Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Suami Idaman?

"Zeaaa!"

Ecca melupakan satu hal. Di dapur tidak boleh ada keributan, jadi suara cemprengnya membuat gadis yang dipanggil terlonjak, merusak satu kue jahenya.

"Zea!" ucap Ecca girang, gadis seumuran itu memeluk sahabatnya penuh suka cita. Tidak mau melepas padahal Zea meronta.

"Zea, kamu tau nggak, aku beneran nggak sabar pengen cepet-cepet pulang buat nemuin kamu. Pas denger kabar itu aku nggak percaya, tapi kamu tau kan aku ini pengagum Nyonya Atmajaya jadi aku percaya setelah lihat postingan Beliau. Kamu cantik banget!"

Serius? Dari sepanjang kalimat tadi yang boros kata 'aku, kamu, nggak' intinya cuma pujian cantik untuk dirinya? Zea mendengkus sebal.

Tanya kabar, bukankah itu lebih manis?

Zea melepaskan diri dari kunkungan Ecca  kemudian kembali meneruskan kue jahe yang belum selesai. Mengacuhkan sahabat terdekatnya, Ecca. Sampai gadis itu mencebik kesal dan bersedakap.

"O, jadi gini sikapmu setelah jadi bagian Atmajaya? Cih, dasar kacang lupa kulit."

Mendengar perumpaan tersebut Zea tak bisa menahan tawa, dia lantas mendekati Ecca.

"Uluh-uluh, aku tidak akan melupakanmu. Cintaku, sayangku, belahan jiwaku." ucapnya sembari mentowel pipi Ecca yang menggelembung seperti bakpao.

Ecca masih memasang muka cemberut. Namun dasar dari mukanya yang lucu, ekspresi marah justru terlihat menggemaskan.

"Aku benci kamu."

"Ya ampun, gitu ja ngambek?" Zea beralih dengan pelukan, sama siapa lagi dia akan curhat tentang permasalahan? Ecca sudah seperti tempat pembuangan. Segala cerita mengalir padanya.

"Kamu nyuekin aku!" dengkus Ecca.

"Kamu nggak lihat aku sedang menghias kue?" Zea menunjuk pekerjaannya di meja, Ecca melongok sebentar kemudian tersenyum malu.

"Pesanan siapa lagi? Aku perhatiin kamu buat kue jahe hampir tiap bulan?"

"Nggak tau, kata Mama sih orang spesial. Dia suka banget sama kue itu."

"Cieee, yang sekarang manggil bos dengan Mama."

Pipi Zea terasa hangat mendengar celetukan tersebut. Dia juga awalnya canggung, tapi setelah dipaksa dan setiap hari memanggil seperti itu jadi sebuah kebiasaan. Apalagi Wina akan mendelik kalau tidak dituruti.

"Cieee, salting niye?"

"Udah ah. Ayo balik kerja."

"Cieeee...," goda Ecca.

"Balik kerja, nggak!"

"Cieee, sok bossy."

"Ecca?"

"Zea?"

"Ca."

"Ea."

Keduanya tertawa. Tidak akan selesai jika sudah seperti ini.

"Ayolah, Ca."

"Iya-iya, MyBoss!" goda Ecca lagi.

"Ca!"

Ecca terkikik geli. Senang bisa menggoda temannya pagi ini. Dia merasa ada aura kebahagiaan dari muka Zea dan sepertinya bertanda baik.

"By the way, aku kira kamu nikahnya sama Cakra loh. Soalnya Boss kita-yang sekarang jadi Mami mertuamu itu, getol banget jodohin sama tu anak. Nggak nyangka malah dapat anak tertua."

Zea menghentikan kegiatannya melukis kue jahe, Wina kemarin juga mengatakan hal itu. Dan selama tinggal di keluarga Atmajaya, dia jarang berinteraksi dengan Cakra. Hanya beberapa kali berpapasan, itu pun cuma dibalas anggukan.

"Suamimu itu kerjanya di mana? Dia nggak pernah kelihatan di sini," Ecca meletakkan kue jahe ke oven, kemudian mengatur panas, dan berbalik. Menunggu jawaban.

"Kerja sama papanya." jawab Zea asal. Sebenarnya dia tidak tahu pekerjaan Mahes. Anggap dia istri tidak perhatian.

"Emang kamu nggak pernah tanya?"

Deg.

Bertanya? Yang ada mereka bertengkar saat bersama. Pagi tadi saja mereka berebut siapa yang memakai kamar mandi duluan, dan tak perlu menebak, tentu Zea-lah pemenangnya.

Mahes meski sering marah-marah tapi selalu membiarkannya bertindak sesuka hati. Kamar dia buat seberantak mungkin dengan koleksi novel-novelnya dan Mahes hanya berkomentar sedikit. Paling banter menyuruh agar membereskannya saat selesai membaca.

"Enggak."

"Zea!" Ecca berdecak kesal. Sahabatnya ini orang seperti apa dalam memaknai pernikahan?

"Aku tau, aku salah. Tapi kamu harus lihat situasinya di lapangan. Kami ini lebih mirip kucing dan tikus." Zea merasa lelah.

Ecca menatap Zea tidak percaya.

"Kamu bayangin, Ca. Kami nikah tanpa cinta, dipaksakan bersama dalam satu atap tanpa mengenal satu sama lain. Kamu juga tahu minimnya pengalamanku soal cinta, yang ada dalam bayanganku laki-laki itu sama ja. Pengkhianat."

"Aku pernah jatuh cinta, Ca. Tapi dia mengkhianatiku dan milih cewek yang aku benci. Seolah-olah aku tidak lebih baik dari,"

Ecca perlahan mendekati Zea kemudian memeluknya erat, "sssttt..., sudah!"

"Ca, dia memilih," isak Zea mulai memenuhi ruangan.

"Sudah. Semua sudah lewat di belakang. Bukan kamu yang buruk, tapi cowok itu yang bodoh karena nyia-nyiain kamu." hibur Ecca sambil terus menepuk punggung Zea.

Zea mengangguk dalam dekapan Ecca.

"Sekarang kan kamu dah nikah, punya suami yang ganteng, kaya, baik, dan pastinya rajin menabung."

"Mahes jelek, dia juga jahat, dan dia nggak cinta aku."

"Belum, nanti ada waktu dia cinta sama kamu. Ingat kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Buat dia mengenalmu, dan dia akan tahu kalo kamu emang yang paling pas jadi istrinya."

Zea sedikit terhibur. Dia merasa aneh dengan pemikiran sahabatnya itu. Membayangkan Mahes memandangnya penuh cinta, sungguh sangat menggelikan.

Tanpa disadari keduanya, seseorang menguping. Tak jauh dari Ecca dan Zea. Namun karena tak mau mengganggu, orang tersebut segera meninggalkan dapur dan pergi dengan perasaan bahagia.

Orang itu merasa yakin masih memiliki kesempatan asalkan dia bisa lebih cepat merebut hati Zea. Ya, dia adalah Ronald. Teman kedua gadis yang berpelukan di dapur.

**

"Papa manggil aku?"

Atmajaya mendongak, menatap putra sulungnya kemudian tersenyum, "duduk. Papa ingin bicara."

Mahes segera menuju sofa tunggal. Sempat merasa aneh juga kenapa dipanggil, seingatnya bulan ini dia belum diwajibkan lapor dan kinerjanya baik-baik saja. Meningkat malah.

"Mau minum apa?"

"Enggak usah, Pa. Mahes banyak kerjaan yang harus diselesaikan."

Atmajaya hanya tersenyum kemudian mengikuti putranya duduk di sofa.

"Bagaimana kabar Zee?"

"Baik. Dia mulai kerja hari ini." jawab Mahes semakin heran, pagi tadi semua orang lihat bagaimana antusiasnya Zea diizinkan kembali bekerja di toko kue. Bahkan sampai menciumi Wina berkali-kali.

"Papa boleh lihat kartu debitmu?"

Apalagi ini? Dari semua hal yang bisa ditanyakan, kenapa papanya minta diperlihatkan kartu debit. Meski begitu, Mahes tetap mengeluarkan kartu-kartu sakti tersebut dari dompet. Menunjukkan pada Atmajaya.

Atmajaya manggut-manggut, "banyak juga. Zee pegang berapa?"

Beberapa detik Mahes berpikir, dan akhirnya tersenyum. Dia menyadari kekeliruannya.

"Papa rasa kamu sudah tahu alasan kenapa dipanggil. Tadi pagi, waktu Zee minta izin bekerja, Mamamu sudah menebak. Kamu nggak ngasih Zee apa-apa kan? Maka dia ingin bekerja. Dia perlu sesuatu yang lain selain tempat tinggal dan makan. Zee butuh baju, hiburan, dan kebutuhan lain yang tidak bisa dipenuhi kalau berpangku tangan, ditambah suaminya belum juga sadar pada perubahan status."

Mahes menunduk.

"Kamu seorang suami sekarang. Cinta atau tidak, Zee istrimu, yang wajib kamu penuhi semua kebutuhannya."

"Kamu tidak bisa lagi memikirkan diri sendiri, karena sekarang ada Zee sebagai istrimu. Mau ke mana lapor, mau beli sesuatu bilang, minta pendapat jika ada kesulitan. Jangan jadiin Zee pajangan, teman ribut."

"Maaf, Pa."

"Minta maaf sama Zee, sama Mama juga."

"Iya, nanti." Mahes berkata lirih.

"Kamu itu, jangan cuma iya-iya ja. Praktekin! Jangan sampai Mamamu bertindak."

"Maksud, Papa?"

"Mamamu pengen punya cucu segera."

Mahes tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Cucu? Menyentuh Zea saja belum. Atmajaya tertawa mengejek.

"Mahes bisa andalkan Papa kan, dalam menangani Mama?"

Atmajaya tergelak. Kelemahan Mahes adalah Wina, tidak ada satu pun yang ditolak dari perintah wanita tersebut.

"Tentu. Kamu percaya sama Papa, tapi jangan lama-lama juga. Nanti Mamamu curiga."

"Tidak lama." ucap Mahes penuh keyakinan.

"Jadi kapan misi dilaksanakan?"

"Misi apa?" Mahes masih bingung.

"Memberi Mamamu cucu," jawab Atmajaya santai.

Mahes mendesah lelah. Ternyata sama saja, "nyentuh ja belum."

"Kamu impoten, Hes?" Atmajaya tertarik untuk menyimak jawaban yang akan diberikan Mahes.

"Ya enggaklah. Papa nggak tau ja gimana Zee saat didekati, udah kayak Hulk. Syukur aku masih hidup sampai sekarang."

"Hahahaha, jangan malu-maluin Papa dong, Hes. Masa naklukin istri tidak bisa, kemana predikat mahasiswa terganteng saat kuliah? Kecuali kalau kamu beneran impoten."

"Pa." Mahes berseru tidak terima.

"Kayaknya kamu beneran butuh Mama, Hes."

"Enggak-enggak, sekali enggak tetep nggak." Mahes beranjak dari duduk, bersiap meninggalkan ruangan Papanya. Lama-lama di sini dia bisa dikuliti Atmajaya.

"Hes, ingat yang tadi!" Atmajaya segera mengambil telpon genggam, mendeal nomor favoritnya selama ini, sementara Mahes telah keluar setelah sebelumnya melambaikan tangan.

"Tahan dulu rencana Mama, kasih Mahes waktu sebulan."

Sementara di seberang sana bersiap melayangkan protes, "Mahes sudah janji tadi. Jadi kali ini Mama percayakan saja." Atmajaya bersungguh-sungguh.

Atmajaya mengakhiri panggilan.
Susah juga berada di pihak tengah, apalagi Wina dan Mahes sama-sama keras kepala.

***

Hai, apa kabar?  Malam minggu ini ditemani siapa, Gaes?  Jangan ngaku sendirian ya, karena Mahes dan Zea siap nemenin kalian.

Betewe, selamat menikmati malam minggu yang cerah ini.

Salam mahluk immortal  Loopies.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro