Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Cemburu

Happy reading :)

***

Siang ini aku pergi sendiri ke supermarket. Biasanya belanja kebutuhan rumah selalu ditemani Mas Ahim, tapi tidak kali ini. Pagi tadi dia bilang kalau sedang banyak pekerjaan. Malah aku pula dibilang manja. Sekali-kali belanja sendiri masa nggak bisa, dasar anak manja. Begitu dia meledekku.

Sebenarnya aku nggak nyaman pergi sendiri, tapi beberapa keperluan dapur dan rumah sudah habis, mau tak mau harus segera dibeli. Jadi aku terpaksa keluar dengan ojek online.

Aku sedang berada di deretan rak tempat memajang keperluan dapur, ketika seorang mas-mas menghampiri dan menyapaku.

"Sarah, ya? Sarah Annisa?" tanyanya sembari menyebut nama lengkapku.

"Eh, iya betul. Maaf, siapa ya?" Aku balas bertanya. Kucoba mengingat sosok yang ada di hadapanku, tetap saja aku tak merasa mengenalnya.

"Aku Deni, kakak kelas waktu SMP dan SMA dulu." Dia menjelaskan.

Diulurkannya tangan kanan ke arahku, aku menyambutnya dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Dia buru-buru mengubah tangannya menjadi sepertiku. Alhamdulillah, dia memahami prinsipku.

"Oh, iya kah? Maaf ya, saya benar-benar nggak ingat. Maklum, saya jaman sekolah dulu siswa jelata. Kuper. Jarang kenal dengan kakak kelas, apalagi yang laki-laki," jawabku sambil tertawa kecil, mencoba menyembunyikan kecanggungan.

"Iya nggak apa-apa. Kamu kan dulu kutu buku. Kalau nggak belajar di kelas, ya baca buku di perpus. Nggak pernah ke kantin juga, kan? Selalu bawa bekal dari rumah. Anti mainstream." Dia menyebut kebiasaan-kebiasaanku jaman sekolah dulu dengan rinci dan tepat. Aku jadi agak risih.

"Eh, kok Mas Deni tahu banyak tentang kebiasaan saya?"

"Iya. Kamu sih serius banget, nggak suka gaul. Sampai nggak sadar kan, ada yang ngefans sama kamu." Lagi-lagi dia tertawa, sedangkan aku masih tak tahu apa maksudnya.

"Ahim apa kabar?" sambungnya lagi.

Ah, rupanya dia temannya Mas Ahim. Aku sedikit lega.

"Alhamdulillah baik. Mas Ahim sehat. Mas Deni dulu temannya Mas Ahim, kah?" Kupanggil dia dengan namanya. Perasaan asing yang tadi ada sudah turun levelnya.

"Iya. Bolo banget dulu sama Ahim. Bareng di tim basket, voli, atletik, sampai bolos pun bareng. Nanya-nanya tentang kamu juga sama Ahim. Kan kalian udah kayak kakak adik," jelasnya lagi. Tak ketinggalan memamerkan barisan gigi yang putih dan rapi. Pantas saja dia hobi tertawa lebar.

"Tapi udah lama nggak ketemu Ahim, sih. Temen-temen yang lain juga banyak yang hilang kontak. Kebetulan aku lumayan lama kuliah di luar. Baru pulang setelah lulus master ini."

"Oh." Aku mengangguk-angguk.

"Minta nomornya Ahim, dong. Kamu pasti punya, kan?"

"Iya, ada."

Dia mengeluarkan ponsel yang kutahu harganya selangit, lalu dengan lincah menekan angka-angka sesuai yang kusebutkan.

"Boleh minta nomormu sekalian?" pintanya lagi.

"Eh, buat apa? Maaf ya, Mas, tapi nggak usah saja." Aku keberatan.

"Iya, nggak apa-apa. Aku maklum. Nanti aku minta sama Ahim deh." Tawa lebarnya tersaji lagi untuk kesekian kali.

"Aku temani belanjanya, yuk. Kayaknya kamu sendirian aja." Mas Deni Deni itu menawariku.

"Oh, nggak usah, Mas. Takut jadi fitnah. Maaf, ya. Mari, saya duluan."

Aku langsung ngacir pergi setelah berpamitan. Tak peduli belanjaku di bagian situ belum rampung. Nanti bisa kembali lagi kalau dia sudah pergi.

"Nggak berubah ya kamu, Sarah. Oke deh." Gumamannya terdengar, tapi tak membuatku menoleh lagi.

Dari lorong sebelah, aku melihat Mas Deni berlalu. Tangannya menggenggam handphone yang menempel di telinga. Senyum lebar masih tertinggal di wajahnya,

Tak sampai sepuluh menit dari pertemuanku dengan Mas Deni Deni itu, aku merasakan getar dari slingbag-ku. Kurogoh gawaiku, nama Mas Ahim - Sok Ganteng - Nyebelin terbaca di layarnya.

"Assalamualaikum, Mas."

"Waalaikumussalam. Kamu kenapa belanja sendirian, Sar? Nungguin aku kan bisa. Nggak sabaran banget jadi orang."

Usai menjawab salam, Mas Ahim langsung ngomel tanpa basa-basi. Sudah macam emak-emak yang anaknya pulang sekolah tanpa menunggu jemputan datang. Aku bingung.

"Kamu dimana, Sar? Supermarket biasa, kan? Tunggu di situ, aku jemput sekarang." Dan telepon ditutup tanpa pamitan.

Aku makin bingung. Lah, aku saja belum ngomong apa-apa, belum kujawab juga pertanyaannya. Lagipula semalam dia bilang sibuk, kenapa tiba-tiba jadi sempat jemput aku belanja. Aneh.

Gawaiku bergetar lagi lima belas menit kemudian. Nama Mas Ahim - Sok Ganteng - Nyebelin kembali terbaca di layar.

"Sarah, kamu di sebelah mana? Aku udah sampai supermarket."

"Kasir nomer dua. Lagi antri," jawabku singkat.

Tak sampai tiga detik, sesosok tinggi atletis terlihat berjalan menuju ke arahku. Rupanya saat telepon barusan Mas Ahim sudah berada di dalam supermarket.

"Udah selesai belanjanya?" tanyanya datar.

"Sebentar lagi. Kenapa? Mau bayarin?" godaku. Tanpa bicara, dirogohnya dompet dari saku belakang blue jins belelnya, dan menyerahkan kepadaku. Wajahnya terlihat kesal, yang aku sendiri tak tahu apa sebabnya.

Usai membayar belanjaan, dibawanya tas belanja yang berisi penuh barang-barang kebutuhan kami. Raut wajahnya belum berubah, masih kesal. Kami saling diam sampai sama-sama duduk di baris pertama mobil Mas Ahim.

"Kamu itu perempuan bersuami, Sar! Nggak baik keluar sendiri begini!" Mas Ahim langsung bicara dengan nada tinggi begitu pintu mobil tertutup sempurna.

"Aku salah apa sih, Mas? Bukannya semalam Mas yang nyuruh aku belanja sendiri. Malah pakai ngata-ngatain aku anak manja segala." Aku merasa begitu nelangsa mendengar ucapannya. Apa salahku? Kok nggak enak betul dia bicara.

"Kamu ngapain pakai ketemu sama Deni segala. Dia itu dari SMP naksir kamu tahu nggak, sih. Mana nggak bilang pula kalau kamu itu istriku."

Oh, rupanya ini yang bikin dia kesal. Mungkin tadi Mas Deni langsung telepon Mas Ahim setelah dapat nomor HP-nya dariku dan menceritakan pertemuan kami.

"Astaghfirullah. Aku itu sama sekali nggak kenal sama Mas Deni Deni itu. Nggak ngerti juga Mas Deni tahu apa nggak kalau aku ini istrimu. Gimana coba ngejelasinnya? Orang nggak ditanya. Terus kalau kami tadi nggak sengaja ketemu, apa itu mauku? Kenapa pula jadi aku yang salah?" Aku berseru tak kalah sengit.

"Manggil Mas segala."

"Lah, dia lebih tua. Masa iya aku panggil nama aja. Itu kan cuma soal sopan santun, Mas."

"Terus kamu tadi jalan sama Deni, kan?" Nada suaranya seperti menuduhku. Aku tak terima. Kepalaku rasanya mendidih menerima tuduhannya.

"Mas, kamu tuh ngomong apa sih? Kamu pikir aku perempuan macam apa? Salaman aja aku nggak mau. Dia nawarin buat nemenin belanja juga kutolak. Kamu tuh nggak ngerti apa-apa, harusnya bisa tanya dulu baik-baik, nggak asal ngomong gitu." Hatiku sakit tak terkira. Aku saja bersabar saat melihat dia dengan Mbak Danti, tepat di depan mataku lagi! Nah, ini?

"Bener?" sahutnya, seolah masih tak percaya.

"Mas, aku cuma pengen kamu tahu kalau aku bukan anak manja. Aku buktikan! Kamu nggak bisa nemenin aku, aku bisa jalan sendiri. Nggak apa-apa. Tapi kalau kamu nuduh aku seperti itu, jujur, aku sakit hati. Itu sama saja kamu nganggap aku perempuan gampangan. Murahan.

"Kalau kamu nggak percaya sama aku, ya udah, kembalikan aku baik-baik ke bapak ibu."

Suaraku tersengal tak karuan. Rasanya ingin kutumpahkan semua kemarahan. Isakku tak tertahan. Aku benar-benar sakit hati. Kepada dia yang berstatus suamiku saja aku masih sangat menjaga diri, mana mungkin aku berbuat sembarangan dengan laki-laki lain.

"Sar, sorry, Sar. Nggak begitu maksudku." Suaranya menurun, sepertinya merasa bersalah dengan apa yang sudah dituduhkannya. Harusnya sih begitu.

"Maksudku, Sar..., aku cuma nggak suka kamu keluar dan pergi-pergi sendiri. Nggak baik. Bisa mengundang fitnah. Kamu kan bisa nunggu aku pulang."

"Mas, kamu sendiri lho yang bilang kalau hari ini kamu sibuk urusan kerjaan dan akan pulang malam. Aku keluar belanja juga terpaksa, barang-barang di dapur udah pada habis. Aku..., ah, sudahlah. Pasti aku yang salah, kan? Aku kan Sarah yang ngambekan, nggak sabaran, sok---" Tak kulanjutkan bicaraku. Sibuk menyeka air mata yang turun tak berjeda.

"Kamu nggak gitu, Sar. Aku minta maaf udah menyinggung perasaanmu. Sejujurnya, aku cuma...." Ucapannya terhenti.

Mas Ahim menghela napas, lalu menepikan mobilnya dan berhenti. Dia menghadap ke arahku, digenggamnya jemariku erat.

"Aku cemburu, Sarah," ucapnya lirih.

Ada yang berdesir di dadaku. Rasa marah, nelangsa, tersinggung, sakit hati, semua mendadak lenyap. Dia membawa jari-jariku mendekat ke wajahnya, lalu mengecupnya lembut.

"Maafin aku, Sar. Aku cemburu. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Kami beradu pandang. Matanya menunjukkan kejujuran dan ketulusan. Juga..., cinta.

Eh, tapi kan aku belum pernah tahu bagaimana mata yang memancarkan cinta. Aku hanya melihat sorot yang tak biasa dari mata Mas Ahim. Anggap saja itu cinta.

Aku menangis. Terharu, bahagia, merasa lucu, dan..., entahlah. Yang pasti aku senang. Tapi aku tetap tak mengucap sepatah pun kata.

Kami melanjutkan perjalanan dengan tetap saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai rumah pun kami tetap tak ada yang bicara. Aku langsung mengganti baju dan menuju ke dapur. Mas Ahim sibuk sejenak dengan gawainya.

"Mau masak apa, Sar?" Mas Ahim menyusulku ke dapur, membuka pembicaraan dengan canggung. Aku baru saja membereskan semua belanjaan dan mulai memasak.

"Sayur asem sama ayam goreng," jawabku singkat. Tanganku tak berhenti mengiris sayuran yang hendak kuolah, mataku juga fokus pada pisau dan talenan.

"Sekali lagi maafin aku ya, Sar. Maaf kalau bikin kamu tersinggung. Aku nggak bermaksud menuduh apapun. Aku cuma..., cemburu." Dia mengulang lagi permintaan maafnya. Kata terakhir dia bisikkan tepat di telingaku.

Dipeluknya aku dari belakang. Kedua tangannya melingkari pinggangku. Hidungnya mengendus-endus rambutku. Bibirnya tak berhenti mengumbar permohonan maaf diselingi rayuan yang bagiku terdengar menggelikan

"Kayaknya aku mulai jatuh cinta sama kamu deh, Sar. Aku takut kehilangan kamu. Rasanya pengen marah waktu tahu kamu dideketin cowok yang memang dari dulu naksir kamu. Aku cemburu, Sar. CEM-BU-RU."

Dasar lebay!

Aku bergeming, sesekali mengedikkan bahu kegelian. Hatiku berdesir, ada rasa senang mendengar rayuannya. Kelihatannya kami mulai sama-sama menikmati kedekatan ini.

Lagi asyik-asyiknya, dering ponsel Mas Ahim mengagetkan kami berdua.

"Mbak Hana." Mas Ahim memberitahuku sebelum menjawab panggilan kakaknya.

"Assalamualaikum, Mbak."

"Waalaikumussalam. Hiiim, kowe ki nang ngendiiii? Kerjaan lagi banyak malah ditinggal pergi. Balik kantor, sekarang!" Perintah Mbak Hana tanpa basa-basi.

Tak ada pilihan lain. Kemesraan ini janganlah cepat berlalu, eh, malah harus berakhir lebih dini. Huh!

***

27052022

Dan perusak suasana kali ini adalah Mbak Hana. Haha...

Terima kasih udah baca yaaa. Mohon dimaafkeun segala salah dan kekurangan yang ada.

Oh iya, aku mulai posting2 lagi di 2nd Instagram. Isinya quote jadi-jadian aja sih, dan kadang curcol. Wkwk...

Ini akun-akunku, boleh kok diintip, apalagi difollow. *dih, ngarep :D
- Wattpad: fitrieamaliya
- Instagram: fitrieamaliya
- 2nd Instagram: fitrie.amaliya
- Karyakarsa: fitrieamaliya

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro