Prolog
Kaki mulus nan jenjang tak beralas tersebut berlari sekuat tenaga. Tak peduli pada tanah basah dan genangan air keruh yang ia pijak setelah hujan menguyur semalaman menodai tungkai. Daun kering serta ranting menimbulkan bunyi gemerisik di setiap langkah yang diambil cepat. Tangan mungilnya mengangkat kain nyamping tumpul malangan setinggi pinggang agar tidak menghambat pelariannya. Mengabaikan rambut yang semula tersanggul rapi berhias bunga melati hingga berjatuhan lah Jamang beserta aksesoris lainnya. Dia bahkan membuang satu persatu kalung hara, klat bahu juga pending pitaloka yang terlilit dipinggang begitu saja seolah lupa bahwa seminggu lalu, pakaian ini lah yang begitu ia idam-idamkan untuk dikenakan saat bersanding dengan pemuda yang ia cintai, Ardhi.
Deru napas perempuan itu menderu seiring detak jantung berdegup semakin tak karuan. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk memastikan jarak antara ia dengan lelaki yang baru saja resmi menjadi suaminya telah cukup jauh. Dia berbelok, menyembunyikan diri di balik pohon besar nan rimbun. Cahaya senja mulai tenggelam, hutan pun semakin gelap. Dalam persembunyiannya, Fatma teringat ibu dan bapak. Dia yakin saat ini orang tuanya pun pasti tengah mengira bahwa anak mereka sedang berbahagia melakukan perjalanan bulan madu ke kota.
Air mata mulai menetes, isakan tertahan. Bukan seperti ini hari indah yang ia bayangkan. Fatma menutup mulut dengan kedua tangan. Dia tidak tahu harus bagaimana, tapi nalurinya saat ini hanya memerintahkan untuk lari sejauh mungkin untuk menyelamatkan diri. Bagaimana tidak, dirinya--dan ia yakin banyak warga tidak akan menyangka jika menghilangnya gadis-gadis di desa secara misterius didalangi oleh suami barunya yang bahkan digadang-gadang sebagai menantu idaman banyak orang tua. selain karena paras yang rupawan, Ardhi juga dikenal sebagai pemuda yang sopan, ramah serta memiliki kebun yang cukup luas di antara penduduk yang lain.
Kepala Fatma bergerak pelan, terusik dari ketiduran. Pelarian yang melelahkan fisik serta tangisan yang sejak tadi tak berhenti meratapi nasib rupa-rupanya membuai Fatma hingga tak sadar. Punggung yang semula bersandar pada pohon besar seketika menegak. Mata terbuka dan seketika tubuhnya bergetar melihat Ardhi tengah berjongkok di hadapannya. Memandangi Fatma dengan senyum yang terlampau lebar, dagunya turun agak menunduk, akan tetapi sorot matanya jelas bukan memancarkan rasa sayang.
"Ma Mas Ar-dhi," ujarnya terbata.
Seluruh darah dalam diri Fatma menyusut. Terlebih saat melihat tangan Ardhi tengah menggenggam tali putih yang tergulung.
"Mas selalu senang melihat wajahmu yang terpejam." Jari Ardhi menyentuh pipi Fatma. Calon istrinya bergerak menghindari. Namun, hal tersebut tidak membuat Ardhi sakit hati. Senyumnya kian lebar.
Senyum yang semula mampu menawan hati Fatma hingga terpikat, kini terlihat mengerikan. "Aku a-aku salah apa Mas?"
Ardhi menggeleng pelan. "Kamu tidak salah, sayangku. Mas menyukaimu dan itu bukan sebuah kesalahan."
"Lalu ... lalu untuk apa." Fatma membasahi tenggorokannya sebelum melanjutkan pertanyaan yang ia sendiri takut mendengar jawabannya. "Untuk apa tali itu?"
"Ini?" Ardhi mengangkat tali di tangannya tanpa rasa bersalah. "Mas kan sudah bilang, Mas suka saat melihat wajah cantikmu itu terpejam."
"Ayo! Ikut Mas! Kita sudahi permainan juntit jongok ini."
Fatma berusaha melepaskan tangan Ardhi yang menggenggamnya. Dia tidak ingin ikut kemana pun Ardhi membawanya. "Aku nggak mau, Mas."
Air mata kembali tumpah, Fatma merintih, memelas kepada Ardhi. "Tolong lepasin aku, Mas. aku ingin pulang."
"Pulang ke mana? Bukan kah sekarang kau adalah istriku. Kau harus ikut ke mana pun aku pergi dan menuruti apa pun perintahku."
"Ngapunten, Mas." Fatma tetap bertahan dalam posisi duduknya ketika tangan Ardhi terus menggeret perempuan tersebut. Namun, kesabaran Ardhi rupanya telah habis. Dia berbalik menatap Fatma dengan wajah menyeramkan. Langit malam menjadi saksi jeritan Fatma kala itu.
Beberapa waktu kemudian, tali putih telah melilit leher Fatma dan ia tergantung pada sebuah patung berhala setinggi tiga meter dengan mata terpejam yang menurut Ardhi terlihat lebih cantik.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro