6. Mulai Jatuh Cinta?
Happy reading :)
***
"Wuih, mau ketemuan sama mantan aja milih tempatnya yang spesial gini. Apalah kalau sama aku, diajakin jalan-jalan aja jarang," nyinyirku saat memasuki sebuah restoran bernuansa taman yang dipilih Mas Ahim untuk bertemu dengan Mbak Danti.
"Hobi banget nyindir, ya?" kata Mas Ahim sambil terkekeh.
"Siapa yang nyindir? Kenyataannya gitu, kan?"
Entah kenapa aku kesal begitu tiba di tujuan. Tempatnya romantis banget. Makin kesal lagi ketika waitress memandu kami menuju sebuah meja yang di atasnya terdapat tulisan reserved. Dia bahkan pakai reservasi segala.
Tempat yang dipilih Mas Ahim terletak di tepi sungai kecil dengan rerimbunan pohon di sekelilingnya. Jarak antar meja cukup berjauhan. Cocok betul buat ngobrol berdua dengan mantan.
Yang paling menyebalkan adalah..., hanya ada dua kursi di setiap meja!
"Berarti aku duduk di mana, Mas?"
"Terserah kamu aja, Sar. Kan katamu kemarin, kamu cuma ngawasin dari jauh."
Iya juga, sih. Tapi..., mendadak aku nggak rela Mas Ahim dan Mbak Danti ngobrol berdua saja.
"Aku..., ya udah, aku di atas situ."
Buru-buru kutunjuk satu sudut yang cukup strategis, letaknya di teras atas yang terbuka. Sebuah meja kayu berbentuk segiempat dengan kaki meja terbuat dari besi. Dua kursi bernuansa sama siap kududuki. Sebagai pengaman terdapat pagar besi dihiasi tanaman hidup di atasnya. Tempat yang cukup strategis untuk menyembunyikan diri sekaligus mengawasi Mas Ahim dengan leluasa.
Jarak bangunannya sekitar empat meter dari tempat Mas Ahim duduk, dengan ketinggian sekitar tiga meter. Maka berdasarkan rumus phytagoras, jarakku dengan suamiku dan mantannya adalah di angka lima meter.
Ah, bukan sesuatu yang penting. Tetap saja aku tak akan bisa menguping, kan?
"Terus aku nanti bilang Danti nggak kalau kamu ada di sini juga?" tanya Mas Ahim sambil meraih tanganku. Digandengnya aku menuju ke tempat yang kutunjuk untuk menunggu.
"Terserah kamu aja. Bilang silakan, nggak juga monggo. Yang penting kamu jangan lupa bilang, kalau ini pertemuan dan komunikasi kamu yang terakhir sama Mbak Danti."
"Iya, iya. Nanti aku kasih tahu Danti kalau aku ke sini sama kamu."
Dia menanyaiku akan memesan makanan dan minuman apa. Aku menyerahkan pilihan menu padanya.
Pesanannya untukku datang hampir sepuluh menit kemudian. Saat waitress meletakkan secangkir hot choco-latte dan semangkuk churros, saat itulah kulihat Mbak Danti datang dan memosisikan diri di kursi yang jaraknya tak lebih dari satu meter dari Mas Ahim. Mereka bahkan tidak duduk berhadapan, tapi sama-sama menghadap ke sungai kecil dan membelakangi aku.
Kutarik napas panjang, kemudian mengembuskan kasar. Fixed. Aku cemburu!
Rasanya ingin kusamperin dan menghentikan obrolan mereka sekarang. Tapi aku tak mau mempermalukan diriku sendiri dan Mas Ahim. Toh aku sendiri yang dengan kesadaran penuh memberi izin. Huh.
Tak lama kemudian, kulihat bahu Mbak Danti berguncang naik turun. Aku tak tahu dia sedang curhat apa, yang jelas dia terisak-isak. Tapi aku cukup lega, sebab kulihat Mas Ahim bergeming di tempat duduknya. Hanya menyodorkan tisu saja. Tangannya tak ikut berperan serta, seperti memberi tepukan, usapan, atau malah pelukan. Ini sesuatu yang harus kusyukuri.
Hampir satu jam di sana. Churros sudah tandas tak bersisa. Hot choco-latte tinggal sisa seperempat cangkir, itu pun telah turun suhunya. Mataku masih terus memandangi mereka berdua.
Tiba-tiba Mas Ahim berdiri dan balik badan. Mbak Danti mengikuti gerakannya. Lalu Mas Ahim menunjuk ke arahku, dan Mbak Danti menganggukkan kepala sambil tersenyum kepadaku. Aku bengong.
Keduanya berpisah. Tanpa salaman, apalagi pelukan. Mas Ahim lalu menuju ke tempatku.
"Sarah Annisa yang cantik mau pulang sekarang apa masih mau di sini?" Kulempar tisu ke mukanya. Dia tertawa. Diambilnya tanganku dan menggenggamnya erat. Kami bergandengan menuju ke mobil.
Aku tak bertanya apapun mengenai obrolan mereka. Mas Ahim juga sepertinya tak hendak bercerita.
"Kamu masih suka sama Mbak Danti ya, Mas?" Aku membuka percakapan.
"Yaa..., butuh sedikit waktu, Sar. Pelan-pelan melupakan, sambil kita belajar untuk saling mencintai sebagaimana suami istri."
Dia lalu bercerita panjang lebar tentang kisahnya dengan Mbak Danti. Mereka berdua sudah saling mengenal sejak SMP. Kelas Mas Ahim satu tingkat di atas Mbak Danti. Ini aku sudah tahu, karena kami bertiga sempat berada di sekolah yang sama.
Mereka bertemu lagi menjelang Mas Ahim wisuda. Selanjutnya mereka dekat dan menjalin hubungan khusus, sampai perjodohan kami mendapat penegasan dari kedua orang tua. Itu berarti mereka pacaran dua tahun lebih, dan Mbak Danti jadi pacar Mas Ahim yang paling lama.
"Mungkin karena pas ketemu lagi, aku sama dia udah sama-sama dewasa. Ya pemikirannya, ya sikapnya, dan banyak hal lainnya." Begitu kata Mas Ahim.
"Udah pernah ngomongin nikah segala?" Aku kepo.
"Ya udah, sih, tapi belum yang serius gitu. Soalnya aku udah pernah bilang ke dia, tentang desas desus di keluarga kalau aku mau dijodohkan. Dia ketawa."
"Kalau gitu, kenapa nggak putus aja dari dulu?"
"Nggak sakit hati kalau aku jawab?"
"Nggak!" tegasku cepat.
"Karena aku masih ada niat buat memperjuangkan hubunganku sama dia. Biarpun aku nggak pernah bilang ke dia, karena aku nggak mau kasih harapan, tapi aku melakukannya. Aku juga udah berusaha kenalin kamu ke beberapa temenku, kan. Eh, kamunya cuek aja." Dia terkekeh. Tangannya terulur mengusap puncak kepalaku.
"Berarti kamu dulu ngenalin aku ke temen-temenmu tuh modus ya? Biar kita nggak usah nikah, terus kamu nikahnya sama Mbak Danti, gitu?"
"Nah, itu tahu." Dia tertawa lagi. Kali ini sambil menarik mulutku yang cemberut.
"Makanya nggak usah pacar-pacaran. Orang belum pasti berakhir di pelaminan, juga. Ngabisin waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan."
"Hehe, iya juga sih, Sar."
Suasana hening sesaat. Aku baru tahu kalau Mas Ahim punya perasaan cukup dalam dengan Mbak Danti. Ya tapi itu bukan sepenuhnya salahku juga, kan? Aku saja sebenarnya juga nggak nyangka bakalan nikah sama dia.
"Pernah ngajakin Mbak Danti ketemu pakde bude?"
"Pernah beberapa kali."
"Terus?"
"Apanya?"
"Pakde sama bude?"
Dia tertawa. "Aku pernah ngajak Danti ke rumah. Sambutannya ya ramah, tapi memang kerasa sekali kalau Danti nggak dianggap bagian dari keluarga. Ramah aja sebagai tuan rumah ke tamunya. Bukan sebagai seseorang yang spesial buat anak bungsunya. Dan selalu begitu."
Akhirnya, beberapa bulan lalu Mas Ahim meminta kepastian kepada kedua orang tuanya. Kalau memang mau dijodohkan, ya katakan saja apa adanya, jadi dia nggak lebih lama lagi memberi harapan kosong pada anak gadis orang.
Pakde Rosyid dan bude lalu memastikan kepada bapak dan ibuku. Waktu itu aku baru akan sidang skripsi. Lalu diambillah keputusan dari kedua belah pihak. Perjodohan aku dan Mas Ahim.
"Kami baru bener-bener putus tuh H-2 kita nikah, Sar. Tapi aku udah sounding dari lama kok soal perjodohan ini. Pas bapak ibu bilang kalau kita dijodohkan, aku udah sempat nolak sampai beberapa kali juga. Tapi, ya gitu deh pakde sama budemu. Mbak-mbak juga ngedujung bapak ibu.
"So, setelah fix dapat tanggal lamaran dan seterusnya, aku sampaikan ke Danti soal kelanjutan hubungan kami. Ya wajar juga sih kalau waktu itu aku sama dia masih sama-sama berat buat melepaskan.
"Sesudahnya kami jadi jarang ketemu. Tapi karena waktu itu aku banyak kesibukan juga, sih. Pas agak luang, dianya juga selalu nolak buat ketemu aku. Kuatir akan lebih sulit buat melepaskan, katanya.
"Ya udah. Kupikir waktu itu kami udah selesai. Ternyata pas H-2 itu Danti minta ketemu, dan minta kata putus dari aku. So, kami selesai sejak malam itu."
"Bener udah selesai?"
"Kamu cemburu ya, Sar?" Sempat-sempatnya dia menggoda.
"Whatever you named it, Bapak Ibrahim Abdurrahman. Aku istrimu, wajar dong aku nggak suka kalau kamu berhubungan sama perempuan lain. Apalagi kalian pernah dekat."
"Alhamdulillah. Berarti kamu udah mulai cinta sama aku dong, Sar?"
"Kamu tuh becanda terus deh, Mas. Malesin banget."
Aku kesal. Sebenarnya lebih kepada malu mau menjawab. Jatuh cinta? Hmm..., masa sih?
Sisa perjalanan pulang kami habiskan dalam diam. Aku sebal. Dia..., mungkin kepikiran obrolannya sama mantan. Entahlah. Aku nggak peduli!
Hingga mobil memasuki halaman rumah, tak ada satupun dari kami yang angkat bicara.
Aku langsung masuk kamar, menaruh tas, dan mengganti baju. Mas Ahim menyusul. Melakukan hal yang sama. Lalu buru-buru mengejarku yang sudah berjalan menuju dapur. Ditariknya tanganku agar mendekat padanya.
"Kita lanjutin ngobrolnya ya, Sar."
"Ngobrolin apa lagi emangnya? Mau ngebahas curhatannya Mbak Danti? Nggak. Aku nggak tertarik."
"Dih, ngarep banget. Nggak lah, Sar. Aku juga nggak akan kasih tahu curhatannya Danti ke kamu. Buat apa?"
"Tapi kamu udah bilang ke beliaunya kalau ini komunikasi kamu sama dia yang terakhir kan, Mas?" Aku merasa harus memastikan hal ini.
"Astaghfirullah. Ya Allah. Maaf, Sar. Aku lupa yang itu," pekiknya mengagetkanku.
"Halah. Kamu sengaja, kan? Bilang aja masih pengen ketemu sama dia. Dikasih kesempatan bukannya menepati janji malah kayak gitu. Kamu tuh memang nggak nganggap aku istrimu."
Aku marah. Tak jadi ke dapur dan memilih kembali ke kamar. Kukunci pintu dari dalam. Mas Ahim mengetuknya, gusar dan tidak sabar. Tak kubukakan.
Mungkinkah aku sudah mulai jatuh cinta sama dia? Aku nggak tahu. Tapi aku memang merasa nggak rela kalau dia masih berhubungan dengan Mbak Danti. Aku juga merasa sangat marah begitu tahu dia lupa mengatakan pada Mbak Danti satu hal yang bagiku itu penting.
"Sar, jangan ngambek gitu, lah. Nggak jelas banget, sih. Buka pintunya, Sar. Please. Kalau nggak, aku bongkar lho ini pintunya."
Gaya amat mau bongkar pintu. Dia kan arsitek, bukan tukang kayu.
Pada akhirnya aku luluh juga. Khawatir dia benar-benar membongkar pintu tanpa keahlian memasangnya kembali.
"Sar, aku minta maaf banget. Aku bener-bener lupa, Sar. Nanti deh aku bilang ke dia via whatsapp."
"Nggak usah! Itu sama juga kamu cari-cari jalan buat komunikasi lagi sama dia. Memang dasar kamu nggak niat."
"Nggak gitu, Sar. Please. Kita ini udah sama-sama dewasa, lho. Pakailah kepala dingin. Kamu kalau udah marah gitu nyebelin, ya? Apalagi marahnya karena cemburu. Tapi aku suka sih, berarti kita udah mulai kayak suami istri pada umumnya, kan?" Lagi. Dia masih sempat mencandai.
"Siapa juga yang cemburu?" Aku cemberut.
"Kamu. Istrinya Ibrahim Abdurrahman yang ganteng dan berwibawa."
Dia tertawa, merengkuhku ke pelukannya dan mengucapkan maaf lagi beberapa kali. Aku tumpahkan sekalian saja air mataku, yang entah kenapa turun deras sekali. Baru kali ini aku merasa kesal yang teramat sangat.
"Nangisnya gitu banget, Sar. Kamu marah banget, ya?" Aku menggeleng. Tak tahu jawabannya.
Dia membawaku ke tempat tidur. Kami duduk di tepiannya. Digenggamnya tanganku, lalu mulai bicara.
"Sar. Nggak apa-apa kok kalau kamu memang udah mulai cinta sama aku. Nggak usah gengsi. Malah bagus, dong. Harus bangga, karena memang tujuan kita adalah ke sana. Saling mencintai sebagai suami istri. Bukan cuma sebagai kakak adik, sahabat, bahkan musuh.
"Jujur nih ya, aku juga mulai terbiasa dengan keberadaanmu, Sar. Aku senang diperhatikan. Ada yang masakin, nemenin ngobrol, ngeladenin ini itu. Ada yang nungguin di rumah dan nyambut aku setiap kali aku pulang kerja.
"So, kita cuma perlu waktu aja, kok. Aku nih ya, kalau tiap hari ketemu, kamu ngeladenin semua kebutuhanku, tiap hari bisa meluk-meluk dan cium-cium kamu..., percaya deh, nggak butuh waktu lama juga aku pasti akan jatuh cinta sama kamu dan ngelupain yang dulu-dulu.
"Kita udah banyak berkorban untuk bahagiain orang tua, Sar. Aku mengorbankan hubunganku, kamu mengorbankan karirmu,cita-citamu yang bahkan belum sempat kamu kejar. Tapi, sebesar apapun pengorbanan kita, masih nggak sebanding dengan pengorbanan orang tua buat kita. Juga doa-doa mereka buat kita. Allah nggak tidur, Sar. Yakinlah, Allah pasti akan kasih kebahagiaan yang banyak buat kita. Kita cuma harus sabar aja.
"Seperti aku yang selalu sabar ngadepin kamu. Yang kalau udah ngambek jadi nggak jelas banget. Pakai ngunci pintu kamar segala."
"Kalau nggak usah pakai ngejelekin aku gitu bisa nggak, sih?" Dan dia tertawa lagi. Entah untuk keberapakalinya.
"Jangan diulangi lagi ya, Sar. Aku nggak suka yang kayak gitu. Kalau ada masalah, ya ayo kita selesaikan dengan bicara sebagai orang dewasa. Oke?"
Aku mengangguk. Dalam hati membenarkan semua ucapannya.
"Tapi kamu janji lho, jangan ketemuan atau berhubungan lagi sama Mbak Danti. Aku nggak suka."
"Iya. Aku janji."
***
25052022
Part ini kutulis baru. Di part yang lama nggak ada cerita ketemuannya Ahim sama Danti.
Aku nulis ini di perjalanan ke Bojonegoro dan lagi meriang. Buat nelen sakit banget, huhuhuuu... Semoga vibesnya masih nyambung yaa. Hihi....
Thank you udah baca tulisanku. Maafkan kalau masih banyak kekurangan di sana sini. Semoga tetap suka yaaa.
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro