Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keluarga

Selalu ada pertengkaran dalam sebuah hubungan. Entah itu dengan sahabat, pasangan, maupun keluarga. Namun, ada yang bilang jika pertengkaran membuat hubungan semakin erat apa bila kita mampu melewatinya.

Sepuluh jari lentik berhias cat kuku warna hijau pastel menekan satu per satu tuts keyboard laptop. Merangkai kata demi kata permintaan maaf sekaligus kabar baik yang Karina tulis dengan sudut bibir tersenyum. Mata cokelat terangnya menatap keluar jendela berkaca buram dan bingkai kayu yang sedikit mengelupas karena dimakan rayap. Dia mengibas rambut panjang sebelum bersandar. Menekan tombol terakhir, hingga tertera laporan bahwa pesan elektronik telah terkirim pada layar. Dalam hati, ia tidak sabar menunggu balasan dari sang Adik.

Ketukan pintu terdengar berikut salam. Karina bangkit, merapikan rok putihnya sesat sebelum menuju pintu sambil bertanya-tanya.

“Ya, sebentar.”

Persis ketika pintu dibuka, Karina tidak bisa menyembunyikan raut terkejut melihat siapa yang datang.

****

Felicia Indira Wistara hanya memiliki seorang kakak perempuan. Tidak terhitung berapa kali ia bertengkar dengan Karina. Sang Kakak yang super perfeksionis serta terlalu mudah kasihan pada orang lain. Sifat-sifat yang bertolak belakang dengan Indira. Meski demikian, perbedaan mereka merupakan cara untuk saling melengkapi satu sama lain.

Indira merindukan Karina sebagaimana ia merindukan pantai, suara deburan ombak, air laut yang hangat di waktu siang dan dingin saat malam, serta tekstur pasir saat menyentuh telapak kaki. Sejak di pesawat ia telah menulis banyak rencana, salah satunya adalah berbelanja bersama dengan ibu dan kakaknya. Ayah mereka tidak perlu ikut, cukup menyediakan dana saja. Bukan Indira tidak sayang, tapi terkadang Billy Wistara terlalu kaku dan sering merusak momen dengan celetukan-celetukan yang khas.

Koper ukuran besar berwarna lilac berhenti terseret bersamaan dengan sepasang kaki berbalut sneaker putih yang berhenti melangkah. Indira memperhatikan area sekitar. Memindai sambil mendengarkan instruksi lawan bicara di saluran telpon.

“Iya gue dah di Terminal 3 ini. Lu di mana?”

Mobil SUV hitam milik Mika yang katanya sudah berada di gedung parkir sejak setengah jam lalu pun menghampiri Indira membuatnya hampir mengumpat karena bunyi klakson tiba-tiba hingga beberapa orang memperhatikan mereka. Kaca diturunkan senyum tanpa dosa Mika menyambutnya bagai matahari di Indonesia yang lebih panas.

“Nggak bisa apa lu jadi normal sebentaaaarr aja?” gerutu Indira. “Harusnya emang gue nggak dijemput ama lu deh.”

“Gue suka rambut lu yang baru, Ra.” Mika masih duduk di kursi kemudi tanpa berniat membantu Indira menaikan koper. “Merah menyala kayak lampu perempatan.”

Indira mengambil tempat di sebelah Mika, sebelum memberikan lirikan seakan ingin membunuh sahabatnya itu. Rambut Indira yang bergelombang memang baru saja ia warnai seminggu yang lalu, tapi ini bukan merah lampu lalu lintas. “Ini burgandy dodol.”

“Lu mau makan dulu apa langsung balik?” Mika mengganti pertanyaan.

“Balik aja. Gue capek.”

“Tapi gue laper. Makan dulu aja ya?” rengekan Mika hanya dibalas helaan napas oleh Indira.

Mika Nasution, sahabat yang tumbuh bersamanya sejak masih remaja memang demikian adanya. Terkadang Indira heran pada diri sendiri karena mampu berteman lama sementara Mika paling sering menguji kesabarannya yang setipis tisu dibagi dua, terkena air pula.

Keduanya mendatangi sebuah cafe breakfast and brunch. Terlalu siang untuk disebut sarapan, tapi waktu juga sudah melewati pukul dua siang saat mereka memutuskan untuk makan di sana. Banyak yang Mika ceritakan tentang keluarganya yang telah memilih jalan masing-masing, tapi lucunya Mika tidak tampak sedih. Indira bersyukur melihat Mika yang tumbuh dengan baik di tengah keluarga yang sering melakukan KDRT. Sampai pada pertanyaan sakral terlontar.

“How about you? Lu masih marahan ama Kak Karina? ”

Sesungguhnya Indira merasa bersalah karena sempat melontarkan kata-kata yang tidak layak untuk didengar.

“Karina pasti maafin gue,” ujar Indira setengah mendung.

“Jadi lu nggak minta maaf?”

“Belum sempet, Mi. Gue juga udah ngehubungi Kak Karina sekali, tapi nomornya nggak akif. Mungkin gue diblokir karena dia masih marah.”

“Kalo Joshua gimana?”

Kali ini Indira menghempaskan punggungnya dengan raut wajah menahan jengkel.

“Nggak usah sebut-sebut nama tuh orang lagi. He is parashit.”

“Wo wo wo ... kenapa nih?” Mika terkejut dengan jawab Indira, karena sepengetahuannya Joshua anak baik yang sempat membuat Indira kagum lebih dari enam bulan. Jarang-jarang sahabatnya ini mengagumi lelaki selama itu. “Apa yang dia lakukan sampe bikin lu seilfil ini?”

“Jadi....”

Pembicaraan mereka pun mengalir selayaknya dua insan yang gemar me-review karakter manusia lain, untuk kemudian menjadikan bahan testimoni orang-orang yang bersangkutan sebagai pertimbangan tambahan alias ghibah, gaes.

*****

Tidak perlu diragukan memang, keluar bersama Mika selalu memakan waktu tak sebentar. Padahal ia sudah lelah dalam perjalanan liburan bersama dengan teman-teman kuliahnya ke Jepang selama beberapa hari dan ia baru tiba di rumah pukul lima sore.

Marni, asisten rumah tangga mereka bilang jika Billy pergi bermain golf bersama dengan rekan-rekannya sejak pagi sedangkan Septi mendadak pergi keluar setelah mendapat telpon dari seseorang.

“Kakak di mana?”

“Biar saya bawain kopernya, Non.” Bi Marni melihat koper Indira yang cukup besar untuk dibawa ke lantai atas.

Saat Indira hendak mengulangi pertanyaannya, ponsel berbunyi. Teman-teman yang berlibur bersamanya ke Jepang melakukan video call bersama. Indira menuju kamar lebih dulu.

Waktu telah menunjukan pukul sebelas malam, Indira terbangun dari tidurnya. Setelah bercakap dengan teman-teman lewat panggilan video. Indira tertidur pulas. Dengan wajah yang masih mengantuk, Indira turun menuju dapur. Beberapa lampu ruangan telah dipadamkan. Sesaat Indira berpikir ia sendirian, tapi ia senang melihat siapa yang ada di sana.

“Kak Karina,” sapa Indira.

Karina hanya menoleh sebentar padanya sebelum kembali mengaduk minuman.

“Kakak masih marah sama aku? Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud bilang kalau kakak terlalu berlebihan. Harusnya aku tahu batas. Pernikahan bukan sesuatu yang bisa diputuskan dengan cepat. Jujur, aku sendiri sebenarnya tidak rela kakak menikah.  Tapi kita nggak bisa menikah dengan orang hanya karena kita cinta orang itu.” Indira melihat kakaknya masih diam. “Kakak maafin aku kan?”

Meski samar, Indira bisa melihat anggukan kecil. Itu sudah cukup membuat Indira tenang sekaligus senang. Tanpa ragu, Indira memeluk Karina sebagai bentuk pengobat rindu. Dia memang jarang bertingkah manja, bahkan pada ibu dan ayahnya. Hanya Karina yang bisa membuat Indira nyaman melakukan hal konyol seperti merengek dan semacamnya.

“Kakak abis dari mana? Kok dingin banget?” Indira melepas pelukan sejauh jarak tangan untuk meneliti penampilan kakaknya yang mengenakan dress brukat putih berlengan pendek. “Kakak sakit? Apa di luar hujan?”

Belum juga Indira mendapat jawaban,  terdengan suara berisik dari depan. Indira menuju ke sana. Melihat Billy dan Septi yang baru tiba dengan raut wajah lelah. “Mami? Papi?”

Septi menatap Indira dengan wajah yang tak biasa. Seolah akan menangis–atau sudah. Tanpa berkata apapun sang ibu memeluk Indira dan ia tahu ini bukan sekedar pelukan hangat untuk menyambut kedatangannya.

“Fe ... Papi harap kamu tidak terlalu terkejut. Tapi....” Billy menarik napas, sementara Septi mulai menangis di pelukan Indira.

“Kakakmu, Karina. Dia sudah meninggal.”

Tunggu dulu? Papinya bilang apa?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro