8. Dia yang Sok Tahu
Happy reading :)
***
Minggu pagi. Seperti minggu-minggu sebelumnya, Mas Ahim mengajakku jogging, setelahnya jalan-jalan menyusuri Car Free Day, ditutup dengan menikmati kuliner yang bertebaran di sana. Kadang batagor, lain waktu bubur ayam, paling sering lontong sayur.
Tapi rute kami kali ini beda. Usai jogging, Mas Ahim bergabung dengan teman-teman basketnya di lapangan tempat mereka biasa kumpul-kumpul. Memang sejak kami menikah hampir 3 bulan lalu, Mas Ahim nyaris tak pernah bergabung dengan teman-teman basketnya di hari Minggu. Dia lebih memilih untuk berkegiatan bersamaku. Jikapun itu olahraga, dipilihnya jogging, sepeda atau berenang, agar kami bisa melakukannya bersama.
Aku menunggu di sisi kanan lapangan. Duduk memangku handuk dan menggenggam air mineral, bersiap sewaktu-waktu Mas Ahim memerlukan. Tapi dia tak sedikit pun menepi, seolah energinya tak habis untuk aktivitas yang memang sangat dia cintai.
Sejak duduk di bangku SD, dia sudah sering mewakili sekolah untuk lomba-lomba yang berbau olahraga, khususnya atletik. SMP dan SMA selalu masuk tim inti basket dan voli. Dan saat di bangku kuliah dia tergabung di tim basket universitas. Itulah kenapa dia begitu menikmati aktivitasnya kali ini.
Aku ikut menikmati, bukan permainannya, tapi Mas Ahimnya. Beneran deh, kalau sedang bermain basket, dia kelihatan gimana gitu. Aura kegantengannya tumpah-tumpah, membuatku bersyukur sekali menyandang status sebagai istrinya.
"Makasih, Sar. Enak ternyata ya, capek gini ada yang nyodorin minum. Apalagi kalo sekalian ngelapin keringet, asyik tuh." Dia menepi. Berkomentar sembari mengulir tutup botol, kemudian menandaskan isinya dalam beberapa detik saja.
Mata kami beradu, ada terima kasih yang dia sampaikan lewat tatapan. Aku tertawa kecil. Dia gemas, menowel hidungku, dan ikut tertawa, lantas berdiri hendak kembali ke lapangan.
"Wah, bintang lapangan udah come back nih."
Seorang perempuan cantik mendekati Mas Ahim. Lekuk tubuhnya tergambar jelas dibalik balutan outfit yang sporty. Ini yang sering orang bilang body goals. Seksi. Seksi betulan, bukan seperti aku yang cuma seksi wira wiri.
Mas Ahim membalikkan badan mendengar suaranya. Tanpa basa-basi, perempuan itu mendaratkan ciuman di pipi Mas Ahim. Mas Ahim menghindar ketika pipi yang satunya lagi nyaris menjadi sasaran berikutnya. Tapi ciuman yang pertama tadi sudah berhasil mendarat. Ciuman yang sukses membuat Mas Ahim salah tingkah.
Aku membuang muka, menyelamatkan mataku dari pemandangan yang tak menyenangkan. Iya lah, mana ada perempuan yang senang melihat suaminya dicium perempuan lain. Huh!
Beberapa temannya meneriaki si perempuan. Memberitahu status Mas Ahim yang sudah menikah.
"Eh, kamu, Del." Mas Ahim menyapa. Canggung.
"Iya, aku, Him. Amnesia apa gimana? Kamu sih, lama banget nggak pernah gabung sama kita-kita di sini," kata perempuan itu sok akrab.
"Iya." Mas Ahim menjawab seperlunya. Matanya menatap ke arahku, berusaha meyakinkan bahwa perempuan itu bukan siapa-siapa.
"Itu adikmu ya?" Perempuan itu menunjuk ke arahku dengan nada suara yang terdengar mengejek. Padahal beberapa teman mereka sudah mengatakan status Mas Ahim lewat teriakan. Mungkin dianya saja yang nggak pernah bersihin kuping.
"Bukan. Dia istriku," jawab Mas Ahim tegas. Dirangkulnya tubuhku yang terlihat kecil di sampingnya.
"Oh iya ding, kamu udah nikah. Istrimu pasti posesif ya, Him. Sampai kamu nggak boleh gabung di sini."
"Hati-hati kalo ngomong, Del. Nggak usah nge-judge orang lain kalau kamu nggak kenal gimana dia." Mas Ahim dengan tegas membelaku.
"Dan kamu nggak pernah berubah ya, Him. Kalau udah sayang, pembelaanmu luar biasa. Gentleman."
Perempuan bernama Adel itu bicara lagi, nada suaranya seperti dibuat-buat. Menggoda. Aku risih.
Degup jantungku sudah memburu. Rasanya ingin menghilang dari hadapan perempuan seksi itu. Omongannya setajam silet, pun tatapannya kepadaku, seakan siap menikam. Tapi tidak saat dia memandang Mas Ahim.
"Terserah katamu aja lah, Del. I don't care!" Mas Ahim jengkel.
Dia berbalik, berubah pikiran dan mengajakku pulang. Berpamitan sekenanya pada teman-teman yang ada di sana, lalu merangkul pinggangku meninggalkan tempat itu.
"Him." Suara perempuan itu terdengar lagi. Kami berhenti tanpa berbalik badan.
"Pertahananmu tetap sama, ya. Kuat tak tergoyahkan. Udah berapa bulan nikah, sih? Istrimu kok masih perawan. Eh, tapi kalian beneran nikah, kan?"
Deg! Kalimat terakhirnya menohokku telak. Kalau bukan karena jaga imej di depan perempuan itu, aku pasti menangis detik ini juga.
"Adelia! Nggak usah ngurusin yang bukan urusanmu!" Mas Ahim berbalik badan menghadap perempuan itu. Tajam matanya menunjukkan amarah yang tertahan.
Perempuan itu hendak menjawab lagi, tapi Mas Ahim sudah menarik tanganku dan bergegas menuju parkiran. Begitu masuk ke dalam mobil, tangisku langsung meledak. Aku kesal sekaligus malu.
Mobil bergerak perlahan meninggalkan parkiran. Aku masih mengunci mulut rapat-rapat. Suasana di mobil jadi mirip kuburan. Berkali aku merasa Mas Ahim melirik ke arahku. Ah, aku jadi salah tingkah.
"Maafkan aku ya, Sar. Aku nggak kepikiran akan ketemu dia. Aku juga nggak nyangka dia akan ngomong begitu. Memang dasar mulutnya Adel tuh nggak ada remnya." Mas Ahim memecah kediaman kami dengan permintaan maaf, padahal dia tidak salah apa-apa.
"Iya, nggak apa-apa. Mas nggak salah kok. Udah keliatan cewek itu yang agresif. Dia yang nyosor duluan." Aku mengiyakan, masih sambil menangis.
"Udah jangan nangis, ya. Besok-besok aku nggak basket di situ lagi, deh. Aku basket di lapangan deket kantor aja."
Dia menghiburku. Sebenarnya aku tak tega, teman-teman basketnya di tempat yang tadi adalah teman-teman sejak masa sekolah. Mereka yang masih tinggal di kota ini atau yang sedang pulang ke kota ini biasanya meluangkan waktu di Minggu pagi untuk berkumpul sekaligus menyalurkan hobi.
"Ya nggak harus gitu juga, Mas. Tadi kan cuma kebetulan aja ada perempuan itu di sana."
"Nggak main di situ lagi juga nggak apa-apa kok, Sar. Teman yang udah nikah juga banyak yang nggak pernah ke sana lagi. Minggu kan hari buat keluarga, ngumpul teman-teman sih cukup sesekali aja."
"Memangnya cewek itu siapa? Mantan?"
"Iya. Anak basket juga. Kakak kelas waktu SMA dulu, terus bareng lagi di tim basket kampus. Dulu dia yang ngejar-ngejar aku. Dari dulu juga gitu, sukanya nyosor duluan, makanya aku putusin. Jengah sama kelakuannya. Lama-lama risih juga digodain terus. Masih sakit hati kali dianya."
Mas Ahim menjelaskan panjang lebar, pakai mendetailkan segala bagaimana perempuan itu. Aku jadi makin kesal.
"Siapa juga yang nanya detail. Aku kan cuma tanya, apa dia mantanmu? Udah itu aja. Malah pakai dijelasin segala. Jawab iya apa nggak aja cukup, kali. Kamu masih suka sama dia, ya? Bahasnya panjang bener. Semangat banget," sahutku dengan bibir mengerucut.
"Eh, aduh, gimana sih? Ya nggak lah, Sar. Kan aku jelasin biar kamu tahu aja gitu, Sar. Biar kamu nggak cemburu."
Mas Ahim salah tingkah. Berkali mengacak rambutnya, yang entah bagaimana bisa tetap rapi meski habis berlari kesana kemari. Dia lalu meraih jemariku, tapi secepat kilat pula aku menepisnya.
"Hih, ngapain juga cemburu!"
"Iya iya, kamu nggak cemburu. Tapi kamu jangan ngambek dong, Sar. Aku kan beneran nggak ada apa-apa sama Adel."
Aku melengos, membuang pandangan ke sebelah kiri kaca mobil. Tanganku bersedekap, menghindar dari upaya Mas Ahim untuk menggenggamnya.
"Eh, kamu mau makan apa nih, Sar? Lontong sayur apa bubur ayam? Atau kita beli getuk di belakang SMP?" Mas Ahim mengalihkan topik.
"Nggak. Aku mau pulang aja."
Kemudian kami berdua sama-sama diam. Suasana mobil kembali sepi. Mas Ahim yang biasanya menyalakan audio, kali ini tak sedikitpun menyentuhnya.
"Mas." Aku tak tahan. Sudah hampir sepuluh menit tak ada yang bersuara.
"Ya, Sayang?"
Dih, panggilan macam apa itu? Aku kok jadi geli mendengarnya. Rasanya aneh.
"Nggak usah panggil sayang-sayang gitu, ih. Aneh. Geli." Dia terbahak.
"Maafin aku, ya, Mas." Perkataanku menghentikan tawanya.
"Hah, maaf? Buat apa? Kamu kan nggak salah apa-apa."
"Maafin aku udah bikin Mas malu. Udah nikah berbulan-bulan tapi istrinya masih perawan. Mas pasti malu. Maafin aku, ya. Huhuhuu." Tangisku pecah lagi.
"Astaghfirullah, kok jadi malah kamu yang minta maaf sih, Sar. Nggak apa-apa, Sar. Aku nggak malu kok. Mending kamu jauh lah, nikah tiga bulan masih perawan, daripada Adel, belum nikah ud...."
Krik... Krik... Krik...
Ahim merasa salah bicara.
"Kok nggak diterusin? Tapi kamu bukan termasuk pelakunya kan, Mas?"
"Sarah! Kamu apa sih? Kalo aku ngomong salah dikit aja kamu nangis-nangis, ngambek gak jelas. Sekarang malah kamu sendiri nuduh begitu. Aku dulu gonta ganti pacar, tapi demi Allah dan demi ibuku, aku nggak pernah melakukan hal-hal seperti yang kamu tuduhkan ke aku. Catat itu, Sarah Annisa!"
Mas Ahim menghentikan mobil di sisi jalan yang sepi. Pohon Delonix regia memayungi kami, walau begitu tetap saja ada yang panas di hati, juga di pelupuk mata ini. Bukan, bukan karena cemburu sama mantan Mas Ahim yang tadi, tapi karena aku belum pernah melihat Mas Ahim semarah ini. Padahal sumpah, aku tadi cuma bermaksud bercanda, tapi dia salah menerima. Memang bercandaku juga kelewatan dan asal banget, sih. Duh, aku jadi merasa berdosa. Maka kuputuskan untuk tetap diam daripada bikin blunder yang lebih parah dari sebelumnya.
"Mas, maafin aku, ya. Tadi aku becanda. Maaf kalau kelewatan. Aku percaya sama kamu, Mas. Seratus persen. Maafin aku ya, udah bikin kamu malu, sekarang bikin marah pula," pintaku padanya.
Sejak menikah dengan Mas Ahim, aku mulai belajar mengikis gengsi di hadapannya. Tak ada pilihan lain. Kalau kukuh mempertahankan gengsi di depan dia, aku bakalan lelah sendiri, sebab aku menjadi istrinya bukan untuk satu dua tahun, melainkan seumur hidup, insya Allah.
Mas Ahim menghela napas panjang, menatap dedaunan yang meneduhi kami. Aku ikut memandang ke arah yang sama, mencoba mencari tahu apa yang sedang dipandangi suamiku. Tak ada apapun selain dedaunan dan bunga-bunga flamboyan berwarna merah.
"Oke, aku maafkan, tapi tolong jangan diulangin lagi ya, Sar, nggak enak tahu dengernya. Maafkan aku juga, maafkan masa laluku." Dia memaafkanku. Aku merasa sangat lega.
"Mas Ahim jangan ngomong gitu, masa lalu ya udah biar berlalu, mau diapain lagi. Yang penting di masa sekarang dan masa depan kita harus memperbaiki diri, harus lebih baik dari sebelum-sebelumnya."
Dih, kok aku jadi sok nasehatin begini.
"Cieee, dimarahin sekali langsung bisa nasehatin suami. Keren keren keren." Mas Ahim sudah kembali ke default-nya, hobi meledekku seperti itu.
"Hih, apa sih." Kucubit pinggangnya.
"Eh, tapi beneran kan ya, Mas gak malu gara-gara aku? Terus itu mantanmu kok bisa tahu sih perempuan masih perawan apa nggak?"
"Dih, ya mana aku ngerti. Paling dia cuma sok tahu aja. Udah sih, nggak usah dibahas lagi, nggak penting. Aku kenal kamu dari piyik, Sar. Aku tahu seperti apa kamu bersikap dan menjaga diri, terutama dari laki-laki. Aku beruntung banget punya istri yang masih tersegel dengan sangat baik."
Kucubit pahanya. Memangnya aku barang, pakai segel segala?
"So, aku nggak malu punya istri kamu, Sar. Sama sekali nggak malu. Aku cuma..., mau, Sar. MA-U."
"Mau apa?"
Bukannya jawab pertanyaanku, Mas Ahim malah menggenggam kuat tanganku. Matanya menatapku dengan genit, aku jadi merinding dan geli.
"Mau itu, Sar."
"Itu apa, sih?"
"Itu tuh kamu. Aku mau kamu, Sarah Annisa. Iya, kamu."
"Maksudnya? Mau sama aku? Nah, kan aku udah di sini." Tentu saja aku tahu ke mana arah pembicaraannya. Tapi aku memilih untuk pura-pura tak paham.
"Hadeh, kamu tuh polos, apa lugu, apa pura-pura nggak tahu, sih? Ya udah, kita pulang aja yuk, nanti aku kasih tahu itu-nya tuh apa."
Duh, gawat. Jangan dadakan, deh. Aku belum siap.
"Eh tapi..., aku kok tiba-tiba laper ya, Mas. Kita putar balik aja yuk, makan lontong sayur. Terus habis itu kita main ke rumah Mbak Hana. Terus ke rumah bapak ibu. Terus...."
"Sarah Annisaaa...."
***
28052022
Sabar ya maszeh. Hahaha....
Nggak pa-pa, Him. Sarah anak baik kok. Dia cuma butuh waktu aja.
Bayangin deh, hubungan mereka selama ini kayak kakak adik. Mestinya ya digeser dulu biar lebih nemu romance-nya. Jadi pas nganu nggak ngerasa berdosa. Hihi...
Baiklah.
Terima kasih udah baca. Maafkan segala kekurangan dan kesalahan. Semoga tetap menghibur ya.
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro