9. Tragedi
Warning: 18+
***
Pasca kejadian di lapangan basket, aku dilanda galau berkepanjangan. Mungkin memang sudah waktunya menyerahkan diri seutuhnya pada Mas Ahim. Tapi aku juga ragu. Aku masih takut. Cerita yang lebih mendominasi pikiranku tentang malam pertama adalah cerita yang seram-seramnya, bukan yang plus-plusnya.
Duh, aku jadi pusing memikirkan hal sederhana ini. Eh, sederhana nggak sih kalau sudah menikah tiga bulan lebih, tapi belum mengalami malam pertama?
Aku nggak bisa begini terus. Aku harus mengambil keputusan, iya atau tidak. Dan aku memutuskan untuk mencobanya alias..., iya.
Malam ini Mas Ahim pulang agak telat karena ada pekerjaan di luar kota. Tak jauh, sekira 60 Kilometer saja dari kota tempat kami tinggal, jadi dia tak perlu menginap. Alhamdulillah, karena selama tiga bulan menikah, kami belum pernah sekalipun tidur terpisah.
19.37, terdengar dering dari gawaiku, panggilan dari Mas Ahim.
"Assalamualaikum, Sar."
"Waalaikumussalam. Udah sampai mana, Mas?"
"Udah di rumah Mbak Hana ini, Sar. Kamu masak nggak?"
"Iya, masak, tapi seadanya nggak pa-pa ya."
"Gaya amat, biasanya juga seadanya deh," sahut Mas Ahim dari sana. Huh, rayu dikit, kek!
"Iya udah, cepet pulang ya. Hati-hati di jalan."
"Kenapa nyuruh cepet-cepet? Kamu kangen aku, ya?"
"Udah, ah. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Setelahnya aku buru-buru menata meja makan, membuatkan susu coklat panas, lalu masuk ke kamar untuk menyiapkan baju ganti Mas Ahim. Tak sampai 15 menit, suara derum mobil terdengar dari luar.
Seperti biasa aku membuka pintu rumah sebelum dia turun dari mobil, lalu menyambutnya dengan senyuman paling manis.
"Assalamualaikum," sapaku sambil mencium tangannya.
"Waaaikumussalam." Dia menyambut dengan mengecup keningku. Hmm, ada yang berdenyar di hatiku.
"Kamu mau mandi dulu apa mau makan dulu, Mas?"
"Terserah kamu, Sar, pengennya aku makan dulu apa mandi dulu?"
"Dih, gimana, sih? Kayak anak piyik aja, masa kayak gitu pakai nanya segala." Aku merajuk.
"Kalau milih mandi dulu, kamu mau mandiin aku nggak?"
"Apa?" Aku pura-pura tak mendengar. Dia tertawa, mendorong kepalaku dengan telunjuknya.
"Ya udah, kita makan dulu aja ya, aku laper. Sebenernya tadi ditawarin ayam panggang di rumah Mbak Hana. Lha tapi nyonya nyuruh aku cepet pulang, ya udah deh, aku makan pakai sayur lodeh aja nggak pa-pa."
Cubitanku mendarat di pinggangnya begitu Mas Ahim menyelesaikan kalimatnya. Kesal sekaligus minder dengan perbandingan masakan di rumah dengan di rumah Mbak Hana. Aku belum jago kalau urusan masak memasak. Beda dengan Mbak Hana, dia punya asisten rumah tangga yang masakannya juara.
Mas Ahim tertawa kegelian gara-gara cubitanku, lalu merangkulku menuju meja makan. Lagi-lagi ada yang berdesir, di sini, di hatiku.
Kami makan sambil ngobrol tentang kejadian hari itu. Tak lama, karena aku kasihan melihat lelah di mata Mas Ahim yang sudah seharian bekerja.
"Mas, ngobrolnya nanti lagi aja, deh. Kamu mandi dulu aja biar seger. Aku tak cuci piring dulu." Kuangsurkan handuk kepadanya.
"Ayolah, Sar. Mandiin, dong. Please," rengeknya seperti balita.
"Emoh! Kayak bayi aja. Udah tua lho. Saru!" Mas Ahim tertawa keras. Sekali lagi, ada yang berdegup di dadaku.
Aku sendiri heran, rasanya dari tadi aku deg-degan terus saat berada di dekatnya. Apa mungkin karena aku sudah memutuskan untuk iya? Aku jadi merasa sewaktu-waktu nganu itu bisa saja terjadi. Ah, entahlah.
Aku memilih kembali fokus mencuci piring dan gelas sampai semua bersih. Meja makan juga sudah bersih dan rapi, tapi Mas Ahim belum juga selesai mandi.
Entah kesambet apa, kulangkahkan kaki ke kamar dengan terburu-buru. Secepat kilat menyisir rambut dan menyemprotkan parfum secukupnya. Kuoleskan juga lotion di tangan dan kaki, terakhir mengoles lipbalm aroma buah kesukaan Mas Ahim. Aku juga mengganti homedress dengan gaun tidur warna biru gelap dan mengkilap, hadiah dari Mbak Nisa.
"Sarah, kamu ayu banget pake baju gitu." Pujian Mas Ahim mengagetkan aku yang masih berdiri di depan cermin. Aku tersipu.
"Ehk, i-iya ini. Anu..., emm..., s-soalnya sayang bajunya kalau nggak pernah dipakai." Duh, kenapa juga pakai gugup segala.
"Iya juga sih, bajuku juga sayang banget nggak pernah dipakai," kata Mas Ahim sambil senyum-senyum nggak jelas.
"Baju yang mana? Perasaan bajumu udah dipake semua deh, Mas."
Aku berusaha mengingat, baju baru mana yang belum sempat dia pakai. Karena setiap kali dia beli baju, besoknya langsung kucuci, setrika, dan siap dikenakan.
"Sini deh, Sar." Dia duduk di tepi tempat tidur, melambaikan tangan sebagai kode agar aku duduk di sampingnya.
"Kamu, Sarah."
"M-maksudnya?"
"Kamu itu bajuku. Karena istri adalah pakaian bagi suaminya dan suami adalah pakaian bagi istrinya. Pakaian itu menutupi, seperti halnya istri pada suaminya, dan sebaliknya. Menutupi kekurangan dengan menerima dan melengkapinya. Menutupi kesedihan dengan menyamankan dan menentramkan hatinya. Menutupi kebutuhan satu sama lain, juga menutupi keinginan satu sama lain.
"Jadi..., kamu juga yang semestinya menutupi kalau aku kedinginan."
"Kalau yang terakhir itu selimut deh, Mas. Bukan baju."
Aku bercanda. Sebenarnya aku sedang berusaha menetralisir gemuruh di dadaku. Aku tahu ke mana arah pembicaraan Mas Ahim. Sesuatu yang memang berhari-hari ini menggangguku. Dia sendiri sudah beberapa kali pula memancing-mancing soal itu.
"Ya udah, gitu juga boleh. Dibilangin serius malah becanda lho bocah ayu iki." Dirangkulkan tangannya ke pinggangku, dan detik berikutnya sesuatu terasa menghangatkan bibirku.
Ehk. Antara kaget dan malu, perasaanku jadi ngilu. Dia mencuri ciuman pertama dariku.
Aku berusaha mendorongnya, tapi tak cukup kuat untuk menghentikan kemauan Mas Ahim. Mungkin sudah waktunya, pikirku. Aku cuma bisa pasrah, membiarkan Mas melakukan apa yang dia inginkan.
"ADUH!" teriakanku memecah keheningan kamar. Mas Ahim kaget. Dia berhenti, tapi tetap diam di dalam. Di dalam kamar maksudnya.
Untung aku sudah memintanya mematikan lampu, jadi Mas Ahim tak bisa melihat bagaimana ekspresiku. Sepertinya perwujudan mukaku sudah entah. Malu, takut, tegang, dan sakit campur aduk jadi satu.
Seberkas cahaya mendadak menyorot tepat di wajahku. Mas Ahim menyalakan senter gawainya.
"Ssstt, wajahmu kok gitu banget, Sar? Sakit, ya? Maaf ya, Sar. Kalau sakit kita stop aja."
"Ehk. Ng-nggak. Ng-nggak apa-apa."
Aku sudah bertekad untuk menjadi istri seutuhnya untuk Mas Ahim, jadi aku tak mau berhenti hanya karena rasa sakit yang —kata orang— tak lama juga hilang. Selanjutnya tidak sakit lagi, malah sebaliknya. Kata orang lho, ya. Kata oraaang.
Dan ternyata kata orang itu tidak berlaku untukku. Meski akhirnya kami berdua berhasil mereguk surga cinta, tapi rasa sakit yang katanya "Sebentar juga hilang" sama sekali tak terbukti.
Mas Ahim berkali-kali mengucap maaf, tapi bukan salahnya. Mungkin karena aku yang terlalu tegang, malu, dan ketakutan hingga tak bisa menikmati itu semua. Tak apa, yang paling penting buatku sekarang ini adalah Mas Ahim. Aku masih bisa bersabar menahan sakit.
Dia lalu tidur pulas, setelah meminta maaf sekali lagi. Aku berniat ke kamar mandi, tapi rasa ngilu seperti menjalari sekujur tubuh. Urung. Aku memilih untuk memejamkan mata, walau dengan susah payah.
***
Dingin yang menusuk sampai ke tulang membuatku terbangun. Jam dinding menunjukkan pukul 02.35. Mas Ahim sudah tak ada di tempatnya.
Hendak turun dari tempat tidur, tapi masih ada rasa nyeri. Dan aku terkejut, ketika sadar tubuhku hanya berbalut selimut. Seketika aku tersipu mengingat kejadian semalam. Lalu meringis ketika rasa sakit itu kembali terasa.
Mencoba bangkit, tapi sulit. Seumur hidupku, sepertinya ini yang paling sakit. Jatuh dari sepeda hingga mendapat beberapa jahitan di kepala tak membuatku sulit berdiri. Kaki terkilir sampai bengkak sebesar gajah juga aku tak sampai menangis. Tapi ini....
Kuedarkan pandang ke sekeliling kamar mencari keberadaan Mas Ahim, tak ada juga. Sungguh, rasanya aku ingin sekali menangis.
"Lho, Sar, kamu udah bangun?" Suara Mas Ahim terdengar dari arah pintu kamar mandi. Dia mendekat, aku mengalihkan pandang. Tersipu.
"Thanks ya, Sar. I love you. Terima kasih udah jadi istriku sepenuhnya." Dia mengecup lembut keningku. Binar-binar di matanya terlihat berbeda. Sepertinya dia teramat bahagia.
"I-iya. T-tapi aku sakit, Mas. Mau bangun susah." Aku menahan tangis, nggak mau bikin Mas Ahim panik.
"Ya Allah, terus gimana? Kamu kan belum mandi? Apa perlu kumandiin? Eh, tapi aku nggak bisa. Nggak pernah." Tetap saja dia panik.
Kali ini ganti aku yang menahan tawa. Yang dia pikirkan malah mandi. Suami soleh ini, sih. Mukanya lho, lucu banget. Ditambah garuk-garuk kepala yang pastinya nggak gatal, orang baru habis keramas. Eh.
"Nggak usah lebay ah, Mas. Bantu aku sampai kamar mandi aja."
"Oke, tapi tunggu sebentar, aku siapin dulu yang buat mandinya."
Mas Ahim mempersiapkan keperluanku dengan tangkas, meski harus bertanya padaku ini di mana itu di mana. Toiletris, handuk, baju ganti, semua dia siapkan. Malah ada kursi plastik segala untukku mandi sambil duduk. Ada-ada saja.
"Aku gendong aja ya, Sar, aku mandiin sekalian sebisaku. Kasian kamu. Maaf ya, Sar."
"Nggak, Mas. Aku mau mandi sendiri aja. Malu."
"Ya udah, kalau malu lampunya dimatiin lagi kayak tadi malam." Usul yang konyol.
"Lha mandinya gimana? Nggak kelihatan lah, Mas."
"Eh, iya juga sih. Ya udah, sini kugendong sampai kamar mandi." Dia membantuku, sedang aku ribet sendiri berusaha melilitkan selimut menutupi tubuhku.
"Halah, ribet amat sih, Sar. Udah, nggak usah dipakai juga nggak pa-pa."
"Malu," ujarku lagi.
Mas Ahim menyerah. Dia memapahku sampai kamar mandi dan membantuku menemukan posisi ternyaman untuk mandi. Aku terharu dengan perhatiannya. Bahkan alat mandi pun diletakkannya di tempat yang mudah terjangkau olehku.
"Kamu mandi dulu, kalau ada apa-apa teriak aja. Aku mau ngeganti sprei dulu, soalnya spreinya yaaa gitu deh. Thank you ya, Sar." Mas Ahim terkekeh. Aku tersipu lagi.
"By the way, kamu bener nggak apa-apa kan, Sar?" Dia berubah khawatir.
"Iya, semoga cuma sakit sebentar aja. Maaf ya, Mas. Jadi ngerepotin."
"Nggak repot lah. Direpotin gini tiap hari juga aku mau, kok. Seneng malah." Senyumnya lebar.
"Dasar modus. Udah sana, keluar!" Kulempar odol ke arahnya. Dia tertawa. Memungut dan menaruh kembali ke dekatku, lalu meninggalkan aku sendiri.
Selesai aku mandi, dia membantuku lagi. Aku jadi kesal pada diriku sendiri. Merasa lemah dan bersalah, juga lebay. Padahal Mas Ahim melakukannya tanpa paksaan.
"Sar, kamu istirahat ya. Tidur lagi aja, nanti kubangunin pas subuh." Aku mengiyakan.
"Maaf ya kalau aku bikin kamu begini. Harusnya semalam nggak usah dilanjutkan."
"Ssstt, bawel ih. Aku nggak apa-apa kok. Cuma sebentar aja sakitnya. Nanti bangun tidur juga udah sembuh."
Tapi harapanku tak menjadi kenyataan. Bangun tidur pun rasa sakit itu masih ada. Akhirnya hari itu Mas Ahim izin kerja demi menemaniku di rumah.
Aku benar-benar dibuat jatuh cinta sama Mas Ahim. Bukan karena kejadian semalam, justru setelahnya. Dia memperlakukan aku dengan penuh kasih sayang. Bahkan dia juga yang memasak untuk kami sarapan. Membuatkan kopi susu kesukaanku, membawakan makanan ke kamar, menemaniku makan, dan memenuhi keperluanku yang lain.
"Mas, Mas Ahim, ada yang ketok pintu deh kayaknya," panggilku pada Mas Ahim yang sedang mencuci piring di dapur.
"Iya, aku juga denger kok, Sar. Ini otw bukain pintu."
Sebentar kemudian, Mas Ahim masuk dan menyuruhku memakai jilbab. Kemudian penampakan Mbak Hana muncul di pintu kamar, disusul Mas Raka di belakangnya.
"Gimana, Sar? Kamu sakit apa?"
Pertanyaan Mbak Hana bagai petir di siang bolong. Lebih berat dari pertanyaan 'Kapan nikah?' yang diajukan pada kaum jomlo non fisabilillah.
Aku salah tingkah, Mas Ahim pun sama. Kami hanya diam, saling memandang dengan rasa malu yang teramat besar.
"Perasaan semalem baik-baik aja deh." Mas Raka menimpali. Duh, rasanya beban kami makin berat saja.
Mbak Hana mendekatiku, menempelkan tangannya ke keningku. "Nggak demam kok."
Aku mencoba untuk duduk. Meski sudah berusaha terlihat baik-baik saja, aku tetap meringis menahan ngilu.
"Kenapa nyengir-nyengir gitu? Apanya sih yang sakit? Habis jatuh apa gimana?" Mbak Hana mencecarku, tak mau membiarkan kami lolos dari malu.
"A-anu, Mbak. Ini tuh s-sakit soalnya ak-aku tuh...."
"Apa sih, pakai gagap segala?"
"Sakit habis malam pertama! Udah jelas kan sekarang. Puas?" sahut Mas Ahim cepat. Dia terlihat kesal. Mungkin dia gemas. Daripada menahan malu lebih lama, mending sekalian mengaku saja. Toh disembunyikan juga nantinya tetap akan terbongkar.
"Astaghfirullah. Sebentar sebentar, aku ketawa boleh gak sih?"
"Ngguyuo! Sing banter sisan!" Mas Ahim sewot. Aku hanya tertunduk malu.
Mas Raka yang memang cool cuma mesam mesem melihat istrinya tertawa hingga keluar air mata. Setelah tawanya mereda, Mbak Hana menghampiri Mas Ahim, menangkup pipinya lalu mencium keningnya. Dipeluknya Mas Ahim lama. Kulihat ada bening di sudut-sudut mata Mbak Hana.
"Selamat ya, Him. Nggak pa-pa. Insya Allah Sarah baik-baik aja dan cepet sembuhnya. Mungkin Sarah terlalu tegang, jadinya malah begitu. Ya paling trauma-trauma dikit, lah."
"Duh, jangan didoain trauma lah, Mbak. Udah terlanjur ngerasain enaknya. Kalau dia trauma, aku gimana dong?" Mas Ahim menurunkan volume suara, tapi masih cukup keras untuk menembus gendang telingaku.
Detik berikutnya, boneka pinguin di sebelah bantalku terbang melayang dan mendarat mulus di punggung Mas Ahim.
"Lah, kamu denger to, Sar?"
Mas Ahim nyengir tanpa dosa. Tawa Mbak Hana kembali pecah membahana.
***
31052022
Cieee, nganu sudah berhasil menyusup diantara Ahim dan Sarah nih yeee. Hahaha...
Eh, kerasa dewasa banget nggak, sih? Aku selalu deg-degan kalau menulis yg beginian. Merasa berdosa. Hehe...
Ya udah, aku mohon maaf yg sebesar-besarnya, ya. Kalau ada yg tidak berkenan atau mungkin menganggap ini terlalu terang-terangan, say me yaaa. Akan kuusahakan buat revisi.
Maafkeun kemarin absen beberapa hari. Sakit yg dulu ternyata berlanjut. Dari demam dan sakit buat nelen (di leher kanan), terus jadi sakit juga buat gerak. Kayaknya kelenjar getah beningnya ada radang gitu, soalnya ada bagian yg agak membengkak. Alhamdulillah ini udah baikan. Kemarin juga nggak sampai yg tiduran bae gitu. Malah kudu nyuci, masak, dsb juga. Wkwkwk...
Baiklah. Begitu aja, ya (curhatnya).
Sekali lagi maaf kalau ada yg kurang berkenan di part ini. Agak lebay memang ya si Sarah nih, tapi yg kayak gini juga memang ada, karena beberapa teman pernah cerita. Penulis nggak mesti harus pengalamannya sendiri, yekaaann. Hehe...
Thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro