kamu jangan jahatin Zee. Kasihan. Kamu tuh harusnya jagain dia. Masa' hari ke dua udah dibikin nangis. Gimana kalau keluarganya nggak terima?"

Mahes menatap mamanya tidak percaya. Seandainya Wina tahu, Zea tidak seperti penilaian wanita itu bagaimana? Mamanya begitu mengharapkan kebersamaan mereka sampai kakek-nenek, padahal nikah saja tanpa cinta.

"Kamu harus ngertiin Zee. Ini semua tuh terlalu tiba-tiba buat dia. Dia sudah menyelamatkan keluarga kita dengan nikah sama kamu, orang yang belum dia kenal sama sekali."

"Trus, Mama bayar dia berapa?"

Wina tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut putra sulungnya, "maksudmu?"

"Mungkin Mama menawarinya salah satu kafe atau resto punya mama?"

"Jaga bicaramu, Hes!" Wina berteriak murka.

Mahes sendiri pun tidak menyangka jika mamanya mampu berteriak sedemikian rupa, membuat seorang Pekerja yang kebetulan lewat berhenti di tempat.

"Kamu berpikir buruk pada mama? Kamu kira mama dan Zee bekerja sama, gitu? Asal kamu tahu, saat mama memohon Zee untuk nikah sama kamu, dia nolak. Biar pun mama tawarin semua yang mama miliki."

"Zee mau membantu karena mama menjamin kamu laki-laki yang baik, yang nggak akan buat dia menangis." sambung Wina yang kini mulai terisak. Dia merasa terluka karena sebagai seorang ibu sudah tidak dipercayai oleh putranya sendiri.

Mahes menutup mukanya, merasa bersalah, "Ma, aku nggak berpikir gitu."

"Enggak apanya? Kamu...,"

"Apa kalian akan terus bertengkar?" Atmajaya turun dari tangga, menghampiri istrinya kemudian memeluk erat. Mahes mendengkus sebal, Wina mulai bermain drama.

"Dilihat menantumu dari atas," bisik Atmajaya. Wina mengangguk pelan, menyembunyikan muka di dada suaminya.

Sementara itu, Mahes memilih untuk kembali ke kamar. Ketika dia berpapasan dengan Zea, laki-laki itu tidak berhenti, malah sengaja menyenggolkan bahunya ke bahu gadis itu.

Zea mendesis, ingin membalas tapi urung. Dia akan melakukannya nanti-nanti. Hari ini ingin fokus dengan membenahi kamar, Wina sudah setuju, dan itu akan menjadi pembalasan yang tepat untuk suaminya yang semena-mena.

***
Bersambung...

Diapelin Mahes, gimana rasanya?
Betewe, malam ini sebenarnya aku ada banyak acara, Gaes. Namun karena sudah janji mo Apdet, jadi update dulu 😄

Boleh nggak nih aku minta kalian yang baca cerita ini untuk ninggalin jejak dengan pencet tombol bintang. Biar makin semangat gitu, kuy.

Sekali lagi, makasih buat semua yang udah dukung.

Salam, Loopies.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro