Pertengkaran Terakhir
Kamar Karina masih sama dari terakhir kali Indira memasukinya sebelum pergi berlibur. Di tempat ini pula lah pertengkaran mereka terjadi. Indira masih mengingat betul kata-kata kejam yang ia lontarkan pada Karina sehingga membuatnya merasa bersalah sampai sekarang. Saat itu Indira ingin mengadu pada Karina perkara tidak mendapat izin dari Billy dan Septi atas keinginannya untuk berlibur ke Jepang selama satu bulan.
“Kakak sama aja dengan Papi. Kenapa aku harus menuruti kemauan kalian? Aku hanya pergi ke Jepang selama satu bulan.”
“Satu bulan itu bukan waktu yang sebentar untuk liburan, Fe. Mungkin jika hanya satu pekan papi dan mami akan mengizinkan,” timpah Karina dengan nada sabar.
“Aku sudah dewasa, Kak. Lagi pula kalian semua hampir mengenal teman-temanku. Kalian bisa memantauku melalui mereka jika kalian keberatan.”
“Kamu seperti tidak mengerti papi saja.”
“Untuk itulah aku membutuhkan dukungan kamu, Kak.” Kali ini Indira mulai merengek. Ia menghempaskan tubuhnya ke kasur sedangkan Karina masih di depan meja rias tengah memoles wajahnya dengan krim perawatan.
“Jika kau memang sudah dewasa maka coba lah untuk mendapat izin dari papi dan mami sendiri. Jangan melulu mengandalkanku, aku tidak selamanya bersamamu.”
“Kakak yakin ingin aku melakukan itu? Mendapatkan izin dari papi mami dengan caraku?”
Mereka berdua masih mengingat bagaimana Indira juga sempat bertengkar hebat hingga Billy menampar Indira ketika memiliki jurusan arsitek di Australia.
“Kalau begitu, coba lah untuk memahami mereka. Maksud papi dan mami baik. Mereka mengkhawatirkanmu. Jangan egois.”
“Aku hanya berlibur untuk merayakan kelulusan serta perpisahanku dengan teman-temanku dan kalian bilang itu egois?” Indira berdiri, menatap wajah Karina melalui pantulan cermin.
“Bukan kah kakak yang egois, kakak berencana pergi dari rumah dengan menikahi putra dari keluarga Hartono itu kan?” tuduh Indira.
Jari Karina yang hendak mengoles krim mata terhenti di udara, ia menoleh. “Dari mana kau mendengar berita itu?”
Sambil melipat tangan, Indira memberi sorot mata jengkel. “Itu tidak penting. Tapi apakah lelaki itu lebih penting dariku?”
“Jika yang kau maksud adalah Tristan Hartono maka tentu saja ia tidak lebih penting darimu.”
“Lalu kenapa kakak bersedia? Kakak tidak lihat keluarga Mika seperti apa? Atau kakak lupa pada kejadian di masa lalu? Saat kita masih kecil dan Mami didatangi debt kolektor akibat Papi yang membawa kabur sejumlah uang pinjaman?”
Keluarga Wistara memang bukan keluarga sederhana, sejak awal ibu dan ayahnya berasal dari keluarga yang berkecukupan, akan tetapi bisnis tidak selalu berjalan mulus. Sementara ayah mereka terlalu tinggi hati untuk meminta bantuan hingga sempat terlilit hutang. Hampir setiap hari rumah mereka di datangi, diteror di telepon, dan berusaha tidak bersuara setiap kali ada yang datang untuk menagih uang. Menikah dengan keluarga kaya tidak lantas membuat kita bahagia, tetapi tidak menikah membuat kita cukup tidak terlibat lebih banyak masalah. Indira dan Karina sempat berjanji untuk menyayangi satu sama lain. Indira memegang prinsip tersebut hingga ia dewasa, bahkan ia tidak ingin lagi jatuh cinta kepada lelaki. Pernah satu hari ia tertarik pada seseorang saat masih sekolah, selayaknya remaja pada umumnya. Namun, itu hanya sesaat. Cinta monyet yang bertepuk sebelah tangan. Karena Indira menemukan jika cowok yang ia sukai hanya memanfaatkannya.
“Ini berbeda, Fe.”
“Omong kosong.”
“Kenapa kita jadi berdebat soal perjodohanku, bukan kah kau sebaiknya memikirkan cara untuk mendapatkan izin mami dan papi. Berhenti merengek seperti anak kecil dan urus saja urusanmu. Jika tidak bisa maka tidak ada salahnnya kau mengalah dan memenuhi keinginan mereka.”
“Aku bukan Kakak! Aku akan menjadi diriku sendiri tanpa harus dikendalikan oleh mami dan papi, sekali pun itu harus menentang mereka. Dan kakak mungkin bangga menjadi anak kebanggan papi dan mami, tapi di mataku kakak terlihat menyedihkan karena kakak tidak bisa mengambil jalan hidup kakak sendiri.”
Setelah melontarkan kalimat tersebut, Indira pun berlalu begitu saja. Itu merupakan kalimat yang begitu ingin Indira tarik kembali.
*****
Kenangan Indira, teralihkan karena ponselnya bordering menunjukan panggilan dari Mika. Indira menggeser ikon hijau tersebut.
“Yeoboseo,” sapa Mika di sambungan dengan nada mendayu.
Indira sampai harus memastikan lagi jika dia lah yang menerima panggilan, bukan dia yang menghubungi Mika.
“Kenapa Mika?”
Alih-alih menjawab pertanyaan tersebut Mika malah terisak semenit untuk kemudian tertawa tiba-tiba.
“Lu tahu ngga, Ra?”
“Apa?”
“Iman gue tadi terbang.” Tawa itu kembali berganti dengan tangisan.
“Iman?” Alis Indira berkerut. Sejak kapan Mika menjadi manusia yang religius. Nyebut nama Tuhannya aja dimix. “Lu mabok, ya?”
“Eh, tadi gue lihat ayam guedeee banget.”
Nah kan.
“Lu dimana?”
“Namanya ayam semesta.” Tawa Mika kemudian berderai mengikik seperti hantu berparas pucat dengan baju putih yang tidak pernah dicuci.
Indira menarik napas dalam, sebelum kembali berucap, “Kirim lokasi lu ke gue sekarang juga!”
*****
Halo pembaca!!
Jangan lupa dukung story ini tap bintang dan komen.
Buat kamu yang pengen baca lebih cepat, bisa mampir ke Karyakasa dengan judul yang sama. Gratis juga koq ^^
Tenang, story akan tetap di tamatkan di watpad
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro