Berada di Satu Kamar
Belum pernah dia merasa segugup ini. Bahkan saat pertama kali ditunjuk menggantikan ayahnya di perusahaan, Mahes begitu percaya diri meski yang dihadapi orang-orang berpengalaman.
Ini seperti persidangan. Ayahnya duduk di sofa bersama sang ibu, kemudian adik-adiknya berada di sebelah, dan terakhir, orang yang dia ketahui adalah orang tua Zea. Laki-laki dengan uban yang hampir rata di kepala itu terus menatapnya penuh penilaian. Sedangkan Zea, terus saja menunduk dengan jemari bertaut pada jemari ibunya.
Kemana keberanian gadis itu menguap? Bukankah tadi sebelum ke sini mereka sepakat untuk membatalkan pernikahan. Tidak. Lebih tepatnya Zea meminta pembatalan. Dia hanya diam tak menanggapi, toh kehidupannya tidak akan ada beda.
Jika Zea benar-benar membatalkan pernikahan, Mahes akan kembali dijodohkan dengan gadis lain. Seluruh hidupnya telah diatur keluarga. Dari pendidikannya saja, dia tidak bisa memutuskan apa-apa karena dirinya anak pertama Atmajaya. Orangtua selalu berdalih, di pundaknya lah semua beban ditangguhkan.
Apa dia menyesal? Awal-awal memang iya. Namun seiring waktu Mahes mulai mengerti. Dia ingin adik-adiknya tidak bernasib sepertinya. Dengan mengorbankan diri, dia bisa memastikan hal tersebut tidak akan terjadi pada Cakra dan Yuda.
.
"Aku," Zea akan membuka suara tapi Wina lebih dulu memotong.
"Boleh aku bicara dengan Zea sebentar? Berdua." Wina beranjak diikuti gadis itu setelah meminta persetujuan dari orangtuanya.
Ketika telah sampai di balkon, tempat yang diyakini Zea juga sebagai ruang keluarga itu terlihat sangat rapi. Alas-alas duduk ditata sedemikian rupa, pot-pot bunga aneka warna menambah kecantikan, kemudian sebuah meja kecil entah apa kegunaannya. Tempat ini begitu nyaman, apalagi tidak ada aura-aura menegangkan dari anggota keluarga Atmajaya.
"Bukan tanpa alasan aku menunjukmu kemarin. Aku akan menjadikanmu pasangan Cakra karena Mahes sudah memiliki calon."
Zea tidak percaya dengan pengakuan blak-blakan dari ibu mertuanya---ralat, mungkin sebentar lagi tidak.
"Kamu harus tau, Zee. Aku menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Saat kamu lebih mirip anak SMA ketimbang pelamar pekerjaan, karena penampilanmu sungguh tidak meyakinkan. Kamu mengatakan hal-hal menggelikan alasan kenapa ingin bekerja."
"Apa tadi, Nyonya Besar yang selalu kamu sebutkan di cerita-ceritamu?"
Zea mengangguk, sedikit bisa menyunggingkan senyum. Wina adalah wanita yang hangat dan penuh kelembutan. Atasannya tersebut bisa membuat orang-orang betah bersamanya. Perlakuan terhadap yang lain pun tidak dibeda-bedakan, membaur.
"Zea, tolong jangan batalkan pernikahan kalian. Mama janji akan membujuk Mahes, dia pasti akan setuju. Dia anak yang baik, dan dia akan memperlakukanmu sama seperti memperlakukan keluarganya sendiri." Wina tidak bisa lagi menahan air matanya, membuat Zea serba salah.
Di satu sisi, dia tidak ingin melanjutkan pernikahan dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Benar. Siapa yang akan menyangkal kebaikan Nyonya Atmajaya, wanita yang masih terlihat cantik di usia setengah abad itu diketahui menjadi donor tetap beberapa panti asuhan. Namun itu takkan menjamin anak-anaknya sama baiknya seperti Wina.
Dan bagaimana Zea tahu? Setahun bekerja dengan wanita itu membuatnya mau tak mau mengetahui kegiatan Sang Nyonya. Setiap bulan dia akan mengekori Wina, membawakan baju untuk anak-anak panti. Kue-kue buatannya juga tidak luput dibawa. Ada rasa bangga tersendiri meski semua itu berasal dari Wina, bukan dirinya.
"Zea, kamu mau kan jadi bagian keluarga ini?" ucap Wina penuh permohonan.
Sementara Zea, gadis itu terlihat masih menimbang lanjut atau tidak. Wina bergerak cepat dengan menggenggam jemarinya lembut.
"Kamu tau, Zea. Mama senang ketika ada kesempatan mewujudkan impian, yaitu menjadikanmu menantu di keluarga ini. Ya, meski pun dengan cara yang penuh drama." Wina berusaha tersenyum.
Dari tadi Wina terus menyebut dirinya Mama, membuat Zea semakin merasa bersalah saja jika dia bersikeras membatalkan pernikahan.
Zea baru akan membuka mulut, ketika seseorang datang mengistrupsi.
"Ma, lama banget? Semua sudah di ruang makan, tinggal Mama sama---Kak Zee." Yuda. Adik Mahes yang bungsu itu tampak berpikir sebelum menyebut anggota keluarga baru Atmajaya.
"Iya, kamu duluan. Mama ke sana sebentar lagi." Wina kemudian menatap Zea penuh harap, membuat gadis itu tak berkutik sedikit pun.
.
Seharusnya memang batal saja pernikahan mereka. Lihat saja, Zea sudah memonopoli. Dari mulai kamar mereka. Tidak tanggung-tanggung, guling yang kegunaannya didekap dijadikan pembatas ranjang. Gadis itu beralasan, tidak mau tidur di sofa karena dingin.
Tadi pun di meja makan, sekembalinya dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Acara berlangsung seperti penyambutan anggota baru. Dalam sekejap Zea menjadi bintang, diterima dengan suka cita. Seluruh orang memperebutkan perhatian gadis itu.
Mahes bersedekap. Bingung dengan kelakuan perempuan satu itu. Tidak ada rasa gentar sedikit pun padahal dialah pemilik sah kamar ini.
Tidak mau peduli, Mahes menjatuhkan tubuh ke ranjang. Dia kurang tidur dari kemarin. Kemudian dengan sengaja melanggar batas yang ditentukan Zea. Gadis itu rupanya pura-pura tidur, terbukti dengan gerakan cepat menepuk tangannya.
"Ingat, Hes. Ini batasnya." ucap Zea dengan mata terpejam.
Mahes menganga. Apa tadi, Hes? Dia dipanggil Hes? Apa-apaan itu? Mamanya pasti keliru menilai kepribadian gadis ini. Sungguh tidak ada sopan-sopannya sedikit pun.
Mahes semakin tertantang menerobos batas, kali ini sampai menubruk tubuh Zea hingga gadis itu murka.
Zea mengambil guling, memukulkannya pada Mahes. Berulang-ulang.
"Apa-apaan kamu?!" Mahes tidak terima, dia bangun dan menatap kesal Zea. Kini mereka berhadap-hadapan dengan Zea yang bersiap memukul.
"Kamu yang apa-apaan? Sudah kubilang ini batasnya, jangan dilanggar!"
"Batas, batas apaan? Ini kamarku dan aku yang berhak menentukan."
"O, gitu? Oke. Oke, kita lihat siapa yang berhak atas kamar ini." Zea beranjak dari ranjang, membuat Mahes berpikir apa yang akan dilakukan gadis itu yang mulai berjalan menuju pintu.
Semoga ketakutan Mahes tidak benar.
Zea membuka pintu, dan, "Mamaaaaa...."
Mahes beranjak dengan buru-buru sampai hampir terjerembab. Lalu dengan cepat menyambar tubuh Zea, membekap sebelum melakukan panggilan ke dua. Tentu saja Zea meronta.
"Diam!" Mahes berusaha mengimitidasi, tapi dasarnya Zea yang tidak takut apapun, dia semakin meronta dalam kungkungan laki-laki itu. Tak pelak Mahes mendapat pukulan, tendangan, dan keplakan.
"Mama!" panggil Zea lebih keras ketika berhasil meloloskan diri.
Mahes bersyukur kamar mereka berjarak cukup jauh dari kamar orangtuanya. Jadi tidak ada yang mendengar dan dengan cepat dia menutup pintu menggunakan kaki.
Satu yang tidak diketahui Zea, kamarnya kedap suara. Dia akan berterima kasih pada Cakra yang telah mengusulkan ide tersebut beberapa hari lalu. Hanya untuk mengantisipasi, dan ternyata berguna.
"Mama!" panggil Zea berungkali. Lama-lama dia gentar karena Mahes tidak menunjukkan kepanikan. Bahkan berani memasang senyum evil sambil berusaha mendekatinya.
Zea beringsut takut. Kenapa tidak ada yang menolongnya? Dan saat dia mundur tanpa melihat belakang, tubuhnya jatuh ke ranjang. Begitu saja.
Yang lebih menakutkan bagi Zea, Mahes kembali mengungkungnya. Laki-laki itu tepat berada di atasnya.
Zea menutup mata karena takut, atau pasrah menerima takdir?
Lama. Tidak ada gerakan sedikit pun dari Mahes tapi Zea tahu laki-laki itu masih mengungkungnya. Dapat dia rasakan dari hembusan nafas yang begitu dekat jaraknya.
"Aku tidak tertarik padamu, Zee. Kamu tidak lebih cantik dari mantan-mantanku. Kamu juga tidak berisi seperti mereka, dadamu rata, kakimu pendek, dan menyusahkan." setelah mengucapkan serentetan penghinaan, Mahes beranjak dan mengambil selimut. Dia mengalah, menuju sofa dan memejamkan mata.
Sementara Zea, mendengar hal itu hatinya menjadi sakit. Iya, dia memang tidak cantik, memiliki dada rata, dan juga pendek. Namun apa perlu diucapkan secara gamblang? Nyonya Besar saja yang selalu kesal tetap memanggilnya dengan Putriku yang cantik.
Zea menangis. Dia beringsut ke samping ranjang, dia tak mau melihat Mahes. Besok dia akan membatalkannya. Mama Mertuanya bohong, Putranya bukan orang baik, bahkan di hari ke dua berani menghujaninya dengan penghinaan.
Ya, besok dia akan melakukannya tanpa ragu.
***
Hihihi..., kalo ada typo tolong diingatkan.
Betewe, eniwe, setelah memutuskan untuk lanjut maka aku akan bersungguh-sungguh. Seperti kembali melakukan riset, ngerepotin beberapa teman, jadi wartawan dadakan, dan yang paling penting ngepoin kehidupan rumah-tangga orang. Maksudku, tanya-tanya seputar serunya hidup mereka.
Salam, Loopies.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro